ISU Indonesia bakal bergabung dengan East Asia Football Federation (EAFF) semakin hari semakin santer saja. Diberitakan pula bahwa PSSI sudah menjalin komunikasi dengan sekretaris jenderal federasi tersebut. Serius nih, mau pindah?
Mengutip pemberitaan CNN Indonesia, Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan menyatakan pihaknya telah menyampaikan niatan tersebut lewat Sekjen EAFF. Iriawan juga menyiratkan jika Sekjen EAFF "senang aja" kalau Indonesia bergabung.
Terang saja EAFF senang. Pasalnya, menerima Indonesia sebagai anggota sama saja dengan mendatangkan sekian ratus juta pasar potensial yang pastinya bakal membuat sponsor tertarik. Banyak sponsor = banyak pemasukan bagi federasi.
Turnamen dwitahunan yang digelar EAFF dijamin bakal lebih meriah dengan partisipasi suporter timnas Indonesia. Baik menyaksikan langsung di stadion maupun hanya melalui layar kaca, akan sama-sama menguntungkannya bagi EAFF.
Di stadion, siapa pun mengakui jika setiap pertandingan yang melibatkan Indonesia pasti meriah dan pecah. Suporter Indonesia tak sekadar menonton, tetapi juga menampilkan atraksi yang tak kalah menghibur dari yang disuguhkan para pemain di lapangan.
Sedangkan di televisi, jumlah penonton siaran langsung EAFF Championship saya percaya bakal melonjak tajam jika Indonesia jadi bergabung. Lebih-lebih partai di mana timnas Indonesia bertanding.
Pendek kata, bagi EAFF menerima Indonesia adalah sebuah keuntungan besar dari sisi komersial. Saya yakin sekali federasi sepak bola Asia Timur ini tidak butuh berpikir panjang jika kelak Indonesia benar-benar mengajukan proposalnya.
Lalu, bagaimana dampaknya bagi Indonesia sendiri? Ini yang sebaiknya jadi fokus PSSI sebelum mengambil keputusan.
Naik Level?
Dari sisi kita sendiri, banyak yang percaya bahwa level timnas Indonesia bakal naik jika PSSI bergabung dengan EAFF. Ini mengacu pada deretan anggota federasi tersebut sebagai calon lawan yang bakal rutin dihadapi.
Gambarannya, dari 10 anggota EAFF hanya 3 yang berperingkat FIFA di bawah Indonesia (155). Ketiga negara itu adalah Makau (182), Mongolia (184) dan Guam (205). Satu member lagi, Kepulauan Mariana Utara, belum menjadi anggota FIFA sehingga tidak punya peringkat.
Penguasa EAFF sendiri adalah duo raksasa Asia langganan putaran final Piala Dunia, yakni Jepang (24) dan Korea Selatan (28). Lalu masih ada pula China (78) dan Korea Utara (112), keduanya sama-sama pernah lolos ke putaran final Piala Dunia masing-masing sekali dan dua kali.
Bayangkan timnas Indonesia bertanding melawan nama-nama besar tersebut dua tahun sekali. Meski awalnya bakal lebih sering kalah, bahkan bisa jadi keok dengan skor besar seperti yang dialami Hong Kong baru-baru ini, saya sependapat jika sedikit-banyak pasti ada efek positifnya bagi timnas.
Masalahnya, belum tentu timnas Indonesia bisa sering-sering bertemu dengan Korea Selatan, Jepang atau China di EAFF Championship. Konsep turnamen ini berbeda dengan Piala AFF, di mana putaran final hanya diikuti 4 tim yang bertanding dengan sistem round robin.
Dari 4 kontestan putaran final Piala EAFF, 3 slot di antaranya sudah ditetapkan sebagai hak Jepang, Korea Selatan dan China. Jadi, hanya tersisa 1 tempat yang harus diperebutkan oleh 7 member lain, atau 8 jika Indonesia jadi bergabung ke EAFF.
Artinya, timnas Indonesia hanya bisa bertanding melawan ketiga raksasa Asia tadi jika mampu lolos ke putaran final EAFF Championship. Untuk itu Tim Garuda harus memperebutkan satu-satunya tiket tersisa tadi dengan Korea Utara, Hongkong dan Taiwan di Preliminary Rounds 2.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kans Indonesia melawan Korea Utara, Hong Kong atau Taiwan? Mampukah timnas kita melibas ketiga pesaing ini untuk melaju ke putaran final Piala EAFF?
Lagi-Lagi Mentok?
Taiwan mungkin bukan lawan berat bagi Indonesia. Secara peringkat FIFA kedua negara ini hanya beda-beda tipis, di mana Taiwan hanya berada dua peringkat di bawah Indonesia.
Bukti bahwa Indonesia dapat mengatasi Taiwan tersaji dalam dua pertemuan terakhir di babak play-off Kualifikasi Piala Asia 2023, Oktober 2021. Kala itu timnas Indonesia selalu menang, masing-masing dengan skor 2-1 dan 3-0.
Namun jangan samakan Hong Kong dan Korea Utara dengan Taiwan. Korea Utara bahkan boleh dibilang merupakan kekuatan keempat EAFF. Ini sudah terlihat dari peringkat FIFA mereka, yakni 112 alias hanya kalah dari Jepang, Korea Selatan dan China.
Meski tak sementereng saudaranya di selatan, tetap saja Korea Utara merupakan salah satu kekuatan yang layak diperhitungkan. Jangan mimpi Indonesia bisa santai-santai jika kelak berhadapan dengan mereka.
Tahun ini seharusnya Korea Utara yang menemani trio Jepang-Korea Selatan-China di putaran final EAFF Championship 2022. Namun mereka mengundurkan diri dari turnamen, sehingga Hong Kong yang ditunjuk sebagai pengganti.
Jadi, alih-alih melambungkan angan-angan bakal sering-sering bertemu Jepang, Korea Selatan atau China, bisa jadi timnas Indonesia hanya punya kesempatan bertanding melawan Korea Utara, Hong Kong, Taiwan dan Mongolia di Preliminary Rounds 2.
Kalau bisa mengatasi semua pesaing di babak penyisihan, barulah angan-angan tinggi tadi menjadi kenyataan. Kalau tidak, apa yang selama ini terjadi di AFF bakal kembali menimpa Indonesia di EAFF.
Jika selama di AFF prestasi timnas Indonesia mentok karena gagal menembus tembok kukuh Thailand dan belakangan Vietnam, di EAFF potensi penghalangnya kalau tidak Korea Utara ya Hong Kong. Bahkan mungkin kelak Taiwan juga bisa ikut merepotkan, sebagaimana kini di AFF ada Myanmar yang semakin kemari semakin sulit dikalahkan Indonesia.
Kuncinya Pembinaan
Nakhoda yang tangguh tidak lahir di laut yang tenang, tetapi di laut yang penuh dengan ombak dan badai. Demikian bunyi satu ujar-ujar, menyiratkan bahwasanya seseorang akan berubah sebagai satu sosok kuat jika terbiasa menghadapi halangan dan rintangan.
Di sepak bola, saya setuju jika ada yang berpendapat bahwa timnas Indonesia bakal naik level jika berada di lingkungan berisi negara-negara kuat. Dalam hal ini adalah bergabung dengan EAFF yang beranggotakan raksasa-raksasa Asia dalam diri Jepang, Korea Selatan dan China.
Namun ini masih butuh catatan tambahan. Pendapat tadi hanya berlaku apabila ada upaya dari dalam diri Indonesia, lebih tepatnya PSSI, untuk meningkatkan kemampuan sehingga setara dengan yang lain.
Sekadar bertanding dengan tim yang lebih kuat tidak akan secara otomatis menjadikan timnas Indonesia kuat pula. Sering bertanding melawan Jepang, Korea Selatan dan China, tidak serta merta membuat timnas Indonesia sekuat tiga raksasa Asia tersebut.
Kalau pembinaan masih dianggap angin lalu oleh pengurus PSSI, kalau tata kelola sepak bola Indonesia juga terus ala kadar seperti ini, lalu PSSI masih saja dijadikan sebagai tunggangan bagi kepentingan lain di luar sepak bola, ya tidak ada gunanya semua pertandingan level atas itu.
Toh, Indonesia pernah bertanding melawan Uruguay, Belanda, serta banyak lagi negara kuat dunia. Hasilnya, boro-boro menjadi sehebat Uruguay atau Belanda, menang atas Vietnam dan Thailand saja belum tentu bisa.
Saya pribadi tetap pada pendapat sebelumnya, sebagaimana saya kemukakan dalam tulisan Menimbang Ulang Wacana Indonesia Keluar dari AFF/AFC. Kunci peningkatan prestasi timnas Indonesia terletak pada proses pembinaan dan hanya pembinaan. Titik.
Susun program pembinaan yang matang, gulirkan liga domestik dengan tujuan utama mematangkan pemain dan bukan memuaskan pihak-pihak tertentu, lalu bersihkan PSSI dari kepentingan-kepentingan di luar sepak bola.
Jika tiga hal di atas dilakukan, saya optimistis Indonesia bukan cuma bakal jadi penguasa ASEAN, tetapi juga dapat berbicara banyak di level Asia. Setidak-tidaknya selalu menjadi peserta putaran final Piala Asia. Itu semua tanpa harus keluar dari AFF.
Jangan sampai pindah jauh-jauh ke EAFF hanya untuk mentok di kaki Korea Utara atau Hong Kong, sambil saling sandung dengan Taiwan. Sama halnya di AFF dibuat mentok di bawah Thailand dan Vietnam, sembari saling sikut dengan Malaysia dan Singapura.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H