LAGI, timnas Indonesia harus puas menjadi runner-up setelah kalah dari Malaysia di final SEA Games 2011. Dalam final yang sama-sama kita saksikan Senin (21/11) malam kemarin, Indonesia U-23 kalah adu penalti setelah hanya mampu bermain imbang 1-1 selama 120 menit. Kekalahan yang sangat menyesakkan. Bukan karena saya orang Indonesia, tapi karena timnas sempat unggul cepat (menit ke-5) dan bermain di kandang sendiri, Stadion Gelora Bung Karno. Memori saya langsung menjelajah sejumlah kekalahan timnas di stadion kebanggaan nasional ini. Ya, kekalahan atas Malaysia semalam bukan yang pertama. Sudah beberapa kali Indonesia gagal menjadi juara saat bertanding di stadion warisan Bung Karno ini. Dalam 11 bulan ini saja sudah dua kali bangsa Indonesia melihat lawan berpesta di Stadion GBK. Desember 2010, meski menang 2-1 Bambang Pamungkas cs. harus rela melihat Fahmi cs. mengangkat trofi Piala AFF. Lalu November 2011 ini, ya kejadian yang semalam itu. [caption id="attachment_143914" align="alignleft" width="300" caption="Timnas U-23, banyak latihan tapi kurang lawan latih tanding berkualitas. Timor Leste dan klub lokal saja tentu tidak cukup kalau targetnya juara."][/caption] Aji Santoso yang jadi asisten pelatih timnas U-23 tentu masih ingat kejadian yang ia alami di Stadion GBK pada SEA Games 1997. Sama-sama menjadi tuan rumah, Indonesia sukses melaju ke final cabang sepak bola. Waktu itu Aji, dkk. menantang Thailand. Sama persis seperti semalam, skor imbang 1-1 yang bertahan hingga 120 menit membuat Indonesia musti memperjuangkan medali emas melalui adu penalti. Sayang, sama seperti semalam juga, Indonesia kalah dan harus puas hanya nyaris juara. Kalau final sepak bola SEA Games 2011 memakan 2 korban tewas terinjak-injak, final sepak bola SEA Games 1997 diwarnai kerusuhan hebat. Supporter Indonesia mengamuk saat Indonesia tertinggal 0-1, membuat pertandingan diskor dan ketua umum PSSI (saat itu) Agum Gumelar turun ke lapangan untuk menenangkan massa. Saya baru saja masuk SMA waktu itu. Maju empat tahun, di ajang Piala AFF 2004 yang saat itu masih bernama Piala Tiger, kembali Stadion GBK menjadi saksi kekalahan Indonesia. Tampil baik di babak grup, Indonesia melaju ke final dan menantang Thailand. Babak pertama Indonesia sudah ketinggalan 0-2. Untung suntikan motivasi Ivan Kolev membuat pemain-pemain Indonesia kesetanan dan mampu menyamakan hasil imbang 2-2 di babak kedua. Sayang, di babak tambahan waktu skor tetap 2-2. Penalti pun digelar, dan tendangan Firmansyah yang melayang di atas mistar gawang membuat trofi dibawa pulang Thailand. Ah, apakah Stadion GBK tak berjodoh dengan si empunya sendiri? Sebelum ada pembaca yang menyebut saya 'bermimpi', saya jawab sendiri pertanyaan ini: Indonesia tidak jadi juara karena memang belum siap menjadi juara. Cerita 'nyaris juara' seperti ini sudah terjadi berulang-ulang, entah kapan pengurus sepak bola negeri ini mau belajar dari pengalaman. Btw, untuk Titus Bonai, dkk., terima kasih atas perjuangan keras kalian selama SEA Games ini. Meski punya kualitas pemain lebih baik dari Malaysia, tapi harus diakui sebagai tim kita masih di bawah Malaysia. Jangan lupa, persiapan Malaysia jauh lebih matang dibanding Indonesia. -- Bung Eko -- Please follow me @bungeko
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H