Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Hai PSSI, Naturalisasi Pemain Bukan Solusi

24 Juli 2018   04:51 Diperbarui: 24 Juli 2018   20:12 2637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilija Spasojevic, bomber asing kesekian yang dinaturalisasi timnas Indonesia. FOTO: tribunnews.com

SEMPAT dinilai anasionalis, ide naturalisasi yang pernah ditolak PSSI belakangan justru menjadi kebiasaan. Seolah tradisi dari tahun ke tahun. Belum lama kita kembali disuguhi nama pemain hasil naturalisasi dalam daftar 24 pemain yang dipanggil timnas U-23 jelang Asian Games 2018. Mereka adalah Stefano Lilipaly, Alberto Goncalves, dan Ezra Walian.

Memang ini bukan skuad final. Bakal ada empat pemain yang terdepak usai menjalani training center di Bali mulai Selasa (24/7/2018) ini. Tapi tetap saja masuknya nama-nama pemain naturalisasi dalam timnas U-23 kian menebalkan kesan PSSI ingin menempuh jalan pintas menuju prestasi. Jalan pintas yang dirintis sejak era Nurdin Halid di tahun 2010.

Diawali dengan Cristian Gonzales yang masuk buku sejarah sepak bola nasional sebagai pemain 'impor' pertama di timnas Indonesia, hingga kini entah ada berapa puluh pemain asing yang berstatus Warga Negara Indonesia. Rasa-rasanya kita bisa membuat 2-3 kesebelasan yang seluruhnya berisi pemain naturalisasi.

Gonzales orang Uruguay totok. Sejak 2003 ia merantau ke Indonesia dan berkali-kali mencatatkan diri sebagai top scorer  di Liga (Super) Indonesia (2005, 2006, 2007/08, 2008/09). Ia juga merupakan top scorer Piala Indonesia 2010. Tak heran jika kemudian pengurus PSSI kepincut padanya. Pria kelahiran Montevideo ini pun disumpah sebagai WNI tepat sebulan sebelum memperkuat Tim Garuda di Piala AFF 2010.

Selain Gonzales, saat itu ada pula nama Irfan Bachdim. Meskipun berayah seorang Indonesia asli dan memegang paspor Indonesia sejak lama, Irfan tetap terhitung orang asing. Namanya baru dikenal luas di kalangan publik sepak bola tanah air saat tampil dalam dua laga amal di Malang dan Surabaya medio 2010.

Irfan semakin asing karena ternyata tidak fasih, kalau tidak mau dikatakan tidak bisa sama sekali, berbahasa Indonesia. Ia hanya bisa berbicara dalam bahasa Belanda dan Inggris. Menyanyikan lagu Indonesia Raya? Entahlah.

Pro dan kontra tentu saja mengiringi masuknya duet Gonzales-Irfan ke dalam timnas kala itu. Terlebih keduanya kemudian selalu menjadi starter di tiga laga Indonesia dalam babak penyisihan Grup A. Striker 'abadi' timnas yang juga pemain kesayangan fan Merah Putih, Bambang Pamungkas, jadi korban. Bepe, si pencetak gol terbanyak timnas, harus rela duduk di bangku cadangan.

Suara-suara sumbang mulai berkurang setelah melihat trengginasnya penampilan timnas kala melibas ketiga lawan di fase grup. Tanpa ampun Malaysia, Laos, dan Thailand dibabat habis. Poin penuh. Duet Gonzales-Irfan nyata sekali memberi perbedaan pada permainan timnas. Kontribusi keduanya berbuah kemenangan.

Cristian Gonzales, membuka kran naturalisasi pemain pada November 2010. FOTO: tribunnews.com
Cristian Gonzales, membuka kran naturalisasi pemain pada November 2010. FOTO: tribunnews.com
Gol penyama kedudukan saat melawan Malaysia, contohnya, lahir berkat pergerakan tanpa bola Irfan di sisi kanan kotak penalti lawan. Lalu gol kedua yang membuat Indonesia berbalik unggul dicetak oleh Gonzales dengan penuh gaya. Gol inilah yang merontokkan mental Malaysia, membuat timnas mampu menyarangkan tiga gol lagi di babak kedua dan mengakhiri laga pertamanya dengan skor meyakinkan, 5-1.

Saat melawan Laos, aksi individu Gonzales di kotak 16 meter lawan berbuah pelanggaran yang mengakibatkan hadiah penalti. Gol Firman Utina dari titik putih memecah kebuntuan sekaligus membuka keran gol kemenangan besar Indonesia atas Laos. Dalam laga tersebut Irfan mencetak gol keempat Indonesia di menit ke-51.

Ketika menundukkan Thailand di partai ketiga, lagi-lagi aksi Gonzales yang membuat lawan dijatuhi hukuman penalti. Eksekusi Bambang membuat Indonesia menyamakan kedudukan sebelum akhirnya menang 2-1. Indonesia menasbihkan diri sebagai juara Grup A dengan catatan 100%.

Langkah Indonesia lancar hingga final. Meski hanya mampu menang masing-masing 1-0 di dua leg semifinal melawan Filipina, permainan timnas mengundang decak kagum. Optimisme membuncah jelang laga puncak melawan Malaysia. Asa untuk menjadi juara Piala AFF untuk kali pertama pun melambung tinggi. Publik berharap banyak pada Gonzales, juga Irfan.

Sampai di situ sepertinya proyek naturalisasi pemain sukses besar. Banyak kalangan berseloroh, kalau cuma mengimpor dua pemain saja hasilnya bisa begini hebat, apalagi 3, 4, atau 5 sekaligus. Toh, stok calon pemain timnas dari jalur naturalisasi ada banyak. Banyak sekali. Kita semua menjadi saksinya kemudian. Sampai-sampai terapung harapan tinggi melihat Indonesia tampil di putaran final Piala Dunia 2018 bermodal pemain naturalisasi.

Hasilnya? ZONK!

Jangankan lolos ke putaran final Piala Dunia 2018, gelar juara Piala AFF 2010 saja tak mampu diraih. Ironisnya, di final saat itu Indonesia tumbang dari seteru abadi, Malaysia, yang hingga detik ini percaya naturalisasi bukanlah solusi menuju prestasi.

Contoh Gagal

PSSI sebenarnya sudah diberi contoh gagal proyek naturalisasi saat Indonesia menghadapi Filipina di semifinal. Negara yang sempat dibantai 13-1 oleh Indonesia di Piala Tiger 2002 itu punya delapan pemain naturalisasi dalam daftar starting line-up. Enam di antaranya merumput di liga Eropa dan Amerika Serikat.

Memang itu kemudian membawa Pinoy untuk pertama kali dalam sejarahnya lolos ke semifinal Piala AFF. Sebuah loncatan besar mengingat dua tahun sebelumnya Filipina bahkan tidak lolos babak play off. Tapi seiring menuanya pemain-pemain naturalisasi tersebut, Filipina pun kembali menjadi anak bawang di pentas Asia Tenggara.

Pengurus PSSI saat itu mungkin berkaca pada Singapura. Negeri Singa dua kali menggondol trofi Piala AFF (dulu bernama Piala Tiger) berbekal pemain naturalisasi. Pada 2004, ada duo Nigeria bernama Itimi Dickson dan Agu Casmir ditambah Daniel Bennett yang aslinya orang Inggris.

Lalu pada 2007, selain Dickson dan Bennett yang masih masuk skuat, ada tambahan tiga pemain naturalisasi lain dalam timnas Singapura. Ketiganya adalah Precious Emuejeraye (Nigeria), Shi Jiayi (Cina), dan Fahrudin Mustafic (Serbia). Jiayi, Bennett, dan Mustafic kembali mengantar Singapura menjadi juara pada 2012. Dan kembali ada pemain naturalisasi dalam skuat The Lions: Aleksandar Duric (Serbia) dan Qiu Li (Cina).

Tapi apa yang terjadi dalam dua edisi Piala AFF berikutnya? Bertindak sebagai tuan rumah pada Piala AFF 2014, nyatanya Singapura tak mampu lolos dari fase grup karena hanya menempati peringkat tiga Grup B. Dua tahun berselang pencapaian Negeri Singa tambah jelek: jadi juru kunci grup!

Ketika Bennett, Dickson, Casmir, Duric, Mustafic, dan pemain naturalisasi lainnya kian menua, Singapura yang memilih kembali hanya mengandalkan pemain lokal kembali tersuruk. Menarik ditunggu sejauh apa pencapaian mereka di Piala AFF 2018 nanti.

Sebaliknya, di Piala AFF 2016 itu Indonesia kembali mencapai final dan sempat mengalahkan Thailand di leg pertama. Kalau saja timnas mampu menahan imbang Thailand pada leg kedua di Bangkok, Indonesia sudah punya satu trofi Piala AFF saat ini. Ketika itu pelatih Alfred Riedl hanya memasukkan satu pemain naturalisasi: Stefano Lilipaly.

Situasi bakal berbeda di perhelatan tahun ini. Sebab PSSI menjaring banyak pemain naturalisasi dalam dua tahun ini. Yang paling menarik perhatian publik adalah bergabungnya Ilija Spasojevic dan Ezra Walian dalam Tim Merah Putih. Menarik pula dinanti apakah Luis Milla bakal memainkan nama-nama tersebut di Piala AFF 2018.

Ezra Walian, masuk dalam daftar skuat timnas yang menjalani Training Center di Bali. FOTO: tribunnews.com
Ezra Walian, masuk dalam daftar skuat timnas yang menjalani Training Center di Bali. FOTO: tribunnews.com
Menghambat Regenerasi

Saya sih senang-senang saja timnas berprestasi sekalipun dalam skuat terdapat pemain naturalisasi. Pertanyaannya, sudahkah program naturalisasi memberi perubahan pada catatan timnas? Jawabannya BELUM, kalau tidak mau dikatakan TIDAK.

Di kancah AFF, Indonesia tiga kali mencapai final Piala AFF (semasa bernama Piala Tiger) jauh sebelum program naturalisasi digulirkan PSSI. Ketiganya bahkan dicapai secara beruntun, yakni pada tahun 2000, 2002, dan 2004. Tak hanya itu, pada kesempatan tersebut penyerang-penyerang Indonesia juga meraih predikat top scorer.

Soal performa, timnas Piala Asia 2007 di bawah pelatih Ivan Kolev tampil sangat trengginas tanpa "pemain asing". Artinya, prestasi timnas yang berisi pemain naturalisasi hanya mampu mengulangi alias menyamai pencapaian sebelumnya sebelum program ini digulirkan sejak 2010.

Satu hal yang pasti, dan ini agaknya luput dari perhatian PSSI, program naturalisasi sejatinya justru merusak pola pembinaan di tanah air. Hadirnya pemain-pemain dari luar Liga Indonesia jelas membuat potensi lokal tergusur. Jangankan menaturalisasi pemain asing untuk timnas, terlalu banyak pemain asing di liga domestik saja sudah dapat merusak regenerasi pemain lokal.

Spanyol bisa jadi contoh. Ketika Real Madrid jor-joran mengumpulkan bintang-bintang dunia ke Santiago Bernabeu di awal dekade 2000-an, banyak sekali potensi muda asli Spanyol di Madrid yang lantas redup. Guti Hernandez salah satunya. Gelandang yang sempat menjadi harapan Spanyol ini tidak berkembang karena Madrid kala itu punya Zinedine Zidane, Luis Figo, dan lantas David Beckham.

Era kejayaan Spanyol dimulai seiring dominannya Barcelona di La Liga. Berkebalikan dengan Madrid yang skuatnya lebih banyak diisi pemain asing, Barca malah mengandalkan jebolan akademinya sendiri. Kebijakan ini kian menguat di era Pep Guardiola. Dan, timnas Spanyol yang didominasi pemain-pemain Barca pun menjuarai Euro 2008, disusul Piala Dunia 2010.

Contoh berikutnya Inggris. Sekali pun Liga Premier menjadi kiblat pengelolaan liga domestik modern, tapi timnas Inggris selalu terseok-seok di kancah internasional. Para pengamat setempat sepakat salah satu penyebabnya adalah kurangnya jam terbang pemain lokal di klub. Penyebabnya apalagi kalau bukan membanjirnya pemain asing.

Kali terakhir timnas Indonesia menjadi juara justru di level junior, dengan pelatih tak ternama dan pemain-pemain yang banyak tak dikenal. FOTO: sidomi.com
Kali terakhir timnas Indonesia menjadi juara justru di level junior, dengan pelatih tak ternama dan pemain-pemain yang banyak tak dikenal. FOTO: sidomi.com
Prioritaskan Pembinaan

Kembali ke program naturalisasi, hendaknya ini jangan kebiasaan terus-menerus. Alih-alih memantau dan kemudian membujuk pemain-pemain keturunan Indonesia di negara-negara lain bergabung ke timnas, pengurus PSSI sebaiknya lebih memusatkan perhatian pada pembinaan pemain muda dan pembenahan liga domestik.

Okelah kalau kemampuan para pemain naturalisasi tersebut jauh di atas pemain lokal. Pada kenyataannya skill mereka, meminjam istilah Bambang Nurdiansyah di salah satu stasiun televisi ketika itu, hanya rata-rata air alias tidak terlalu istimewa. Iklim kompetisi dan fasilitas pendukung yang lebih memadai sajalah yang membuat mereka terlihat berbeda kelas dibanding pemain asli Indonesia.

Percayalah, naturalisasi bukan solusi. Kalau pun kelak memberi prestasi, itu tidak bisa jangka panjang. Untuk jangka pendek bolehlah PSSI mengandalkan ini. Sudah lama sekali prestasi Indonesia terpuruk, mengakibatkan mental pemain timnas lemah. Masuknya pemain naturalisasi yang disusul dengan prestasi gemilang diharapkan dapat mengangkat moral awak timnas.

Tapi PSSI harus terus mengingat fungsinya sebagai pembina sepak bola di tanah air. Penyebab mundurnya prestasi timnas selama ini adalah buruknya kompetisi dan sistem pembinaan. Akibatnya pemain-pemain yang dihasilkan untuk timnas berkualitas jelek.

Tidak usah muluk-muluk, kalau saja PSSI mampu menciptakan liga domestik seperti Eredivisie, saya rasa tidak perlu lagi pengurus PSSI susah-susah keliling dunia mencari pemain keturunan Indonesia untuk dinaturaliasi.

Untuk masalah pembinaan pemain muda, PSSI sangat dianjurkan belajar pada Barcelona dengan La Masia-nya. Atau jika dirasa kurang jauh bisa sekalian saja ke Islandia. Negara es satu ini mencuri perhatian dunia dalam dua tahun terakhir. Mereka membuat gebrakan di Euro 2016 dan kemudian kesuksesan lolos ke putaran final Piala Dunia 2018.

Kalau pembinaan pemain sudah terorganisasi dengan baik, kemudian liga domestik ditingkatkan kualitasnya, saya yakin timnas Indonesia tidak bakal pernah kehabisan stok pemain berkualitas.

Pemalang, 24 Juli 2018

CATATAN: Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik 'Oposan' tabloid BOLA edisi 2.186, Kamis-Jumat 16-17 Desember 2010, dengan judul Naturalisasi Bukan Solusi. Ditulis ulang dengan banyak sekali pengembangan dan pembaruan karena dirasa masih sangat relevan dengan kondisi persepak-bolaan nasional saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun