Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang asyik berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet juga berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenang Perjumpaan dengan Amina Sabtu, Fatmawati-nya Tidore

18 Juli 2018   22:06 Diperbarui: 19 Juli 2018   17:26 3499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Almh. Amina Sabtu menunjukkan piagam penghargaan yang diberikan oleh Kesultanan Tidore padanya usai upacara 18 Agustus 2017. Inilah satu-satunya penghargaan yang pernah beliau terima atas keberanian yang dilakukan 72 tahun lalu. FOTO: Eko Nurhuda

Suasana hening. Kami terpekur. Saya tertunduk, memandangi lantai semen yang terlihat dari bolongan karpet plastik. Nenek Amina terus menatap kami satu-satu dengan pandangan tajamnya. Beberapa dari kami coba memecah kebekuan dengan mengangkat kamera, mengambil foto Nenek.

Cekrek! Cekrek! Cekrek!

Suara shutter kamera bakucepat dengan lontaran flash. Salah satunya flash dari kamera hape Asus Zenfone C saya. Kamera digital Canon Powershot SX610 HS andalan saya rusak pada malam Ake Dango di Gurabunga, tinggal kamera pada handphone dan kamera aksi mungil, Yi Cam. Jadilah di sisa perjalanan saya hanya bisa mengandalkan keduanya.

"Jangan pakai flash dong, kasihan mata Nenek silau," terdengar satu suara mengingatkan.

Saya pasrah. Tanpa bantuan flash mana bisa mendapatkan foto maksmimal dengan kamera hape ini. Buram semua. Akhirnya saya mendekati Mas Rifqy yang membekal kamera mirrorless Sony A5000.

"Mas, nanti tolong jepret pas aku salim Nenek ya," pinta saya.

Mas Rifqy mengangguk. "Siap!"

Kami hanya sebentar di rumah Nenek Na. Tak sampai setengah jam saya rasa. Kami masih harus singgah ke satu rumah lagi di Mareku ini. Orang tua Ade, pemuda Mareku yang merantau ke Jakarta, berbaik hati menjamu kami malam itu. Selain bersantap malam, di rumah itu pula kami akan menunggu aba-aba dimulainya prosesi Paji Nyili Nyili dari Rum.

Sebelum berpamitan saya mencium tangan Nenek Na dengan takzim. FOTO: Rifqy Faiza Rahman
Sebelum berpamitan saya mencium tangan Nenek Na dengan takzim. FOTO: Rifqy Faiza Rahman
Kami pun pamit. Bayangan akan Nenek Na yang dengan berapi-api menceritakan bagaimana beliau menjahit bendera 71 tahun lalu tak terwujud. Pun rasa penasaran saya akan keseluruhan peristiwa heroik ini, tak tertuntaskan. Pertemuan ini hanya sekejap. Kami lebih banyak berpandang-pandangan dalam diam.

Beruntunglah, Olan dan Ipul turut mengantar kami ke rumah orang tua Ade. Di saat rekan-rekan lain masuk ke dalam dan beramah tamah dengan tuan rumah, lalu dilanjut makan, saya malah menempel Olan dan Ipul yang duduk di teras. Saya tanya-tanya mereka. Dengan gawainya Olan membuka YouTube, lalu menunjukkan video seorang kakek berseragam veteran. Rupanya itu almarhum Kakek Dullah.

"Ini Tete Dullah cerita lengkap," kata Olan sembari memutar video tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun