Pada saat itulah Pak Wishnu menceritakan peluang berdagang uang lama. Pasar paling ramai memang para calon pengantin seperti saya. Yang dicari biasanya jenis-jenis "uang sayur", begitu istilah di kalangan numismatis.
"Sampeyan ambil barangnya dari saya, nanti ta kasih harga Rp7.500 selembar. Terus sampeyan jual Rp10.000, untungnya Rp2.500 selembar. Wis lumayan iku, Mas," kata Pak Wishnu.
Saya manggut-manggut. Benar juga, pikir saya.
"Kalau yang beli itu mau ngoleksi, mereka enggak bakal sayang uang. Berapa pun harga yang sampeyan kasih, asalkan sudah cocok sama barangnya, pasti ditebus," tambah Pak Wishnu, semakin mengompori.
"Terus kalau yang beli calon manten, enggak mungkin belinya cuma selembar. Untuk mahar itu paling sedikit butuh tiga-empat lembar. Bisa untung lima-sepuluh ribu sekali transaksi sudah lumayan banget, lo."
Anggukan kepala saya semakin intens. Ketimbang dikoleksi sendiri, pikir saya lagi, mendingan uang lama yang sedianya buat mahar dijadikan modal awal berdagang. Lebih tepatnya lagi, berjualan online.
Memaksimalkan Manfaat Internet
Sejak awal kepikiran berdagang uang lama, saya memang berniat berjualan online. Tidak sedikit pun terlintas untuk usaha offline. Saya ingin benar-benar mengoptimalkan manfaat internet.
Rencana yang ada di kepala saya waktu itu antara menumpang jualan di forum jual-beli atau sekalian membuat website sendiri. Alasannya? Realistis saja, modal saya cekak.
Kalau mau buka lapak seperti Pak Wishnu di Pasar Klithikan, dari mana duit untuk biaya sewa? Belum lagi modal untuk berbelanja barang agar lapak terlihat ramai dengan bermacam-macam koleksi.
Uang di tabungan ada, sih, tetapi sudah diplot untuk keperluan menikah. Pasti ada sisa memang, cuma kan tidak mungkin saya pakai duluan sebelum urusan kawinan beres. Mana tahu nanti ada kebutuhan printilan di luar yang sudah dianggarkan.