BICARA hubungan Indonesia dan Afrika Selatan, wa bil khusus penyebaran Islam di negara paling selatan benua tersebut, tidak bisa tidak yang pertama disebut nama Syekh Yusuf al- Makassari. Padahal ada satu nama lain yang tak kalah berjasa: Abdullah  Qadhi Abdussalam alias Tuan Guru dari Tidore.
Sama halnya Syekh Yusuf al-Makassari, Tuan Guru dipandang luhur oleh masyarakat keturunan Melayu dan juga kalangan Muslim Afrika Selatan. Sosok satu ini dipandang sangat berjasa dalam mengembangkan Islam di negara tersebut. Utamanya di kawasan Cape Town.
Saat bolak-balik menyambangi Tidore sepanjang 2017-2018, saya sering sekali mendengar nama Tuan Guru disebut-sebut. Terlebih jika obrolan sampai pada Bapak Amien Faroek yang adalah Jojau atau Perdana Menteri Kesultanan Tidore saat ini.
Amien Faroek merupakan keturunan Tuan Guru. Karena sejumlah jabatan di Kesultanan Tidore diwariskan secara turun-temurun, maka mudah ditelusuri jika Tuan Guru adalah pembesar di Kesultanan Tidore.
Beberapa orang yang pernah saya tanyai di Tidore menyebut beliau sebagai salah satu pangeran. Sedangkan sumber yang lain mengatakan beliau sempat menjabat sebagai perdana menteri, seperti yang dipangku Amien Faroek saat ini.
Menentang VOC
Alasan pembuangan Tuan Guru ke Afrika Selatan juga setali tiga uang dengan Syekh Yusuf al-Makassari. Pembesar Kesultanan Tidore ini dinilai terlalu vokal dalam menentang VOC. Beliau dianggap sangat aktif menyuarakan perlawan, sehingga kemudian diburu serdadu kompeni.
Abdullah muda memanglah seorang pejuang yang aktif melawan penindasan yang dilakukan VOC di Kesultanan Tidore. Beliau boleh dibilang merupakan pendahulu Sultan Nuku sebagai tokoh Tidore yang menentang campur tangan bangsa asing dalam urusan kesultanan.
Oya, ini Tidore dalam perspektif masa itu, ya. Yaitu pada abad ke-18, di mana cakupan wilayahnya meliputi bagian selatan-timur Pulau Halmahera, hingga ke bagian kepala burung Papua.
Karena sikapnya yang sangat menentang inilah kemudian Abdullah ditangkap oleh serdadu kompeni pada 1763. Tentu saja sebelumnya Abdullah melawan, tetapi pada akhirnya harus menyerah kalah dan rela ditangkap musuh.
Setelah transit di Ternate, Abdullah muda dibawa ke Batavia untuk menjalani peradillan. Hasilnya, hukuman berat dijatuhkan atasnya: dibuang ke Cape Town selama 14 tahun. Lebih tepatnya ke Robben Island yang di masa itu merupakan pulau persinggahan bagi kapal-kapal Eropa yang hendak ke kepulauan Nusantara.