Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kera Kena Belacan

9 Oktober 2012   09:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:02 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh drh Chaidir

KERA itu terlihat sangat gelisah.
"Kamu kenapa seperti cacing kepanasan?" Tanya temannya.
"Sialan, ku kira benda itu kue."
"Rupanya apa?"
"Belacan, gila!"
"Gawat!"
Kedua kera itu pun risau.

Belacan jadi masalah serius bagi kera. Tak percaya? Coba saja. Makhluk keluarga primata yang secara antropologi memiliki hubungan dekat dengan manusia ini, ternyata sombong sekali, mereka tak suka bau belacan. Padahal badan kera itu sendiri bukanlah berbau harum, kera justru berbau bacin bahkan lebih bacin dari satu kuintal belacan. Bau kera pasti tak nyaman di hidung makhluk yang bernama manusia. Bau badan kera bukan karena faktor kelenjar atau karena salah bunda mengandung, tapi karena seumur-umur mereka memang tak pernah menggunakan deodoran apalagi parfum bulgari. Kera pun tidak pernah mandi kecuali karena tercebur sungai.

Kera paling jengkel bila tangannya yang suka jahil dan lincah itu menyentuh belacan sengaja atau tak sengaja. Kera akan resah gelisah karena tangannya berbau belacan. Mereka akan berusaha sedaya upaya untuk menghilangkan bau belacan itu dengan menggosok-gosokkan tangannya kemana-mana bahkan bisa sampai berdarah. Kera sama sekali merasa tak senang dan tak nyaman dengan bau belacan. Jangan tanya, kenapa? Padahal dicuci saja pakai sabun wangi atau pakai krim handbody, habis perkara, pasti langsung hilang baunya. Tapi kera tetaplah kera. Mereka tak punya akal budi. Walaupun kera disebut punya otak cukup besar dibandingkan dengan satwa sejenis lainnya, dan bisa dilatih untuk beberapa macam kemampuan, tapi kera tidak pernah mampu mengatur emosinya. Emosi kera tidak terkontrol dan mereka suka menggunakan kekerasan. Ini jugalah barangkali yang sering ditiru oleh makhluk lain yang memiliki akal budi tetapi tak menggunakan akal budinya.

Sesungguhnya tak ada masalah dengan belacan. Belacan adalah bumbu masak yang terbuat dari ikan atau udang yang difermentasikan. Bentuknya seperti adonan atau pasta dan berwarna hitam-coklat, kadang ditambah dengan bahan pewarna sehingga menjadi kemerahan. Belacan banyak diproduksi di Bagansiapi-api dan di desa-desa pantai lainnya.

Berbau atau tidak berbau, belacan alias terasi tetap saja menjadi bumbu wajib dan paling populer untuk ramuan sambal masakan khas masyarakat pesisir pada umumnya. Bagi masyarakat yang tinggal di tepi pantai Selat Melaka dari utara sampai selatan, juga di pantai utara Pulau Jawa, bahkan juga di semenanjung Malaysia, tak sedap hidangan tanpa sambal belacan. Entah mengapa, manusia tak mempersoalkan bau belacan, yang bahkan kera pun tak suka. Makhluk manusia ternyata lebih permissive terhadap bau belacan daripada seekor kera.

Perilaku kera yang gelisah bila terkena atau bersentuhan dengan belacan, oleh makhluk manusia dijadikan kiasan. "Seperti kera kena belacan." Sekarang banyak penguasa, birokrat, alat negara, aparat penegak hukum, dan politisi yang berperilaku seperti kera kena belacan. Penyebabnya pastilah bukan karena sambal belacan, tapi akibat ketahuan bersalah melakukan penyimpangan dan harus berhadapan dengan aksi-aksi unjuk rasa masyarakat dan jerat hukum KPK.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun