Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Bukan Cuma Bunga, Saldo Tabungan Pun Sudah Biasa 0

17 September 2022   12:19 Diperbarui: 18 September 2022   04:40 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FOTO: ocbcnisp.com/id/article/2021/09/16/sejarah-uang

Waktu pertama kali baca kabar ini di blog Amartha 10 hari lalu, saya cuma nyengir saja. Soalnya sudah entah sejak kapan saya selalu menguras habis saldo rekening, cuma disisakan untuk biaya admin. Boro-boro berharap bunga.

Bukan, ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan riba. Pemahaman saya soal riba (sudah) berlainan dengan kebanyakan penganut Islam di negeri ini. Sikap saya lebih ke alasan pragmatis saja.

Setidaknya ada dua alasan saya tidak tertarik menyimpan uang di bank. Apalagi jika dalam tempo lama, katakanlah lebih dari 3-5 tahun. Dua alasan inilah yang membuat saya selalu menguras habis saldo di rekening.

Pertama, pertimbangan soal pengembangan uang.

Ini didasari karena penghasilan saya tidak banyak, di mana antara pemasukan dan pengeluaran selisihnya 11-12 saja. Ada sisa, tetapi tak pernah banyak jumlahnya. Maka saya musti pintar-pintar mengembang-biakkan sisa penghasilan tersebut.

Yang ada di kepala saya adalah bagaimana caranya memutar sisa uang yang sedikit itu agar menjadi semakin banyak dari waktu ke waktu. Bertambah banyak bukan karena saya yang menambahi tiap bulan, melainkan uang itu sendiri yang beranak-cucu.

Karena itulah saya hanya akan menaruh uang di tempat yang mana dapat membuat uang saya beranak dan bercucu. Syukur-syukur bisa bercicit dan bercanggah pula, bahkan kalau perlu berkembang sampai 7 turunan.

FOTO: ocbcnisp.com/id/article/2021/09/16/sejarah-uang
FOTO: ocbcnisp.com/id/article/2021/09/16/sejarah-uang

Jelas, tabungan bank bukan tempat yang tepat untuk tujuan semacam itu. Semasa tabungan masih diberi bunga sekalipun, memangnya seberapa besar sih potensi uang kita bakal berkembang kalau disimpan di bank?

Jangan kata disimpan dalam bentuk tabungan biasa, dimasukkan deposito saja rasa-rasanya tidak menarik. Pasalnya, sama seperti bunga tabungan yang kian menciut, sekarang bunga deposito juga sangat mini.

Setahun lalu masih banyak bank yang memberi bunga deposito hingga 4-5%. Sekarang, mulai pertengahan 2022 ini, bunga deposito di kebanyakan bank umum hanya di kisaran 1,90% hingga 2,5%.

Besaran bunga tersebut sama saja mau tenor pendek maupun panjang. Yang membedakannya adalah jumlah uang yang didepositokan. Jadi, ya sama saja seperti tabungan. Semakin banyak yang kita simpan, semakin besar bunga dari bank untuk kita.

Oya, itu bunga per annum, ya. Bunga untuk tempo setahun. Sehingga kalau kita menaruh dana di deposito hanya selama 3 atau 6 bulan, ya enggak sampai segitu pertumbuhannya. Lebih kecil lagi.

Katakanlah kita menaruh uang di deposito BRI atau BNI yang bunganya 2,5% setahun. Kalau kita cuma menyimpan selama 6 bulan, maka bunga yang didapat adalah separuhnya 2,5% tadi. Jadi, 2,5% dibagi dua alias 1,25%.

Kecil, Bung. Banget!

Kedua, pertimbangan soal inflasi.

Ya, inflasi itu nyata adanya. Kita baru saja membahas soal harga BBM yang naik, sebelum itu harga mie instan dan minyak goreng sudah naik duluan. Setiap tahun barang-barang yang kita beli semakin naik harganya.

Masih ingat harga bakso favorit Anda setahun lalu? Sekarang berapa harganya, coba? Pasti sudah naik, bukan? Apalagi kalau dibandingkan dengan harganya pada 5 atau 10 tahun lalu.

Itulah bukti adanya inflasi. Uang kertas kita yang pada dasarnya dibuat dari bahan tidak berharga, memang akan terus menurun nilainya terhadap komoditas. Terhadap minyak mentah, terhadap beras, juga terhadap bakso dan mi ayam.

Uang Rp 5 juta yang saya simpan 5 tahun lalu, misalnya, memang masih sama jumlahnya Rp 5 juta sekarang. Namun daya belinya bisa dipastikan sudah turun jauh.

Kita pakai patokan harga semen sebagai contoh, ya. Tidak usah sampai 5 tahun, dalam tempo 3 tahun saja sudah lumayan selisih atau kenaikan harganya. Dan ini berdasarkan pengalaman pribadi saya.

Juni 2019, saya beli semen masih ada depot bangunan yang kasih harga Rp50.000 per kantong. Kalau beli cuma 1-2 sak memang harganya jadi Rp55.000, tetapi kalau belinya banyak banderolnya Rp50.000.

Membawa uang Rp 5 juta ke depot bangunan pada tahun 2019, saya bisa membeli 100 kantong semen. Ini jumlah yang cukup untuk membangun rumah sederhana sampai selesai 100%.

