Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Kenangan Naik Kereta Api Jogja-Banyuwangi: Pergi Pagi-Pagi, Sampainya Tengah Malam

20 Oktober 2022   14:14 Diperbarui: 3 November 2022   17:00 1369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masih adik saya (berkaos, depan), saya jepret secara candid ketika baru tiba di Watudodol. |Foto: Dokumentasi pribadi

Masih adik saya (berkaos, depan), saya jepret secara candid ketika baru tiba di Watudodol. |Foto: Dokumentasi pribadi
Masih adik saya (berkaos, depan), saya jepret secara candid ketika baru tiba di Watudodol. |Foto: Dokumentasi pribadi

Kereta Era Lama

Oya, masa itu Ignasius Jonan belum jadi Dirut PT KAI. Jadi, masih ada penjual asongan yang lalu lalang di gerbong penumpang. Malah kebetulan sih, karena saya dan adik belum sempat sarapan. Juga sesekali ada pengamen dan pengemis.

Sesampainya di Surabaya, saya dibuat tertarik karena kereta seolah memutari Stasiun Surabaya Kota. Selepas Stasiun Sepanjang, rangkaian bergerak ke utara menuju Wonokromo, Gubeng, lalu berakhir di Surabaya Kota.

Sehabis berhenti cukup lama di Surabaya Kota, rangkaian gerbong balik lagi ke Gubeng dan Wonokromo. Jika tadi datang dari arah barat, maka kali ini mengambil jalur selatan ke arah Sidoarjo.

Satu tempat lagi yang menarik bagi saya adalah satu tanjakan ekstrem di wilayah Jember. KA Sri Tanjung yang saya tumpangi berjalan sangat perlahan, nyaris merambat. Mulanya saya pikir karena ada persilangan atau apa, ternyata jalur relnya menanjak tajam.

Sayangnya waktu itu sudah malam, di luar gelap gulita. Saya tidak dapat petunjuk tepatnya di Jember bagian mana tanjakan ekstrem tersebut berada. Mungkin di spot Bedaung, tetapi bisa jadi juga yang lain (kalau memang ada lebih dari satu). Entahlah.

Sampai di Banyuwangi, malam sudah benar-benar larut. Kereta tiba melebihi jadwal. Sudah hampir tengah malam waktu itu. Untung saja adik sepupu ternyata sudah menyiapkan "jemputan", yakni dua lelaki yang disebutnya sebagai om angkat.

Keluar dari stasiun, saya dan adik dihampiri dua lelaki berbadan tegap lagi besar. Menariknya, tukang ojek dan tukang becak yang tadinya mengerubungi kami, langsung bubar ketika melihat kemunculan dua lelaki tersebut.

Kalau yang ini baru saya, dengan latar belakang Patung Gandrung di Watudodol.|Foto: Dokumentasi pribadi
Kalau yang ini baru saya, dengan latar belakang Patung Gandrung di Watudodol.|Foto: Dokumentasi pribadi

Dari stasiun, kami diantar ke terminal bus Ketapang. Langsung diarahkan ke sebuah bus jurusan Surabaya, entah MIRA atau EKA, yang siap berangkat. Lelaki penjemput tadi berbicara dengan kondektur bus dalam bahasa Madura, sepertinya menerangkan ke mana tujuan kami.

Malam yang sepi membuat perjalanan dari Ketapang ke gerbang TN Baluran berlangsung singkat. Saya dan adik turun tepat di pengkolan, lalu melanjutkan dengan berjalan kaki menuju rumah Paman. Hari sudah berganti ketika akhirnya kami sampai di tujuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun