Meski sudah tinggal jauh dari kawasan konflik, Silva terus saja merasa sedih mendengar kabar tersebut. Terlebih seorang anggota keluarga besar mereka ditikam hingga tewas dalam sebuah serangan terbuka.
"Andai saja kami bertahan di Bosnia bisa jadi kedua orang tuaku sudah tidak ada hari ini, mungkin aku pun sudah mati," kenang Dejan lagi.
Keluarga Lovren tinggal di Munich selama tujuh tahun. Dejan masuk ke sebuah TK, lalu dilanjutkan ke pendidikan setingkat sekolah dasar. Seperti halnya bocah-bocah Jerman lain, ia kemudian menggemari sepakbola. Bersama sang adik yang lahir di tahun kelima masa pengungsian, ia sering menyaksikan Bayern Munich bertanding di stadion. Ia bahkan sempat berfoto bersama bintang-bintang Bayern masa itu, di antaranya Lothar Matthaus dan Bixente Lizarazu.
Di tahun ketujuh masa pengungsian, otoritas Jerman tidak dapat memperpanjang ijin tinggal Sasa sekeluarga. Urusan administrasi memaksa mereka keluar dari Jerman dan harus kembali pindah tempat, mengungsi ke tempat lain lagi. Di tengah musim dingin tahun 1999, Sasa sekeluarga meninggalkan Munich dengan segala kenangannya.
Jalan kehidupan kemudian membawa mereka ke Karlovac, sebuah kota dekat perbatasan Slovenia. Jaraknya sekitar 55 km di barat daya Zagreb, ibukota Kroasia. Mereka pun kembali memulai hidup baru, sembari berharap dapat terus tinggal di sana.
Perang Bosnia sebenarnya telah usai bertahun-tahun sebelum itu. Pihak-pihak yang bertikai mencapai kata sepakat dalam sebuah perundingan di Markas Angkatan Udara Wright-Patterson milik Amerika Serikat di Dayton, Ohio, November 1995. Kesepakatan tersebut lantas dikukuhkan secara resmi dalam sebuah perjanjian damai di Paris pada 14 Desember 1995.
En toch, momen bersejarah tersebut tak sedikit pun menggerakkan Sasa kembali ke Kraljeva Sutjeska. Agaknya ia masih dicekam trauma dan merasa lebih baik pindah ke Kroasia, negara yang merupakan asal-usulnya.
Di Karlovac, Silva bekerja di sebuah gerai Walmart dengan gaji 350 euro sebulan, sementara Sasa bekerja sebagai tukang cat rumah. Kehidupan keras harus mereka jalani karena uang yang dihasilkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup berempat selama sebulan.
Usia Dejan 10 tahun waktu itu. Satu fragmen yang terus ia ingat adalah saat sang ayah menjual sepatu seluncur es (ice skate) miliknya demi "memperpanjang napas" di tanggal tua.
"Dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sampai kembali mendapat gaji," kenang Dejan, getir.