Bak kisah Ramayana di mana Sri Rama diasingkan bersama istrinya Dewi Shinta dan adiknya Laksmana. Kegagalan mengeksekusi penalti di perempatfinal Copa America 2011 tersebut membuat Tevez diasingkan dari timnas. Pelatih anyar Alejandro Sabella tak memanggilnya saat menyusun tim jelang Piala Dunia 2014 di Brasil.
Hal ini sempat menimbulkan tanda tanya besar. Tevez adalah top scorer Juventus musim 2013/14, mencetak total 21 gol di mana 19 di antaranya tercipta di Serie A. Ia menjadi pemain asing tersubur di kompetisi elite Italia tersebut. Beragam penghargaan pun membanjirinya di penghujung musim berkat kontribusinya mengantar Juventus menjuarai Serie A.
Tevez mendapatkan penghargaan Guerin d'Oro 2014, yakni penghargaan pemain terbaik versi media-media olahraga terkemuka Italia. Lalu ia terpilih sebagai pemain terbaik Juventus, masuk ke dalam Serie A Team of the Year dan UEFA Europa League Team of the Season. Toh, semua itu tak membuat Sabella tergerak untuk memanggilnya ke timnas. Sifatnya yang temperamental dinilai bakal mengganggu keharmonisan tim, alasan Sabella saat itu.
Satu hal yang patut ditiru, Tevez menunjukkan sikap dewasa terkait keputusan Sabella. Kepada pers lokal di Argentina ia mengatakan adalah keputusan mutlak pelatih untuk memilih dan tidak memilih seorang pemain. Ia menyatakan dirinya menghormati penuh keputusan Sabella.
Sikap Sabella seolah dibenarkan oleh pencapaian Albiceleste di Brasil. Tanpa Tevez dalam tim, Messi cs. tak terkalahkan dalam enam partai dan sukses melaju hingga ke final, sebelum dikalahkan Jerman dengan skor tipis 0-1.
Pemecatan Sabella dan masuknya Gerardo Martino pada 12 Agustus 2014 menjadi akhir pengasingan Tevez dari timnas. Hanya berselang dua bulan sejak masuknya Martino, Tevez mendapat panggilan ke skuat timnas yang dipersiapkan untuk dua laga uji coba melawan Portugal dan Kroasia. Ia kembali mengenakan seragam Albiceleste pada 12 November 2014 di pertandingan melawan Kroasia.
Mei 2015, Martino memasukkan nama Tevez dalam daftar skuat Argentina yang ia bawa ke Copa America 2015 di Chili. Namun demikian Tevez harus puas menjadi pilihan kedua. Sama halnya Batista empat tahun lalu, Martino lebih mempercayakan pos sayap kiri kepada Di Maria ketimbang Tevez.
Tevez pun harus puas hanya menjadi pemain cadangan. Ia bermain 16 menit di partai perdana fase grup melawan Paraguay, lalu baru masuk lapangan pada menit ke-82 saat mengalahkan Uruguay, dan bermain jauh lebih banyak (18 menit) di partai terakhir menghadapi Jamaika. Total ia hanya merumput selama 42 menit dalam tiga pertandingan.
Di perempatfinal melawan Kolombia, lagi-lagi Tevez baru masuk lapangan di pertengahan babak kedua. Ia diturunkan pada menit ke-73 mengganti Aguero. Namun kali ini ia mencatatkan kisah berbeda. Hasil imbang dalam 120 menit membuat pertandingan dilanjutkan ke babak adu penalti. Dan Tevez yang menjadi eksekutor terakhir Argentina sukses menunaikan tugasnya dengan baik, sekaligus menentukan kemenangan Albiceleste.
Kesempatan Terakhir
Tentu saja Tevez senang dapat menentukan kemenangan timnya di event sebesar Copa America. Namun, andai boleh memilih, dirinya akan lebih senang jika bisa mengantar Argentina menjuarai kompetisi ini. Sebab, Copa America 2015 bisa jadi kesempatan terakhir baginya untuk mempersembahkan trofi bagi Argentina.
Sejak memperkuat timnas senior pada 2004 lalu, Tevez tak sekalipun naik podium juara. Ia hanya nyaris menjadi juara, namun "nyaris" tentu berbeda jauh dengan "menjadi" juara. Copa America 2004, Piala Konfederasi 2005 dan Copa America 2007 merupakan tiga kesempatan di mana dirinya nyaris menjadi juara bersama Argentina dan selalu gagal.