Suasana hening. Kami terpekur. Saya tertunduk, memandangi lantai semen yang terlihat dari bolongan karpet plastik. Nenek Amina terus menatap kami satu-satu dengan pandangan tajamnya. Beberapa dari kami coba memecah kebekuan dengan mengangkat kamera, mengambil foto Nenek.
Cekrek! Cekrek! Cekrek!
Suara shutter kamera bakucepat dengan lontaran flash. Salah satunya flash dari kamera hape Asus Zenfone C saya. Kamera digital Canon Powershot SX610 HS andalan saya rusak pada malam Ake Dango di Gurabunga, tinggal kamera pada handphone dan kamera aksi mungil, Yi Cam. Jadilah di sisa perjalanan saya hanya bisa mengandalkan keduanya.
"Jangan pakai flash dong, kasihan mata Nenek silau," terdengar satu suara mengingatkan.
Saya pasrah. Tanpa bantuan flash mana bisa mendapatkan foto maksmimal dengan kamera hape ini. Buram semua. Akhirnya saya mendekati Mas Rifqy yang membekal kamera mirrorless Sony A5000.
"Mas, nanti tolong jepret pas aku salim Nenek ya," pinta saya.
Mas Rifqy mengangguk. "Siap!"
Kami hanya sebentar di rumah Nenek Na. Tak sampai setengah jam saya rasa. Kami masih harus singgah ke satu rumah lagi di Mareku ini. Orang tua Ade, pemuda Mareku yang merantau ke Jakarta, berbaik hati menjamu kami malam itu. Selain bersantap malam, di rumah itu pula kami akan menunggu aba-aba dimulainya prosesi Paji Nyili Nyili dari Rum.
Beruntunglah, Olan dan Ipul turut mengantar kami ke rumah orang tua Ade. Di saat rekan-rekan lain masuk ke dalam dan beramah tamah dengan tuan rumah, lalu dilanjut makan, saya malah menempel Olan dan Ipul yang duduk di teras. Saya tanya-tanya mereka. Dengan gawainya Olan membuka YouTube, lalu menunjukkan video seorang kakek berseragam veteran. Rupanya itu almarhum Kakek Dullah.
"Ini Tete Dullah cerita lengkap," kata Olan sembari memutar video tersebut.