SEBAGAI generasi milenial alias Generasi Y, seharusnya saya akrab dengan televisi. Namun keadaan justru membuat saya tidak terlalu dekat dengan teknologi satu ini. Malah kemudian duluan meloncat ke internet dan tak pernah bisa lepas darinya.
Lahir di awal era 80-an, masa kecil saya adalah momen di mana dunia pertelevisian tengah menggeliat di Indonesia. Tidak seperti ayah-ibu saya yang "dipaksa" hanya menonton TVRI dengan Dunia dalam Berita, Berpacu dalam Melodi, Aneka Ria Safari, juga Album Minggu.
Kalau kemudian ada selingan berbeda, itu berupa serbuan film-film India suguhan TPI. Itu lo, stasiun televisi yang pas awal-awal siarannya nebeng di frekuensi TVRI. Bukan cuma nebeng, bahkan nyelip di susunan acaranya TVRI.
Hanya dua stasiun televisi itulah yang diketahui ayah dan ibu saya dulu. TVRI milik Pemerintah dan TPI milik Mbak Tutut. Eh, salah, maksudnya milik swasta.
Berkebalikan dengan itu, saya menyaksikan belasan televisi swasta lahir dan tumbuh besar sejak masa kecil. Trio RCTI, SCTV dan Indosiar, misalnya. Atau yang lebih terkini adalah Trans TV dan Metro TV. Lalu menyusul tvOne, Trans 7, RTV, NET, dan masih banyak lagi.
Saya saksikan pula stasiun televisi yang sempat jaya, tetapi kemudian menghilang dari peredaran. Salah satunya adalah stasiun tivi yang membuat saya menyukai Liga Inggris dan juga Liverpool FC, yakni TV7 milik Kelompok Kompas Gramedia.
Sayang, televisi kesayangan saya ini kemudian diakuisisi oleh Trans Corp. dan bersulih nama menjadi Trans7. Liga Inggris-nya lenyap, tetapi untung saja porsi tayangan pendidikannya masih terhitung cukup jika dibandingkan dengan televisi swasta lain.
Masih ada yang ingat dengan Lativi? Atau Bloomberg Indonesia, televisi franchisee yang membawa nama besar jaringan global tetapi hanya seumur jagung mengudara di negara ini?
Lebih Suka Internet
Meski ada sedemikian banyak stasiun televisi lahir dan menyuguhkan ratusan program acara setiap hari, saya hanya menghidupkan pesawat tivi hanya jika hendak menonton pertandingan sepak bola dan program berita. Selain itu mati.
Karenanya masa itu saya mengindentikkan RCTI dengan Serie A, lalu Bundesliga. TV7 adalah Liga Inggris, sedangkan ANteve (kini ANTV) adalah Liga Indonesia. Atau yang terkini, SCTV adalah Liga Champions.
Satu-satunya televisi yang pernah saya hidupkan bukan untuk menonton sepak bola adalah Metro TV. Di awal-awal kehadirannya, tvOne sempat membuat saya mendua. Namun sejak lumpur Lapindo muncrat di Porong, saya tidak pernah lagi menontonnya.
Pendek kata, saya adalah orang yang tumbuh bersamaan dengan membesarkan industri televisi di tanah air. Akan tetapi justru tidak menyukai kebanyakan tayangan-tayangan televisi.
Saya lebih suka dengan internet, terutama karena mengetahui yang namanya make money online di tahun 2003. Masih zamannya paid to surf, paid to click, lalu sempat mempelajari afiliasi Clickbank dan Amazon meski hasilnya zonk.
Ketika kemudian berkenalan dengan blog, saya semakin keranjingan dengan internet. Sejak itu pula semakin giat mencari penghasilan dari internet. Sponsored reviews, jualan backlink, sampai jadi blogger-reporter yang dibayar untuk hadir dan meliput acara brand name tertentu.
Selain faktor mencari uang, saya lebih menyukai internet karena kebebasan yang diberikan. Tidak seperti televisi dan juga radio yang mengharuskan saya menunggu hari dan jam tertentu demi menyaksikan atau mendengarkan sebuah acara, internet membuat pengguna jauh lebih bebas.
