Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang asyik berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet juga berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tuan Guru, Putera Tidore yang Diagungkan di Afrika Selatan

22 Juni 2022   17:34 Diperbarui: 22 Juni 2022   17:47 1960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Auwal Mosque, peninggalan Tuan Guru dari Tidore di Cape Town, Afrika Selatan. FOTO: Wikipedia Commons

BICARA hubungan Indonesia dan Afrika Selatan, wa bil khusus penyebaran Islam di negara paling selatan benua tersebut, tidak bisa tidak yang pertama disebut nama Syekh Yusuf al- Makassari. Padahal ada satu nama lain yang tak kalah berjasa: Abdullah  Qadhi Abdussalam alias Tuan Guru dari Tidore.

Sama halnya Syekh Yusuf al-Makassari, Tuan Guru dipandang luhur oleh masyarakat keturunan Melayu dan juga kalangan Muslim Afrika Selatan. Sosok satu ini dipandang sangat berjasa dalam mengembangkan Islam di negara tersebut. Utamanya di kawasan Cape Town.

Saat bolak-balik menyambangi Tidore sepanjang 2017-2018, saya sering sekali mendengar nama Tuan Guru disebut-sebut. Terlebih jika obrolan sampai pada Bapak Amien Faroek yang adalah Jojau atau Perdana Menteri Kesultanan Tidore saat ini.

Amien Faroek merupakan keturunan Tuan Guru. Karena sejumlah jabatan di Kesultanan Tidore diwariskan secara turun-temurun, maka mudah ditelusuri jika Tuan Guru adalah pembesar di Kesultanan Tidore.

Beberapa orang yang pernah saya tanyai di Tidore menyebut beliau sebagai salah satu pangeran. Sedangkan sumber yang lain mengatakan beliau sempat menjabat sebagai perdana menteri, seperti yang dipangku Amien Faroek saat ini.

Menentang VOC

Alasan pembuangan Tuan Guru ke Afrika Selatan juga setali tiga uang dengan Syekh Yusuf al-Makassari. Pembesar Kesultanan Tidore ini dinilai terlalu vokal dalam menentang VOC. Beliau dianggap sangat aktif menyuarakan perlawan, sehingga kemudian diburu serdadu kompeni.

Abdullah muda memanglah seorang pejuang yang aktif melawan penindasan yang dilakukan VOC di Kesultanan Tidore. Beliau boleh dibilang merupakan pendahulu Sultan Nuku sebagai tokoh Tidore yang menentang campur tangan bangsa asing dalam urusan kesultanan.

Oya, ini Tidore dalam perspektif masa itu, ya. Yaitu pada abad ke-18, di mana cakupan wilayahnya meliputi bagian selatan-timur Pulau Halmahera, hingga ke bagian kepala burung Papua.

Karena sikapnya yang sangat menentang inilah kemudian Abdullah ditangkap oleh serdadu kompeni pada 1763. Tentu saja sebelumnya Abdullah melawan, tetapi pada akhirnya harus menyerah kalah dan rela ditangkap musuh.

Setelah transit di Ternate, Abdullah muda dibawa ke Batavia untuk menjalani peradillan. Hasilnya, hukuman berat dijatuhkan atasnya: dibuang ke Cape Town selama 14 tahun. Lebih tepatnya ke Robben Island yang di masa itu merupakan pulau persinggahan bagi kapal-kapal Eropa yang hendak ke kepulauan Nusantara.

Abdullah dijebloskan ke ruang tahanan. Selama di sana beliau menyibukkan diri dengan menulis buku. Satu kitab kemudian berhasil beliau rampungkan, yakni berjudul Ma'rifat Al-Islam Wal Iman.

Dari hanya hukum buang selama 14 tahun, Abdullah dikurung sampai tahun 1793. Tanpa terasa sudah 30 tahun Abdullah menetap di Robben Island. Selama menjalani hukuman, beliau juga aktif mengajarkan agama Islam pada orang-orang setempat.

Makam Tuan Guru di Cape Town, Afrika Selatan. FOTO: detikNews 
Makam Tuan Guru di Cape Town, Afrika Selatan. FOTO: detikNews 

Mengembangkan Islam

Aktivitasnya sebagai pengajar dan pendakwah Islam inilah yang lantas melahirkan panggilan Tuan Guru. Sekeluar dari tahanan, beliau memilih menetap di Afrika Selatan, tidak ingin kembali lagi ke Tidore.

Hari-hari Tuan Guru lantas diisi dengan mengajar dan mengajar, menuntun ummat yang sedang berkembang. Saat itu di Cape Town belum ada masjid, sehingga Tuan Guru yang juga dipanggil dengan sebutan Imam Abdullah melakukan salat di bekas penggalian batu bangunan bersama-sama jemaahnya.

Kemudian, salah satu pengikut Imam Abdullah bernama Achmad van Bongalen menghibahkan bangunan milik peninggalan mertuanya untuk dijadikan masjid. Atas persetujuan istri dan keluarga sang donatur, masjid pertama di Cape Town pun didirikan. Tepatnya di Dorp Street.

Masjid tersebut dinamakan "Auwal Mosque" yang berarti Masjid Awal. Tuan Guru didaulat sebagai imam pertama masjid tersebut. Pengajaran dan penyebaran Islam kian mengalami perkembangan pesat semenjak itu, dengan Masjid Awal sebagai pusat kebudayaan Islam di Cape Town.

Selain mengajar dan berdakwah, Tuan Guru juga menulis buku. Buku-buku karya beliau kemudian memberi pengaruh besar dalam pendidikan Islam di Afrika Selatan. Salah satunya yang diterjemahkan dalam judul Rational Traditional Theology Filosofis.

Tidak ada referensi apakah Tuan Guru membawa istri pada saat dibuang ke Afrika Selatan. Namun setelahnya beliau menurunkan beberapa orang anak di sana. Putera-puteri beliau pun beranak-pinak, sehingga kini menjadi satu puak besar yang terus mengagung-agungkan serta bangga dengan kiprah leluhur mereka.

Jika Amien Faroek adalah keturunan Tuan Guru juga, maka dugaan saya beliau sudah beristri dan mempunyai anak pada saat ditangkap serdadu VOC. Bisa jadi istri dan anaknya ini tetap tinggal di Tidore, sehingga menurunkan cabang keturunan pula.

Dengan demikian ada dua cabang keturunan Tuan Guru. Cabang pertama berada di Tidore yang salah satunya adalah Amien Faroek. Lalu cabang satunya lagi di Cape Town, terpisah puluhan kilometer jauhnya.

Suasana simposium mengenai kiprah Tuan Guru di Cape Town. FOTO: kalderanews.com
Suasana simposium mengenai kiprah Tuan Guru di Cape Town. FOTO: kalderanews.com

Menyambung Dua Cabang

Saya lupa-lupa ingat waktunya, tetapi antara akhir 2017 atau awal 2018 diadakan sebuah simposium di Cape Town untuk mengenang kiprah Tuan Guru. Senyampang itu, ada inisiatif dari pihak Tidore untuk menyambungkan tali silaturahim antara dua cabang keluarga Tuan Guru yang selama ini tak saling kenal.

Maka, setelah diupayakan sedemikian rupa, berangkatlah Amien Faroek sebagai perwakilan keturunan Tuan Guru dari Tidore ke Cape Town. Bersama beliau, panitia simposium juga mengundang Sultan Tidore, Hi. Husain Syah, beserta istri.

Sebetulnya rombongan yang ingin diberangkatkan lebih banyak lagi. Namun sejumlah kendala, salah satunya biaya, membuat hanya ada satu tambahan undangan lagi. Anita Gathmir, sosok yang sejak beberapa tahun berupaya mengangkat pesona Tidore di level nasional,  turut mendampingi rombongan dalam event tersebut.

Peristiwa ini menjadi pemberitaan besar di Tidore. Hari demi hari yang dijalani Sultan Tidore beserta rombongan selama di sana, selalu mendapat tempat di laman-laman berita lokal Maluku Utara. Termasuk terutama rangkaian acara simposium yang menapak-tilas kiprah Tuan Guru di Cape Town.

Selama di sana para undangan dibawa menapak-tilasi tempat-tempat yang merupakan jejak perjuangan Tuan Guru. Para undangan juga diperkenalkan pada sejumlah anggota dewan (DPR kalau di sini), bahkan sempat pula mengikuti sidang. Lalu bertemu beberapa pejabat  negara tersebut, utamanya yang konon masih memiliki darah Nusantara.

Rombongan dari Tidore tentu saja mendapat sambutan hangat dari para keturunan Tuan Guru di Cape Town. Sejarah pun tercipta ketika dua cabang keturunan Tuan Guru yang sekian ratus tahun terpisah dan tidak saling kenal, akhirnya berkumpul dalam satu tempat.

Sayang sekali simposium tersebut luput dari amatan media nasional. Padahal yang diangkat di event tersebut adalah kiprah anak negeri ini. Sosok yang tidak hanya oleh para keturunannya, tetapi juga oleh bangsa Afrika Selatan diakui sangat berjasa.

Jika kita selalu membangga-banggakan buah karya serta kiprah Syekh Yusuf al-Makassari selama masa pembuangan di Afrika Selatan, maka menurut saya Tuan Guru dari Tidore layak mendapat penghargaan serupa.

Keluarga besar keturunan Tuan Guru bersama Sultan Tidore dan rombongan dari Indonesia. FOTO: malut.id
Keluarga besar keturunan Tuan Guru bersama Sultan Tidore dan rombongan dari Indonesia. FOTO: malut.id

Setelah itu jalinan silaturahim antara kedua cabang keluarga semakin erat, thanks to Facebook. Di laman Facebook Bunda Permaisuri Kesultanan Tidore dan Ci Anita, sering ditemui komentar-komentar berbahasa Inggris dari para keturunan Tuan Guru.

Jalinan silaturahim semakin dipererat pada 2019. Tepatnya ketika salah satu keturunan Tuan Guru dari Cape Town menyempatkan diri berkunjung balik ke Tidore.

Untuk referensi lebih lanjut mengenai Tuan Guru, bisa mencari buku berjudul Tuan Guru Imam Abdullah Bin Qadhi Abdussalam: Perlawanan Terhadap Imperialisme Belanda Dan Pengasingan Di Cape Town, Afrika Selatan karya Bunyamin Marasabessy dan Moh. Amin Faroek (Yayasan Pendidikan Raudhatun Nasyi'in, Mei 2005).

Dalam bahasa Inggris, jurnalis senior Afrika Selatan bernama Shafiq Morton menuliskan kiprah Tuan Guru dalam karyanya yang diberi judul From the Spice Islands to Cape Town: The Life and Times of Tuan Guru.

Oya, yang mau tahu seperti apa keindahan Tidore, boleh intip di vlog saya berikut ini.


Referensi: satu, dua, tiga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun