Oleh drh Chaidir
KERA itu terlihat sangat gelisah.
"Kamu kenapa seperti cacing kepanasan?" Tanya temannya.
"Sialan, ku kira benda itu kue."
"Rupanya apa?"
"Belacan, gila!"
"Gawat!"
Kedua kera itu pun risau.
Belacan jadi masalah serius bagi kera. Tak percaya? Coba saja. Makhluk keluarga primata yang secara antropologi memiliki hubungan dekat dengan manusia ini, ternyata sombong sekali, mereka tak suka bau belacan. Padahal badan kera itu sendiri bukanlah berbau harum, kera justru berbau bacin bahkan lebih bacin dari satu kuintal belacan. Bau kera pasti tak nyaman di hidung makhluk yang bernama manusia. Bau badan kera bukan karena faktor kelenjar atau karena salah bunda mengandung, tapi karena seumur-umur mereka memang tak pernah menggunakan deodoran apalagi parfum bulgari. Kera pun tidak pernah mandi kecuali karena tercebur sungai.
Kera paling jengkel bila tangannya yang suka jahil dan lincah itu menyentuh belacan sengaja atau tak sengaja. Kera akan resah gelisah karena tangannya berbau belacan. Mereka akan berusaha sedaya upaya untuk menghilangkan bau belacan itu dengan menggosok-gosokkan tangannya kemana-mana bahkan bisa sampai berdarah. Kera sama sekali merasa tak senang dan tak nyaman dengan bau belacan. Jangan tanya, kenapa? Padahal dicuci saja pakai sabun wangi atau pakai krim handbody, habis perkara, pasti langsung hilang baunya. Tapi kera tetaplah kera. Mereka tak punya akal budi. Walaupun kera disebut punya otak cukup besar dibandingkan dengan satwa sejenis lainnya, dan bisa dilatih untuk beberapa macam kemampuan, tapi kera tidak pernah mampu mengatur emosinya. Emosi kera tidak terkontrol dan mereka suka menggunakan kekerasan. Ini jugalah barangkali yang sering ditiru oleh makhluk lain yang memiliki akal budi tetapi tak menggunakan akal budinya.
Sesungguhnya tak ada masalah dengan belacan. Belacan adalah bumbu masak yang terbuat dari ikan atau udang yang difermentasikan. Bentuknya seperti adonan atau pasta dan berwarna hitam-coklat, kadang ditambah dengan bahan pewarna sehingga menjadi kemerahan. Belacan banyak diproduksi di Bagansiapi-api dan di desa-desa pantai lainnya.
Berbau atau tidak berbau, belacan alias terasi tetap saja menjadi bumbu wajib dan paling populer untuk ramuan sambal masakan khas masyarakat pesisir pada umumnya. Bagi masyarakat yang tinggal di tepi pantai Selat Melaka dari utara sampai selatan, juga di pantai utara Pulau Jawa, bahkan juga di semenanjung Malaysia, tak sedap hidangan tanpa sambal belacan. Entah mengapa, manusia tak mempersoalkan bau belacan, yang bahkan kera pun tak suka. Makhluk manusia ternyata lebih permissive terhadap bau belacan daripada seekor kera.
Perilaku kera yang gelisah bila terkena atau bersentuhan dengan belacan, oleh makhluk manusia dijadikan kiasan. "Seperti kera kena belacan." Sekarang banyak penguasa, birokrat, alat negara, aparat penegak hukum, dan politisi yang berperilaku seperti kera kena belacan. Penyebabnya pastilah bukan karena sambal belacan, tapi akibat ketahuan bersalah melakukan penyimpangan dan harus berhadapan dengan aksi-aksi unjuk rasa masyarakat dan jerat hukum KPK.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H