Kapan saja saya sempat berselancar, ya berselancarlah saat itu. Tidak perlu menunggu hari dan jam tertentu, yang kalau sampai terlupa sama sekali tidak bisa mengikuti siarannya. Tidak bisa mengulang lagi.
Masa itu tayangan video masih sangat jarang di internet. Yang marak adalah layanan penyedia berkas suara yang mana bisa kita dengarkan secara daring. Mirip layanan music streaming seperti Joox atau Spotify di masa kini.
Kepincut YouTube
Kebebasan tersebut jauh lebih terasa ketika kemudian trio Jaweed Karim, Chad Hurley dan Steve Chen melahirkan YouTube di tahun 2005. Hiburan yang mulanya hanya suara dan teks, kini sudah tersedia dalam bentuk video pula.
Saya bisa menonton rekaman konser The Beatles, termasuk juga video-video klip lawasnya, berkat YouTube. Saya bahkan berhasil mmengumpulkan seluruh lagu grup band legendaris asal Liverpool ini karena YouTube.
Eits, jangan bilang saya pembajak, ya. Masa itu urusan hak cipta begini masih wilayah abu-abu. Saya pun masih lugu, berpikir apa yang tersedia di internet sah-sah saja diunduh. Harap maklum dan dimaafkan, ya.
Eksistensi YouTube inilah yang membuat saya benar-benar melupakan televisi. Saya lebih akrab dengan nama-nama seperti Eno Bening, VNGNC, Agung Hapsah, Edho Zell atau kanal seperti Layaria, Gak Penting Sih, juga Grombyang Pictures ketimbang deretan artis yang berseliweran di layar kaca beserta program yang mereka bawakan.
Nama-nama yang saya sebutkan di atas merupakan pelopor kreator konten YouTube Indonesia. Tepatnya ketika YouTube masih belum terlalu kapitalis dan sangat mendukung penuh kreativitas individual.
Kini, YouTube telah sangat berubah dan ujung-ujungnya "dikuasai" korporasi televisi juga. Namun setidaknya di YouTube kita bisa bebas merdeka menentukan pilihan. Mana yang ingin ditonton dan mana yang tidak, sepenuhnya ditentukan sendiri oleh kita.
Saya sendiri lebih senang menonton kanalnya Malini Angelica atau Yes Theory ketimbang tayangan wisata di televisi nasional. Untuk acara seru-seruan, saya lebih suka menyaksikan tingkah Mr Beast dan kawan-kawannya ketimbang acara-acara ... you name it.
Istri saya lebih suka membuka kanal Lis Achmady untuk mencari resep-resep kekinian ketimbang menunggu program kuliner di televisi. Anak-anak saya yang berusia 4,5 tahun lebih suka menonton video-video Masha di YouTube ketimbang tayangan animasi di tivi.
Jangan lupakan pula kebebasan kita untuk terus menyaksikan iklan yang ditampilkan atau tidak di YouTube. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan saat menonton siaran televisi.
Saya sih, sebagai sesama content creator, biasanya menonton iklan antara 31-35 menit, baru kemudian tekan tombol "Skip Ads".
Karena sejak lama sudah tidak akrab dengan televisi dan lebih condong pada YouTube inilah, saya tidak ikut-ikutan geger ketika kakak ipar dan mertua di kiri-kanan sibuk mencari set top box (STB) demi mendigitalkan pesawat televisi lawas mereka.
Demi tetap dapat mengikuti program favorit mereka, lebih tepatnya.
Bahkan ketika beberapa bulan lalu pesawat televisi di rumah rusak berbulan-bulan, saya dan anak-anak anteng saja. Kami sama sekali tidak kebingungan apalagi merasa kehilangan sumber hiburan maupun sumber informasi.
Justru kemudian ibu mertua yang sibuk mencarikan jasa servis, tetapi setelah bener itu televisi dianggurin saja oleh kami. Benar-benar tidak pernah dihidupkan lagi sejak terakhir kali dites oleh si tukang servis.
Kebiasaan saya dan anak-anak tidak berubah semenjak kami berlangganan IndiHome (dulu Speedy) pada 2014 lalu. Cukup nyalakan hape atau laptop, lalu berselancar sesuka hati mencari konten hiburan yang diinginkan di YouTube.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H