MASIH ingat Hendri Mulyadi? Kesal melihat timnas tak berkutik saat menjamu Oman di laga Prakualifikasi Piala Asia 2011 pada 6 Januari 2010, ia pun nekat masuk lapangan. Sambil terus memegangi celananya yang kedodoran, dicobanya membobol gawang Oman. Usaha Hendri boleh gagal karena kiper Oman yang saat itu merumput di Liga Inggris, Ali al-Habsi, sigap menangkap bola. Tapi aksi nekatnya sukses besar merepresentasikan kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap buruknya prestasi timnas. [caption id="" align="alignleft" width="296" caption="Hendri Mulyadi, nekat masuk lapangan sebagai ekspresi kekecewaan terhadap performa timnas."][/caption] Seperti yang ditakutkan Hendri dan segenap pecinta timnas, Indonesia kalah dan untuk pertama kalinya sejak 1996 gagal lolos ke putaran final Piala Asia. Kejadian serupa tapi tak sama terjadi saat matchday kedua PPD 2014 di Stadion GBK, 6 September 2011. Melihat timnas ketinggalan 2 gol dari Bahrain dan tak ada tanda-tanda mampu membalas, penonton menyulut petasan. Bukan cuma menciptakan suara bising, petasan bahkan sengaja dilempar ke tengah lapangan. Pertandingan lantas dihentikan karena letupan petasan semakin menjadi-jadi. Aib bertambah besar kala Presiden SBY yang turut menonton meninggalkan kursinya jauh sebelum laga selesai. Boleh jadi Presiden kecewa dan malu, sama seperti ratusan juta pecinta sepak bola Indonesia lainnya. Haus Prestasi Pecinta sepak bola Indonesia haus prestasi, ini sudah jadi rahasia umum. Para punggawa timnas pun rasanya juga ingin meraih kejayaan dengan seragam merah-putih bergambar garuda di dadanya. Gelar terakhir yang berhasil dimenangkan Tim Garuda adalah juara SEA Games 1991. Praktis sudah 20 tahun Indonesia kering prestasi. Tak heran setiap kali PSSI memilih ketua umum baru, pertanyaan pertama yang diajukan publik adalah: mampukah ketua umum terpilih mengakhiri puasa gelar? Harapan tersebut membesar saat gerakan reformasi di tubuh PSSI menghasilkan Prof. Djohar Arifin Husin sebagai ketua umum periode 2011-2015. Dengan bekal pengalaman dan reputasi positifnya di dunia olah raga selama ini, asa segenap suporter Indonesia seolah bakal terwujud. Sayang, sejak awal Djohar justru membuat kebijakan-kebijakan kontraproduktif. Setelah mengganti jajaran pelatih timnas secara sepihak tanpa alasan jelas, format liga pun dirombaknya habis-habisan. Kedua-duanya mulai dirasakan membuat sepak bola Indonesia berjalan mundur. Bikin Malu Lihat saja. Perombakan total format kompetisi dengan menghapus Liga Super Indonesia dan Divisi Utama berakibat molornya jadwal musim baru. Liga yang seharusnya mulai bergulir pertengahan Agustus lalu, baru dimulai 15 Oktober. Itupun cuma akal-akalan PSSI untuk menghindari sanksi AFC. Di mana lagi ada liga yang cuma mempertandingkan satu partai lantas mandek hingga hampir dua bulan, kalau bukan di Indonesia? Efek lebih serius dari mandeknya liga, pelatih timnas kesulitan mencari pemain yang pas dengan skema taktiknya. Jadi jangan protes jika Wim Rijsbergen sebagai pelatih baru masih memakai pemain-pemain pilihan Alfred Riedl, pelatih yang ia gantikan. Hingga saat bertandang ke Qatar pada 11 November lalu, pengisi skuat Wim kebanyakan adalah pemain didikan Riedl. Hasilnya? Tak pernah menang dalam empat laga Prakualifikasi Piala Dunia 2014 rasanya bisa jadi jawaban. Catat juga, dari empat partai itu timnas hanya mampu mencetak 2 gol. Bandingkan dengan 11 gol yang bersarang di gawang Indonesia. Rekor ini belum ditambah dengan kekalahan 0-1 saat beruji coba dengan Yordania. Ingat juga, anak asuh Wim bahkan sempat diimbangi juniornya saat beruji coba di Solo sebelum terbang ke Timur Tengah. Salah siapa? Idealnya Wim selaku pelatih merupakan sosok paling tepat untuk dimintai pertanggungjawaban. Namun Wim tidak bisa disalahkan sendirian. Pergantian pelatih di saat tidak tepatlah yang sebenarnya menjadi penyebab buruknya performa timnas dalam mengarungi PPD 2014. Maka, sorotan tajam layak ditujukan pada Djohar dan jajarannya. Ego dan kepentingan kelompok selalu lebih diutamakan PSSI dalam melahirkan kebijakan-kebijakan. Akibatnya prestasi timnas jadi korban. Kalau terus-terusan begini, malu rasanya jadi suporter Indonesia yang selalu kalah dan miskin prestasi! Bung Eko, Follow me @bungeko
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H