Juli 2022 lalu, seorang teman dekat saya merenovasi rumah. Saat dia singgah ke tempat saya dan kami mengobrol, iseng saya tanya berapa harga semen sekarang. Dia jawab, Rp65.000 per kantong. Merek yang sama dengan yang saya beli 3 tahun lalu.

Lihat, dalam tempo 3 tahun saja sudah terjadi kenaikan 30%. Sama-sama beli semen senilai Rp 5 juta, kali ini yang didapat cuma 76-77 sak. Ini contoh nyata bagaimana inflasi membuat uang kita mengalami penurunan nilai dari tahun ke tahun.

Karena itu, jika berniat menyimpan uang untuk jangka panjang, pertimbangkanlah baik-baik soal tingkat inflasi. Jangan kata sekarang yang 0%, semasa bunganya masih lebih dari itu pun tabungan di bank dipastikan tergerus inflasi.

Lalu, di mana saya biasa menyisihkan sisa pendapatan yang tidak banyak tadi?

Di mana saja yang bisa membuatnya berkembang lebih besar. Prinsipnya, tempat atau instrumen tersebut haruslah bisa memberikan pertumbuhan lebih tinggi dari yang diberikan deposito bank.

Standar saya sih, paling tidak return-nya sebesar 4% setahun. Lebih tinggi dari itu tentu saja lebih disukai. Semakin panjang dana bakal disimpan di satu instrumen, return tahunannya mustilah lebih besar lagi.

Ada banyak pilihan instrumen yang dapat dipilih. Pahami baik-baik setiap opsi yang tersedia, terutama karena kita wajib menyesuaikan instrumen pilihan dengan tujuan penempatan dana.

Untuk dana darurat yang sewaktu-waktu bakal ditarik, misalnya, carilah instrumen yang likuid alias mudah dicairkan. Reksadana pasar uang atau reksadana pendapatan tetap yang berbasis obligasi bisa jadi pilihan untuk ini.

Adapun untuk jangka panjang di atas 5 tahun, bisa ditanamkan pada saham. Di instrumen satu ini setidaknya ada dua pilihan yang dapat dipilih: mengincar dividen atau mengincar pergerakan harga saham.

Kalau mau mengincar dividen, pilihlah perusahaan bonafid yang memang rutin membagikan dividen dalam setidaknya 3 tahun terakhir. Beli saat harga sahamnya sedang anjlok agar dividend yield yang didapat lebih tinggi.

Kalau yang diincar pergerakan harga saham, maka pilihannya adalah perusahaan-perusahaan yang masih berkembang dan punya potensi untuk lebih besar lagi dalam 3-5 tahun mendatang. Bisa juga memilih perusahaan lawas yang tengah terpuruk dan diharapkan dapat bangkit kembali.

Contoh perusahaan besar yang tengah terpuruk saat ini adalah PT Pembangunan Jaya Ancol, kode saham PJAA. Karena kena hantam wabah Covid-19, harga saham PJAA anjlok dari biasanya di atas Rp1000 menjadi paling rendah sempat menyentuh Rp450-an pada Maret 2022 lalu.

Misalnya awal tahun ini kita membeli saham PJAA di harga Rp500. Nanti ketika harganya kembali normal di kisaran Rp1000, itu artinya uang yang kita tanamkan di saham tersebut sudah berkembang 100% alias menjadi dua kali lipat.

Menarik, bukan? Yang membuat tidak menarik, tidak ada yang tahu kapan harga sebuah saham naik sesuai target kita. Karena itu investasi saham adalah jangka panjang dan pastikan hanya memakai uang dingin. Kalau perlu uang beku.

Ada satu lagi pilihan yang risikonya lebih moderat dengan potensi tidak kalah menarik, yakni peer-to-peer lending (P2P lending). Imbal hasil yang ditawarkan bisa sampai 12-15% setahun, dengan tenor berkisar antara 3, 6, hingga 12 bulan.

Kalau mau mencoba P2P lending, saran saya pilihlah yang penyaluran dananya bagi keperluan produktif. Sekadar menyebut nama ada Amartha yang menyasar pemberdayaan perempuan di desa-desa. Atau bisa pilih juga Akseleran yang borrower-nya adalah perusahaan.

Pendek kata, kalau berharap dapat profit, gain, bunga atau apapun itu istilahnya, jangan taruh uang di bank. Di tabungan niatkan sebagai simpanan saja, jangan mimpi bakal dapat untung seperti di lagunya Eyang Titiek Puspa.

Okelah, kecuali uang Anda sudah bilangan milyar, tentu lain cerita. Sudah jadi rahasia umum jika bank mau menawarkan bunga menggiurkan pada Anda jika memiliki dana besar dan mau menempatkannya di bank tersebut.

Kalau masih seperti saya yang setiap bulan paling banter hanya bisa menyisihkan Rp500.000, menabung di bank rasanya rugi betul. Mending diputar di tempat lain saja supaya berkembang lebih cepat.

Toh, sekarang cukup bermodal Rp100.000 sudah bisa membeli reksadana, membeli saham, atau nyemplung ke P2P lending. Tinggal pilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun