EMPAT kali sudah Liverpool FC bertandang ke kandang SSC Napoli. Tiga kali saat nama stadion masih San Paolo, serta sekali ketika sudah berganti nama menjadi Diego Armando Maradona. Hasilnya sama saja, The Reds tak pernah bisa menang.
Kamis (8/9/2022) dini hari WIB tadi menjadi kali keempat Liverpool datang ke Fuorigrotta, kawasan suburban di sisi barat kota Napoli tempat mana pertandingan berlangsung. Bukannya memperbaiki rekor, justru kekalahan paling besar yang diderita.
Para pemain The Reds seharusnya tidak merasa gugup karena sudah biasa tampil di stadion milik Napoli. Nyatanya, gawang Alisson Becker sampai diberondong 4 kali. Bahkan mereka sudah tertinggal 0-4 ketika pertandingan baru berumur 47 menit.
Skor akhir 4-1 untuk kemenangan Napoli. Sementara Liverpool seolah ingin melengkapi start buruk mereka, dari hanya di liga domestik menjadi merembet pula ke kompetisi Eropa.
Untuk ukuran finalis musim lalu yang juga juara tiga musim sebelumnya, kekalahan telak Liverpool dari Napoli ini terbilang memalukan. Inilah kali pertama The Reds kalah dengan selisih tiga gol di Liga Champions, sejak terakhir kali mengalaminya dari Real Madrid pada musim 2014/15.
Tidak Efektif
Jika melihat statistik pertandingan, Liverpool tidak seharusnya kalah malam tadi. Tim asuhan Jurgen Klopp justru tampil dominan dengan menguasai bola lebih lama ketimbang Napoli.
Untuk urusan membuat peluang, James Milner, cs. sebetulnya cukup banyak melepas tembakan ke gawang lawan. Secara total para pemain Liverpool membuat 15 tembakan, di mana 7 kali di antara tepat mengarah ke sasaran.
Sayang, dari 7 shot on goal itu hanya satu yang sukses mengecoh penjaga gawang Alex Meret, yakni upaya Luis Diaz pada menit ke-49. Sungguh sangat tidak efektif sekali. Itu pun tercipta dalam posisi Liverpool sudah tertinggal 0-4.
Rasa-rasanya Napoli memang berniat mengajari Liverpool bagaimana caranya merancang serangan yang efektif lagi mematikan. Meski mencatatkan ball possession lebih sebentar, yakni 38% saja, toh, anak asuhan Luciano Spalletti menebar lebih banyak ancaman bagi pertahanan The Reds.
Bayangkan saja, dengan penguasaan bola lebih sebentar dan jumlah operan yang juga lebih sedikit dari lawan, Napoli bisa membuat 18 tendangan. Dari jumlah itu, 9 di antaranya tepat mengarah ke gawang Alisson dan yang 4 menjadi gol.
Pendek kata, tingkat efektivitas serangan Napoli adalah 44,44%. Sedangkan Liverpool hanya 14,28%. Dari sini barulah kita bisa paham mengapa The Reds kalah sedemikian telak.
Kekalahan ini seakan-akan mempertegas masalah klasik yang telah diidap Liverpool sejak beberapa waktu belakangan. Satu PR yang tak bisa dipecahkan Klopp sehingga berandil pada gagalnya menjuarai Premier League musim lalu.
Kalau ada yang berpendapat ini terjadi karena ditinggal Sadio Mane, coba ingat-ingat lagi lebih jauh. Sepengamatan saya, problem di lini depan Liverpool sudah tampak bahkan ketika trio Firmansah (Firmino-Mane-Salah) masih kerap dipakai Klopp.
Sampai ke Final Lagi?
Meski kecewa oleh kekalahan ini, saya masih berusaha berpikir positif. Alih-alih mengisyaratkan kiprah Liverpool bakal suram di Liga Champions, sejarah justru menunjukkan satu catatan menggembirakan.
Masih ingat ketika Liverpool berhasil menjadi juara di musim 2018/19? Nah, ketika itu The Reds juga sempat kalah di kandang Napoli, tepatnya pada 3 Oktober 2018 dengan skor tipis 0-1.
Tak hanya dari Napoli sebetulnya, Liverpool juga kalah dari semua lawannya di fase grup musim itu. Kalah dari Red Star Belgrade, dari Paris Saint Germain juga. Semua kekalahan tersebut terjadi saat tandang.
Untungnya, The Reds selalu menang ketika menjamu ketiga lawan di Stadion Anfield. PSG dikalahkan 3-2, lalu Red Star dibekuk 4-0, dan terakhir Napoli dikandaskan 1-0 sekaligus menjadi pembuka jalan menuju fase knock out.
Pada klasemen akhir, Liverpool dan Napoli sama-sama mengumpulkan poin 9. Namun The Reds yang berhak melaju ke fase gugur sebagai runner-up grup karena mencetak gol lebih banyak ke gawang seluruh lawan.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Liverpool mengakhiri musim 2018/19 sebagai juara Liga Champions usai mengalahkan Tottenham Hotspur di final.
Nah, sejarah inilah yang saya harap dapat diulangi Liverpool musim ini. Terlebih jika menilik tiga rival di Grup A, boleh dibilang hanya Napoli-lah pesaing terberat Jordan Henderson, cs. dalam memperebutkan posisi puncak grup.
Dengan kata lain, terbuka peluang bagi Liverpool untuk meraup sebanyak mungkin poin kala menghadapi Ajax Amsterdam dan Rangers FC aka Glasgow Rangers. Setidak-tidaknya The Reds harus bisa menyegel posisi runner-up klasemen akhir sehingga ikut lolos ke fase gugur.
Mungkinkah ini terjadi? Ini yang masih harus ditunggu dengan sabar dan tawakal. Yang jelas, sebagai fans saya tidak mau perjalanan Liverpool musim ini berakhir seperti di 2019/20.
Musim itu, Liverpool juga menderita kekalahan di kandang Napoli pada awal kompetisi. Skornya 0-2. Meski kemudian lolos ke fase gugur, tetapi langkah The Reds langsung kandas di babak 16 Besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H