Oleh drh Chaidir
SETUJU atau tidak, dengan ditetapkannya 10 orang Anggota DPRD Riau sebagai tersangka (tiga orang diantaranya telah ditahan) oleh KPK, di luar dua orang lainnya yang sudah dituntut dalam Pengadilan TIPIKOR Pekanbaru, DPRD Riau sesungguhnya telah kehilangan legitimasi informal. Secara formal lembaga DPRD memang masih memiliki legitimasi karena dilindungi konstitusi, sehingga apapun keputusan yang diambil tetap memenuhi aspek legalitas, tetapi kredibilitas lembaga ini sudah berada pada titik nadir.
Oleh karena itu sangat mengejutkan ketika ramai diberitakan DPRD Provinsi Riau akan membangun gedung baru pada tahun 2014. Gedung baru tersebut akan dibangun sepuluh lantai dengan anggaran Rp90 milyar, dan akan menyamai gedung baru DPR RI yang akan dibangun. Rencana tersebut diungkapkan Ketua DPRD Riau Johar Firdaus, saat melakukan studi banding ke DPR RI dalam rangka konsultasi rencana pembangunan gedung DPRD Riau, di Jakarta, Kamis (18/10/2012). "Kedatangan kami ke DPR dalam rangka konsultasi, karena ada rencana kami membangun gedung baru yang lebih representatif, yang akan dianggarkan di APBD 2013," kata Johar. (sumber: Harian VOKAL 19/10/2012 headline halaman 1 dan beberapa media online).
Mampukah APBD Riau mendukung rencana tersebut? Dengan RAPBD Riau 2013 yang diperkirakan mencapai Rp7 triliun, tentu saja anggaran Rp90 milyar untuk pembangunan gedung baru DPRD Riau 10 lantai tersebut pasti mampu didukung. Untuk pembangunan Stadion Utama Riau saja yang mencapai anggaran Rp900 milyar lebih bisa didukung oleh APBD Riau, apatah lagi hanya Rp90 milyar. Itu masalah kecil. Alasan pembenaran bisa dibuat, dasar hukum bisa dicari, termasuk menyiasati (mengakal-akali) Pedoman Penyusunan RAPBD 2013 yang diterbitkan oleh Mendagri, yang biasanya memberikan koridor, mana yang prioritas mana yang tidak. Permendagri biasanya menyebut, Daerah harus memperhatikan prinsip-prinsip anggaran yaitu efisiensi, efektifitas, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Pemerintah daerah selalu diarahkan untuk menata kembali program dan kegiatan yang bersifat multiyears yang kurang bermanfaat langsung bagi kepentingan masyarakat dengan memberikan perhatian khusus pada pengentasan kemiskinan.
Artinya, DPRD memang memiliki hak budget (hak anggaran), tapi bukan berarti DPRD bisa sewenang-wenang menyusun anggaran. Justru hak anggaran yang melekat pada DPRD harus digunakan untuk mengawal agar anggaran pendapatan sebesar Rp7 triliun itu digunakan untuk membiayai program pokok yang sudah dituangkan dalam RPJM, intinya disini adalah program pokok Gubernur Riau seperti yang telah dicanangkan, yakni Pengentasan Kemiskinan, Pemberantasan Kebodohan, Pembangunan Infrastruktur (populer dengan sebutan K2i). Itulah yang menjadi prioritas dalam penyusunan anggaran. Sedangkan anggaran untuk proyek-proyek mercusuar boleh sepanjang anggaran untuk program pokok sudah terpenuhi.
Urgensi gedung baru? Pembangunan gedung DPR-RI (yang mau dicontoh oleh DPRD Riau itu) sesungguhnya lebih mendesak. Tapi itu pun telah diputuskan oleh DPR untuk ditunda. Bagaimana dengan Dewan Perwakilan Daerah yang membangun 33 kantor perwakilan di seluruh provinsi @ Rp30 milyar? Pembangunan kantor DPD ini dilindungi oleh Undang-undang, tapi tetap dicibir oleh kalangan yang mengerti kedudukan fungsi legislasi dalam tata Negara kita. DPD sama sekali tidak memiliki hak suara (voting right) dalam pembentukan UU. Lantas untuk apa gedung yang total biayanya hampir Rp1 triliun itu? Berkonsentrasi untuk menggolkan amandemen ke-5 UUD 1945 untuk mengubah posisi sistem bikameral dalam sistem parlemen kita, sebenarnya jauh lebih penting bagi DPD.
Dalam paradigm kemajuan IT sekarang, pembangunan gedung bukan tidak penting, tetapi penguasaan IT jauh lebih penting. Manajemen berbasis gedung sudah lama ditinggalkan. Itu logika masa lalu. Sebab, semakin megah dan mewah sebuah gedung (apalagi banyak gedung pemerintah yang megah dan mewah), semakin besar tekanan beban maintenance yang tidak boleh tidak harus ditanggung dari tahun ke tahun. Dan beban besar pemeliharaan ini akan mengurangi kapasitas anggaran untuk rakyat. Sementara manajemen berbasis IT, semakin canggih IT yang digunakan semakin efisien.
Mengembalikan marwah dewan di mata rakyat jauh lebih penting. Apalah artinya sebuah gedung megah dan mewah bila lembaga itu kehilangan kredibilitas. Dan marwah itu bisa diraih dengan membangkit batang terendam, membangun kembali kepercayaan (trust) rakyat yang telah runtuh itu. Trust itu harga mati bila Anggota Dewan mau kelak kembali menjadi rakyat biasa dengan kepala tegak. Atau barangkali sudah kepalang basah? Ampun DJ.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H