[caption caption="Carlos Tevez eksekusi penalti di perempatfinal Copa America 2015 melawan Kolombia. (Foto: ibtimes.co.uk)" ][/caption]
EMPAT tahun lalu, Carlos Tevez adalah seorang pecundang. Esksekusi penaltinya yang gagal menyebabkan Argentina terhenti di perempatfinal Copa America 2011, di hadapan publik sendiri. Hukuman yang diterimanya sangat berat, ia tak lagi dipanggil masuk ke timnas sejak itu.
Saat itu, Tevez merupakan bagian dari trisula maut di lini depan Argentina. Ia di sayap kiri, bersama Lionel Messi sebagai penyerang tengah dan Ezequiel Lavezzi di sisi kanan, menjadi andalan pelatih Sergio Batista. Bersama Messi, dirinya tak tergantikan di dua pertandingan pertama fase grup.
Sayang, trisula maut tersebut terlihat tak padu. Hanya satu gol diciptakan Argentina saat memulai pertandingan dengan trio Tevez-Messi-Lavezzi. Dan satu gol itu tercipta ketika komposisi trisula tersebut diubah, yakni Lavezzi ditarik keluar digantikan Sergio Aguero di partai pertama melawan Bolivia.
Di pertandingan ketiga, sekaligus pertandingan penentuan karena Argentina baru mengumpulkan dua poin dari dua laga, Batista mengubah skema. Tak ada lagi trisula Tevez-Messi-Lavezzi. Messi digeser ke kanan, pos penyerang tengah diberikan pada Gonzalo Higuain, dengan disokong Angel Di Maria tepat di belakangnya, sedangkan sayap kiri ditempati Aguero.
Tevez dan Lavezzi harus puas duduk di bench.
Hasilnya, Argentina menang telak 3-0 atas tim undangan Kosta Rika. Aguero mencetak dua gol, satu gol lagi diciptakan oleh Di Maria. Tambahan tiga poin tersebut memastikan langkah La Albiceleste ke perempatfinal sebagai runner-up Grup A di bawah Kolombia.
Ini kemudian membuat Batista mengulangi skema yang sama saat menghadapi Uruguay di perempatfinal. Tevez lagi-lagi duduk di bench, melihat rekan-rekannya bermain dalam formasi 4-2-3-1. Uruguay unggul cepat lewat gol Diego Perez di menit ke-5. Namun Aguero tampil menyeimbangkan kedudukan 12 menit berselang.
Saat skor imbang terus bertahan hingga memasuki 10 menit terakhir, Batista melakukan perubahan. Setelah sebelumnya memasukkan Javier Pastore menggantikan Fernando Gago, Tevez dimasukkan untuk mengganti Aguero pada menit ke-84. Tak ada perubahan berarti. Skor 1-1 tak berubah sampai babak ekstra 2x15 menit dimainkan.
Lalu tibalah saat adu tendangan penalti. Tevez menjadi penendang ketiga Argentina setelah Messi dan Nicolas Burdisso. Setelah dirinya ada Pastore dan Higuain yang akan ambila bagian. Celaka, dari 10 penendang di kedua negara, hanya Tevez seorang yang gagal menunaikan tugas dengan baik. Argentina kalah 4-5 dan tersingkir.
Publik Argentina meradang. Dan Tevez jadi bulan-bulanan sasaran kemarahan serta kritik di media.
Pengasingan Empat Tahun
Bak kisah Ramayana di mana Sri Rama diasingkan bersama istrinya Dewi Shinta dan adiknya Laksmana. Kegagalan mengeksekusi penalti di perempatfinal Copa America 2011 tersebut membuat Tevez diasingkan dari timnas. Pelatih anyar Alejandro Sabella tak memanggilnya saat menyusun tim jelang Piala Dunia 2014 di Brasil.
Hal ini sempat menimbulkan tanda tanya besar. Tevez adalah top scorer Juventus musim 2013/14, mencetak total 21 gol di mana 19 di antaranya tercipta di Serie A. Ia menjadi pemain asing tersubur di kompetisi elite Italia tersebut. Beragam penghargaan pun membanjirinya di penghujung musim berkat kontribusinya mengantar Juventus menjuarai Serie A.
Tevez mendapatkan penghargaan Guerin d'Oro 2014, yakni penghargaan pemain terbaik versi media-media olahraga terkemuka Italia. Lalu ia terpilih sebagai pemain terbaik Juventus, masuk ke dalam Serie A Team of the Year dan UEFA Europa League Team of the Season. Toh, semua itu tak membuat Sabella tergerak untuk memanggilnya ke timnas. Sifatnya yang temperamental dinilai bakal mengganggu keharmonisan tim, alasan Sabella saat itu.
Satu hal yang patut ditiru, Tevez menunjukkan sikap dewasa terkait keputusan Sabella. Kepada pers lokal di Argentina ia mengatakan adalah keputusan mutlak pelatih untuk memilih dan tidak memilih seorang pemain. Ia menyatakan dirinya menghormati penuh keputusan Sabella.
Sikap Sabella seolah dibenarkan oleh pencapaian Albiceleste di Brasil. Tanpa Tevez dalam tim, Messi cs. tak terkalahkan dalam enam partai dan sukses melaju hingga ke final, sebelum dikalahkan Jerman dengan skor tipis 0-1.
Pemecatan Sabella dan masuknya Gerardo Martino pada 12 Agustus 2014 menjadi akhir pengasingan Tevez dari timnas. Hanya berselang dua bulan sejak masuknya Martino, Tevez mendapat panggilan ke skuat timnas yang dipersiapkan untuk dua laga uji coba melawan Portugal dan Kroasia. Ia kembali mengenakan seragam Albiceleste pada 12 November 2014 di pertandingan melawan Kroasia.
Mei 2015, Martino memasukkan nama Tevez dalam daftar skuat Argentina yang ia bawa ke Copa America 2015 di Chili. Namun demikian Tevez harus puas menjadi pilihan kedua. Sama halnya Batista empat tahun lalu, Martino lebih mempercayakan pos sayap kiri kepada Di Maria ketimbang Tevez.
Tevez pun harus puas hanya menjadi pemain cadangan. Ia bermain 16 menit di partai perdana fase grup melawan Paraguay, lalu baru masuk lapangan pada menit ke-82 saat mengalahkan Uruguay, dan bermain jauh lebih banyak (18 menit) di partai terakhir menghadapi Jamaika. Total ia hanya merumput selama 42 menit dalam tiga pertandingan.
Di perempatfinal melawan Kolombia, lagi-lagi Tevez baru masuk lapangan di pertengahan babak kedua. Ia diturunkan pada menit ke-73 mengganti Aguero. Namun kali ini ia mencatatkan kisah berbeda. Hasil imbang dalam 120 menit membuat pertandingan dilanjutkan ke babak adu penalti. Dan Tevez yang menjadi eksekutor terakhir Argentina sukses menunaikan tugasnya dengan baik, sekaligus menentukan kemenangan Albiceleste.
Kesempatan Terakhir
Tentu saja Tevez senang dapat menentukan kemenangan timnya di event sebesar Copa America. Namun, andai boleh memilih, dirinya akan lebih senang jika bisa mengantar Argentina menjuarai kompetisi ini. Sebab, Copa America 2015 bisa jadi kesempatan terakhir baginya untuk mempersembahkan trofi bagi Argentina.
Sejak memperkuat timnas senior pada 2004 lalu, Tevez tak sekalipun naik podium juara. Ia hanya nyaris menjadi juara, namun "nyaris" tentu berbeda jauh dengan "menjadi" juara. Copa America 2004, Piala Konfederasi 2005 dan Copa America 2007 merupakan tiga kesempatan di mana dirinya nyaris menjadi juara bersama Argentina dan selalu gagal.
Jelang masa pensiun dari lapangan hijau, Tevez ingin kembali menyumbang medali bagi negaranya seperti saat menjuarai Copa America U-20 pada 2003 dan meraih medali emas Olimpiade 2004. Ia ingin kesuksesannya di level klub, di mana ia selalu menjadi juara di setiap liga yang disinggahi, menular di level timnas. Dan, Copa America 2015 adalah kesempatan terakhir baginya untuk mewujudkan itu.
Terakhir kali Albiceleste menjadi juara kompetisi bergengsi terjadi pada Copa America 1993, alias 22 tahun lalu. Mampukah Tevez memutus puasa gelar tersebut tahun ini?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI