Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Lawan Islandia, Timnas Indonesia Dapat Apa Sih?

4 Januari 2018   15:23 Diperbarui: 5 Januari 2018   01:54 1972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dailymail.co.uk
dailymail.co.uk
Tidak bisa tidak, pemain Islandia memang harus keluar dari negaranya. Sistem pembinaan yang tertata begitu baik membuat negeri es ini memiliki pemain berbakat melimpah. Sedangkan kasta tertinggi liga lokal hanya diikuti 12 klub. Supply pemain melebihi demand.

Apakah ini menunjukkan bahwa kekuatan timnas sebuah negara tidak semata-mata bergantung pada liga lokalnya? Boleh jadi. Jika mau diambil pembanding, Jerman dan Spanyol, dua juara dunia terakhir, banyak sekali mengekspor pemainnya ke luar negeri. Beberapa bahkan sudah merumput di liga asing sejak akademi.

Sebaliknya, Inggris adalah contoh negara dengan liga lokal oke tapi minim prestasi. Premier League disebut-sebut sebagai liga terbaik dunia, namun trofi terakhir yang diraih The Three Lions adalah juara Piala Dunia 1966. Itupun berstatus tuan rumah dan diwarnai boikot negara-negara Afrika.

Buruknya prestasi Inggris di pentas internasional sangat boleh jadi terkait minimnya pemain mereka yang merumput di luar daratan Britania Raya. Akibatnya, permainan timnas Inggris cenderung tidak berkembang dari segi taktik, dan mentalnya cukup matang.

Saya jadi ingat timnas Indonesia. Mau tidak mau jadi ingat pembesar PSSI yang sempat mempertanyakan nasionalisme pemain-pemain timnas karena niatan merumput di luar negeri.

Sejak dulu Liga Indonesia diakui sebagai yang terbaik di Asia Tenggara, bahkan sebelumnya Asia. Kesuksesan Galatama di masa lalu sampai membuat pejabat-pejabat JAF (PSSI-nya Jepang) melakukan studi banding sebelum meluncurkan J-League.

Tapi kesuksesan itu hanya di tataran kemasan. Secara kualitas, Liga Indonesia kalah jauh dari profesionalitas Liga Thailand dan Liga Malaysia. Sistem pembinaan kedua negara itu juga berada di atas Indonesia. Ini jadi jawaban kenapa Indonesia yang merupakan salah satu negara berpenduduk terbesar di dunia sulit sekali menyusun timnas mumpuni.

Indonesia bisa menjadikan Islandia sebagai inspirasi dengan menjadikan pembinaan usia dini sebagai pondasi dasar sepakbola nasional. Jangan hanya sibuk mengutak-atik nama dan format liga seperti yang sudah-sudah. Jangan cuma memanfaatkan sensasi Islandia untuk menggelar pertandingan persahabatan nan hingar-bingar, lalu sepi.

Kalau memang ingin belajar dari Islandia, pengurus PSSI mustinya mengundang pengurus KSI ke Jakarta. Lebih baik lagi berangkatkan personel-personel terkait pembinaan untuk studi banding ke sana. Pelajari bagaimana negara mungil yang nyaris sepanjang tahun diselimuti salju bisa menghasilkan pemain-pemain hebat kelas dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun