Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tiket Candi Borobudur Naik? Setuju Sekali!

13 Juni 2022   05:31 Diperbarui: 13 Juni 2022   19:38 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FOTO: Wikipedia/Gunawan Kartapranata (CC BY-SA 3.0)

SEPEKAN belakangan ramai betul pemberitaan mengenai rencana kenaikan tiket Candi Borobudur. Dari yang semula "hanya" Rp50.000 untuk wisatawan domestik, menjadi Rp750.000. Naik sebesar 15 kali lipat!

Banyak yang memprotes wacana ini. Di media sosial, termasuk Kompasiana ini, ramai orang menyatakan tidak setuju dengan rencana yang digulirkan Menko Luhut Pandjaitan. Alasan mereka seragam, kemahalan kalau sampai Rp750.000.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang diprediksi bakal maju sebagai calon presiden 2024, tidak mau kehilangan momentum. Ganjar langsung memanfaatkan keramaian ini dengan mendukung pendapat populis: menyatakan keberatan.

Isu Baru Tapi Lama

Ini sebetulnya wacana yang sudah sangat lama sekali. Sejak saya masih menempuh pendidikan pariwisata di Jogja, lalu magang sebagai tour guide di sana-sini termasuk di Candi Prambanan, usulan ini sudah bergulir di kalangan pelaku pariwisata setempat.

Dulu, salah satu dosen sekaligus mentor saya, tour guide senior Jogja bernama Pak Murtedjo, sempat beberapa kali membahas soal ini dengan kami-kami anak-anak didiknya. Beliau mengajak hitung-hitungan simpel saja.

Kalau setiap hari ada ratusan bahkan ribuan orang naik ke atas candi, lalu katakanlah masing-masing berbobot rata-rata 40--50 kg saja, kira-kira dalam setahun seberapa dalam itu candi ambles ke tanah?

Begitu Pak Tedjo menyampaikan pemikirannya.

Kalau saya sih, punya argumentasi serta perhatian pada hal berbeda. Meski tentu saja saya sangat setuju dengan apa yang disampaikan oleh Pak Tedjo tersebut.

Saya pribadi sejak masa itu sudah bisa membedakan kalau kebanyakan turis lokal sangat tidak menghargai obyek-obyek wisata seperti ini. Kebanyakan mereka datang bukan karena penasaran dengan candi dan mencari tahu cerita-cerita mengenai candi tersebut, mereka hanya ingin foto-foto!

Kebanyakan wisatawan lokal cuma ingin datang ke tempat-tempat seperti Candi Borobudur karena itulah lokasi wisata yang hits, yang popular. Sehingga dengan mengunjunginya mereka dapat ... enggak tahu deh, apa ungkapan yang tepat.

Ini sebabnya turis lokal datang ke obyek wisata merasa tidak butuh jasa tour guide. Bukan karena sudah tahu seluk-beluk obyek wisata tersebut, tetapi karena memang enggak peduli. Yang mereka perlukan cuma cari spot terbaik untuk foto berlatar obyek wisata, lalu cekrek! Nanti balik ke tempat asal masing-masing dipamerin, deh.

Tingkah mereka pun aneh-aneh. Demi mencari spot tidak biasa, enggak sedikit yang sampai manjat ke tempat-tempat yang sudah diberi label "jangan dinaiki". Ajaib memang.

Fenomena ini bukan baru-baru saja, di mana Instagram jadi Tuhan kedua bagi nyaris semua anak muda. Ini sudah terjadi bahkan jauh sebelum era medsos dan ponsel berkamera seperti sekarang. Sejak saya pertama kali magang di Candi Prambanan medio 2001, sudah begini ini keadaannya.

Asal tahu saja, dulu banyak kamera murah-murah. Murahan malah jatuhnya. Saya pernah beliin satu untuk adik pas dia study tour ke Prambanan di tahun 2003. Habis tur itu kamera sudah rusak. Di dekat tempat-tempat wisata biasanya ada yang jual kamera model begini, lengkap dengan rol filmnya.

Tipikal Asia

Enggak cuma turis lokal, sih. Sependek pengalaman saya, kebanyakan wisawatan Asia seperti ini. Dalam artian, enggak terlalu memiliki ketertarikan mendalam pada obyek-obyek wisata candi.

Sebut saja turis Jepang. Seorang tour guide Jepang yang dulu saya kenal bahkan sempat berkelakar, mendingan saya ganti belajar bahasa Jepang saja ketimbang melanjutkan belajar bahasa Prancis.

"Turis Jepang itu enak. Kamu bawa ke lokasi, tunjukin obyek wisata sekadarnya saja, terus biarkan bebas sendiri suruh foto-foto, deh."

Kira-kira begitu kata tour guide Jepang tersebut waktu itu. Saya parafrasa karena tentu sudah lupa ucapan persisnya seperti apa. Dia menambahkan, bawa turis Jepang itu cukup 30 menit untuk jelasin obyek, yang lebih lama malah buat foto-foto dan belanja souvenir.

Berbeda dengan kebanyakan turis Eropa dan Amerika Serikat. Mereka datang selalu didampingi tour guide. Kecuali para backpacker biasanya, tetapi setidak-tidaknya mereka bawa buku panduan semacam Lonely Planet.

Para turis Barat ini bakal berjalan dengan pelan-pelan, tampak menikmati betul setiap bagian candi. Mereka memerhatikan setiap jengkal relief baik-baik, terkagum-kagum, sambil mendengarkan cerita tour guide yang menemani.

Kalau yang suka fotografi, mereka bisa menghabiskan entah berapa rol film sekali masuk. Bukan foto selfie, tetapi menangkap setiap sudut candi yang menurut mereka menarik. Foto-foto inilah souvenir tak ternilai yang mereka bawa pulang dengan penuh kebanggaan.

Enggak cuma mendengarkan, mereka juga seringkali mengajukan pertanyaan mengenai materi yang disampaikan tour guide. Bertanya-tanya mengenai gambar relief atau arca tertentu, misalnya. Juga menanyakan seputar Hinduisme (kalau di Prambanan) pada era candi dibangun, kondisi sosiohistoris masa itu, dll.

Kalau tour guide lupa menjelaskan, mereka akan mengejar informasinya. Ini candi dibangun kapan, oleh siapa, cara membangunnya seperti apa, dan lain-lain dan seterusnya.

Lain cerita dengan wisatawan lokal (dan kebanyakan turis Asia). Mereka yang juga pemilik kekayaan budaya ini, anehnya sama sekali enggak menunjukkan ketertarikan. Sekadar mencari tahu lebih dalam mengenai candi yang dikunjungi saja enggak berminat. Ini bicara kebanyakan ya, bukan seluruhnya.

Yakinlah, wisatawan lokal itu kalau berkunjung ke Prambanan, kebanyakan enggak akan tahu tahun berapa itu candi dibangun. Siapa yang membangun, tujuan membangunnya buat apa, dll. Termasuk pelajar/mahasiswa yang datang dalam rangka study tour, tur pendidikan.

Mereka cuma butuh tahu letak arca Roro Jonggrang---padahal bukan---di mana, sumur Bandung Bondowoso---padahal bukan---di mana, lalu foto-foto di sudut compound. Boro-boro mau nyimak jalan cerita epos Ramayana dalam relief Candi Siwa yang bersambung hingga ke Candi Brahma.

Berkunjung ke Borobudur, yang langsung dicari-cari dan dikerubungi stupa yang ada arca Kunto Bimo. Enggak bakal mereka sampai tahu tentang pembagian kamadhatu, rupadhatu, arupadhatu. Apatah lagi mempertanyakan apa makna yang terkandung dalam pahatan relief di badan candi.

Perlu Disaring

Jadi, kalau ada pertanyaan "apakah kamu setuju usulan LBP agar tiket Borobudur jadi Rp 750.000 untuk wisatawan domestik?" Saya sangat setuju sekali. Tanpa keraguan sedikit pun!

Saya sependapat dengan apa yang dituliskan Pak Djulianto Susantio dalam tulisan ini dan juga ini. Benar sekali, Borobudur dan juga candi-candi lain di Nusantara ini butuh dirawat dan untuk itu memerlukan biaya serta upaya besar. Malah mungkin sangat besar sekali.

Satu guratan iseng dari pengunjung bisa berarti biaya perawatan sekian juta. Karenanya musti disaring betul-betul wisatawan seperti apa yang boleh naik ke atasnya. Salah satunya dengan menaikkan tiket serta pembatasan kuota pengunjung agar lebih terseleksi.

Candi Borobudur, juga candi-candi lain di Nusantara ini, enggak butuh didatangi banyak wisatawan yang cuma pengin foto-foto belaka, yang enggak tahu caranya menghormati serta turut menjaga bangunan-bangunan suci ini.

Terlalu merendahkan menurut saya kalau berkunjung sekadar untuk (maaf) menjadikan candi-candi itu sebagai latar belakang foto selfie.

Borobudur, Prambanan, dan lain-lainnya adalah mahakarya agung nenek moyang kita. Maka sepatutnyalah yang datang ke sana hanya orang-orang yang dapat menghargai dan mengagungkan candi-candi tersebut.

Demikian pendapat saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun