Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelisik Pabrik Gula yang Hilang di Banjardawa, Pemalang

21 Juni 2022   19:36 Diperbarui: 16 Agustus 2022   23:25 2104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu sudut pabrik dengan beberapa karyawan berpakaian putih. FOTO: KITLV via Wikipedia

SEPERTI kebanyakan orang, mulanya saya pikir tidak ada hal menarik dari desa kecil yang saya tinggali sejak 12 tahun lalu. Namun ternyata saya salah besar. Desa ini sempat menjadi "kampung Eropa". Namanya terhitung sering jadi pemberitaan di masa kolonial, bahkan terdengar sampai ke Negeri Belanda di seberang lautan sana.

Saya tinggal di sebuah desa kecil di Kabupaten Pemalang, namanya Banjardawa. Awal-awal tinggal di sini tidak ada apa-apa yang bagi saya membuat penasaran atau menarik minat.

Namun saya sempat heran ketika satu waktu ikut pertemuan di balai desa. Di dinding ruangan balai, terdapat deretan lukisan kepala desa yang digantung berkeliling. Menariknya, ada lukisan wajah kepala desa yang memerintah di tahun 1800-an akhir.

Wow, keren juga pikir saya. Tidak banyak desa di negeri ini yang punya dokumentasi berusia ratusan tahun seperti ini. Kepala desa yang memerintah di era sebelum proklamasi pun masih diketahui siapa namanya dan berapa lama dia menjabat.

Lalu ketika kemudian mulai sering berjalan-jalan menyusuri desa bersama istri dan anak pertama yang masih bayi, mulailah timbul pertanyaan-pertanyaan di benak saya. Utamanya pada sebuah lapangan luas di dekat balai desa dan wilayah-wilayah di sekitarnya.

Pada sisi utara lapangan, terdapat sisa-sisa pondasi bangunan, yang meski sudah tertutup rumput masih bisa terasa jika itu keras berbatu-batu. Jika ditarik dari ujung ke ujung lapangan,  saya yakini dulu pernah berdiri satu bangunan yang sangat besar sekali di sana.

Bangunan apa itu?

Rumah-rumah seperti ini masih dapat ditemui di desa-desa sekitar lokasi pabrik. FOTO: KITLV via Wikipedia
Rumah-rumah seperti ini masih dapat ditemui di desa-desa sekitar lokasi pabrik. FOTO: KITLV via Wikipedia

Perumahan Zaman Belanda

Lalu di sisi timur lapangan dan reruntuhan bangunan tersebut, terdapat banyak sekali rumah-rumah berarsitektur pra-kemerdekaan. Sebagian gaya jengki, tetapi sebagian lagi saya kenali sebagai bangunan dari masa yang lebih lama.

Saya sempat membandingkan rumah-rumah itu dengan foto-foto rumah-rumah pada zaman Belanda di internet. Banyak kemiripan. Dengan kata lain, rumah-rumah tersebut besar kemungkinan memang dibangun pada era kolonialisme.

Karena jumlahnya tak hanya satu dan berkumpul seperti membentuk satu pemukiman, saya jadi bertanya-tanya lagi: apakah dulu ada perkampungan orang Eropa di sekitaran lapangan desa? Kalau iya, kenapa bisa ada perkampungan tersebut di sana?

Bukankah perkampungan Eropa biasanya terletak di dekat pusat pemerintahan setingkat kabupaten atau karesidenan? Sementara setahu saya Desa Banjardawa ini bukanlah pusat pemerintahan kedua tingkatan pemerintahan tersebut.

Lalu, ini yang paling bikin penasaran waktu itu, di sisi selatan lapangan tersebut terdapat rel kereta! Posisinya tepat di depan BRI KCP Jebed.

Rel tersebut memanjang dari selatan ke arah lapangan, tetapi lalu melengkung dan berbelok ke barat. Membuat saya jadi bertanya-tanya, apakah dulu pernah ada stasiun di dekat-dekat sini? Atau dilewati jalur kereta api mungkin?

Dari arah lapangan desa, rel ini memanjang ke selatan kemudian berbelok mengarah ke barat. Searah dengan jalan aspal yang ada di sisinya. Entah ke mana ujung rel saya tidak pernah melacak.

Pada beberapa bagian sisi jalan rel tersebut terputus atau mungkin tertimbun tanah dan aspal jalan. Kemudian sesampainya di ujung pertigaan Jl. Ternate tidak ada bekasnya lagi.

Dulu kelokan rel yang di dekat BRI dapat terlihat jelas. Ujungnya bahkan sedikit mencuat beberapa sentimeter dari permukaan aspal. Sayang---bagi saya, sejak 6 atau 7 tahun lalu ujung rel yang berkelok itu ditutup aspal oleh pekerja ketika jalan diperbaiki.

Titik-titik biru adalah salah satu jalur rel dari Sf. Bandjardawa. GAMBAR: Screenshot Google Maps
Titik-titik biru adalah salah satu jalur rel dari Sf. Bandjardawa. GAMBAR: Screenshot Google Maps

Pabrik Gula Banjardawa

Dugaan akan adanya jalur kereta api komersial yang melintasi Desa Banjardawa gugur. Saya tidak menemukan referensi apa pun mengenai kemungkinan rute dari Pemalang kota menuju wilayah selatan.

Kemudian dugaan saya bergeser. Saya pikir rel tersebut menuju ke Pabrik Gula Sumber, satu bangunan peninggalan masa kolonial lainnya di Pemalang. Dugaan ini beralasan, sebab rel tadi memang mengarah ke sana.

Berdasarkan dugaan ini, pada bayangan saya di Banjardawa dan sekitarnya ini dulu merupakan kawasan perkebunan tebu. Di mana hasil panennya lantas dikirim ke PG Sumber. Pabrik gula ini sendiri masih beroperasi hingga setidaknya 20 tahun lalu.

Namun telisik punya telisik, semua dugaan saya tersebut salah. Rupanya bukan begitu yang pernah terjadi. Justru di Desa Banjardawa ini yang dulu ada pabrik gula. Dan ternyata bukan pabrik sembarang pabrik, karena hasil produksinya diekspor ke Eropa.

Suikerfabriek Bandjardawa namanya, sesuai nama desa di mana pabrik ini berdiri. Jika kita lihat peta kuno masa Hindia Belanda, pabrik ini biasa disingkat sebagai Sf. Bandjardawa.

Karena penasaran, saya sempat bertanya pada admin akun Potretlawas di Twitter. Oleh admin lantas dikirimi potongan peta berikut, di mana jelas sekali tertera nama pabrik dan desa-desa di sekitarnya.

Peta zaman Belanda yang dikirim admin akun Potretlawas ke saya via Twitter. GAMBAR: Potretlawas/Twitter
Peta zaman Belanda yang dikirim admin akun Potretlawas ke saya via Twitter. GAMBAR: Potretlawas/Twitter

Ya, benar sekali. Di luar dugaan saya, dulu di Banjardawa terdapat sebuah pabrik gula besar. Pabrik ini merupakan salah satu dari sekian pabrik gula dalam naungan korporasi bernama NV Javasche Cultuur Maastchappij.

Korporasi tersebut di atas punya sejumlah pabrik gula yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dua di antaranya di Pemalang, yakni Sf Bandjardawa dan Sf Petaroekan. Entah kebetulan atau tidak, dua pabrik gula ini sama-sama tak berbekas bangunannya.

Berbeda dengan Sf. Comal dan Sf. Gondang atau PG Sumber yang wujudnya masih dapat disaksikan hingga hari ini. Bahkan di PG Sumber masih sisa-sia lokomotif dan lori pengangkut tebu.

Dua Jalur Rel

Saya kemudian mencocokkan peta-peta lama, sekian banyak foto-foto lawas dari arsip Belanda, yang dibandingkan dengan keadaan terkini di sekitar lapangan desa Banjardawa.

Kesimpulannya, saya menduga keras posisi bangunan pabrik Sf. Bandjardawa berada tepat di sebelah lapangan desa Banjardawa saat ini. Kira-kira di posisi yang kini berdiri dua buah bangunan SMP negeri.

Sedangkan apa yang sekarang jadi lapangan desa, di masa pabrik masih berdiri adalah tempat bongkar-muat batang-batang tebu dari kebun. Rel berkelok di depan kantor BRI yang tadi saya ceritakan, tergambar jelas di salah satu foto lawas.

Lalu rel yang sebagiannya masih dapat dilihat di selatan lapangan, merupakan sisa-sisa rangkaian rel lori pengangkut tebu. Dari hasil penelusuran sambil lalu saya, terlihat bahwasanya Desa Banjardawa ini dikelilingi rangkaian rel lori Sf. Bandjardawa.

Setidaknya ada dua jalur utama. Yang pertama membujur di sisi selatan pabrik, lantas berkelok ke arah barat seiriing Jl. Halmahera dan lurus terus di sepanjang sisi selatan Jl. Ternate hingga Bojongbata.

Saya belum menelisik lebih jauh di mana ujung rangkaian rel jalur ini. Mungkin saja memang hanya sampai pertigaan dekat pabrik Gondorukem. Mungkin juga berputar di satu titik, kembali ke arah pabrik di Banjardawa.

Sedangkan jalur kedua terletak di sisi timur pabrik, di mana sisa-sisanya masih dapat dilihat di Desa Jebed dan Desa Sokawangi. Termasuk jembatan rel di atas Kali Sirayak.

Para karyawan berlalu-lalang di jalan utama menuju ke pabrik. FOTO: KITLV via Wikipedia
Para karyawan berlalu-lalang di jalan utama menuju ke pabrik. FOTO: KITLV via Wikipedia

Hancur Tanpa Sisa

Mungkin ada yang bertanya-tanya, kok saya awalnya sampai tidak tahu kalau dulu ada pabrik gula di sana? Bukankah bangunan pabrik gula itu besar?

Inilah masalahnya. Bangunan pabrik gula tersebut sudah tidak ada lagi! Sama sekali tidak ada bekasnya, rata dengan tanah. Yang terlihat kini adalah bangunan SMP di sebelah lapangan, yang agaknya dibangun setelah bangunan pabrik diruntuhkan.

Saya curiga di sana ada bekas bangunan karena di sudut tenggara lapangan ada puing-puing pondasi bangunan, seperti saya ceritakan di atas. Namun hingga bertahun-tahun tidak sampai menduga kalau itu adalah bekas pondasi pabrik Sf. Bandjardawa.

Dugaan-dugaan itu baru terjawab saat mengobrol dengan seorang tetangga. Dia sempat menyinggung-nyinggung soal pabrik gula yang sudah hancur. Dari situlah saya mulai menelisik dunia maya untuk mencari tahu lebih banyak lagi.

Kenapa bangunan pabrik sebesar itu bisa runtuh tanpa sisa?

Untuk pertanyaan ini saya masih belum menemukan referensi jelas dan pasti. Namun mnurut cerita orang-orang tua yang sempat saya tanyai, bangunan pabrik dihancurkan oleh massa.

Hanya itu informasi yang dapat digali di lokasi sekitaran pabrik. Tidak jelas kapan penghancuran itu terjadi, juga peristiwa atau ise yang menjadi penyebab.

Salah satu sudut pabrik dengan beberapa karyawan berpakaian putih. FOTO: KITLV via Wikipedia
Salah satu sudut pabrik dengan beberapa karyawan berpakaian putih. FOTO: KITLV via Wikipedia

Ada yang bilang penghancuran pabrik terjadi di masa Periode Bersiap, di mana saya bayangkan orang-orang Eropa yang tinggal di sekitaran pabrik ikut diburu. Ada pula yang berspekulasi pada saat geger Irian Barat. Entahlah, saya butuh menelisik lebih banyak sumber.

Saya memang berniat menelusuri hal ini lebih jauh. Saya sudah menggali Google dan mendapatkan banyak sekali foto + referensi mengenai pabrik ini. Satu yang mungkin agak menghambat, sebagian besar sumber itu berbahasa Belanda.

Namun, tidak jadi masalah. Saya bisa minta bantuan Google atau seorang kenalan di Jepara yang pandai berbahasa Belanda.

Saya juga sempat merencanakan penelusuran orang-orang tua di empat desa di sekitar pabrik: Banjardawa, Jebed, Cibelok, Banjaran. Syukur-syukur dapat bersua dengan keturunan pekerja pabrik.

Sayang, rencana tersebut harus saya batalkan dulu karena wabah Covid-19 melanda dunia. Kini niatan itu kembali tebersit. Semoga saja diberi kemudahan agar setidaknya anak-anak saya nanti tahu sejarah desa kelahiran mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun