Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Mungkinkah Indonesia ke Piala Dunia 2014?

18 September 2011   07:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:52 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SIAPA yang tahu Trininad and Tobago sebelum Piala Dunia 2006? Rasanya tak banyak, kalau tidak mau dibilang tak ada, warga Indonesia yang mengenal negara ini. Bahkan mendengar namanya pun mungkin tidak pernah.

Setelah memastikan diri sebagai salah satu peserta Germany 2006, negara kecil di kawasan Karibia ini pun mendunia. Buku sejarah FIFA mencatat nama Trinidad and Tobago sebagai negara terkecil, dari segi ukuran wilayah maupun jumlah penduduk, yang pernah berlaga di putaran final Piala Dunia. Patut Iri [caption id="attachment_130730" align="alignleft" width="400" caption="Dwight Yorke, melengkapi karirnya dengan tampil di PD 2006 bersama Trinidad & Tobago."][/caption] Bila membandingkan luas wilayah dan jumlah penduduk, keberhasilan Trinidad and Tobago menembus putaran final Piala Dunia seharusnya membuat Indonesia iri. Negara asal eks bintang Manchester United, Dwight Yorke, ini hanya terdiri atas 23 pulau. Nama dua pulau terbesar, Pulau Trinidad dan Pulau Tobago, dirangkai menjadi nama negara. Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki pulau sebanyak 14 ribu lebih. Bayangkan saja, luas total Trinidad and Tobago (5.131 km²) bahkan masih lebih kecil dari Pulau Belitung (7.031,46 km²) di Provinsi Bangka Belitung! Membandingkan jumlah penduduk juga sangat tidak sepadan. Menurut sensus tahun 2010, penduduk Trinidad and Tobago ‘cuma’ sebanyak 1,3 juta jiwa. Angka ini kalah banyak dari penduduk Kab. Pemalang, Jawa Tengah, yang berjumlah 1,4 juta jiwa. Ngomong-ngomong soal jumlah penduduk, kita tentu sering mendengar kalimat bernada sinis ini, “Masa iya dari ratusan juta penduduk mencari 11 pemain sepak bola yang bagus saja sulit?” Faktanya, Indonesia tak pernah kering pemain bertalenta. Mulai dari generasi Ramang hingga Boaz Solossa, Indonesia terus melahirkan bintang-bintang kelas Asia. Namun entah kenapa prestasi tak kunjung dicapai. Modal Besar Kini, Indonesia tengah menjalani babak ketiga Prakualifikasi Piala Dunia 2014. Bersama 19 negara Asia lainnya, Firman Utina cs. bersaing memperebutkan 4,5 tiket ke Brazil. Tergabung bersama Iran, Qatar, dan Bahrain di Grup E, peluang Indonesia tidak bisa dibilang kecil. Satu-satunya lawan berat boleh dibilang hanya Iran, yang langsung memberi pelajaran dengan skor telak 3-0 pada 2 September lalu. Qatar dan Bahrain rasanya bukan lagi momok bagi Indonesia, mengingat keduanya pernah dikalahkan masing-masing pada Piala Asia 2004 dan 2007. Jadi, meski Indonesia sempat kalah 0-2 dari Bahrain di SUGBK, 6 September lalu, rasanya peluang belum tertutup. Bila dibandingkan dengan langkah Trinidad and Tobago menuju PD 2006, modal Indonesia menuju PD 2014 jauh lebih besar. Modal penting pertama adalah dukungan suporter fanatik di laga kandang. Bergemuruhnya suara penonton di SUGBK nyata sekali membantu kemenangan timnas atas Bahrain di Piala Asia 2007, serta sukses lima kemenangan beruntun di fase grup dan semifinal Piala AFF 2010 lalu. Modal kedua adalah materi pemain. Saat melalui babak prakualifikasi Piala Dunia 2006 zona Concacaf, Trinidad and Tobago sampai harus memanggil pemain veteran Dwight Yorke, Russell Latapy, dan Shaka Hislop untuk mengangkat standar permainan tim. Bandingkan dengan pelatih Indonesia yang malah menyimpan striker paling ditakuti di Asia Tenggara, Bambang Pamungkas, akibat begitu kompetitifnya persaingan di lini depan timnas. Modal ketiga ada pada sosok Wim Rijsbergen. Saat Trinidad and Tobago lolos ke Jerman lima tahun lalu, orang Belanda ini adalah asisten pelatih Leo Beenhakker. Mengingat ia pernah memperkuat Belanda di Piala Dunia 1974 dan 1978, berarti Wim punya pengalaman berharga di tiga Piala Dunia. Catat juga, lolosnya The Soca Warriors ke Jerman setelah mengalahkan Bahrain di babak play-off antarkonfederasi. Dengan tiga modal tersebut, rasanya kita boleh optimis dengan peluang Indonesia menuju piala dunia pertamanya sebagai sebuah negara berdaulat. Mungkinkah? Selama kita percaya kita bisa, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

www.bungeko.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun