Kemelayuan pada dasarnya juga merupakan sejumlah ciri yang ada pada perangkat simbol. Ini terlihat pada pembahasan Parsudi Suparlan (1985) mengenai identitas sosial-budaya orang Melayu. Perangkat simbol ini berasal antara lain dari kerajaan-kerajaan Melayu di masa lampau, yang kemudian banyak mewarnai kehidupan orang Melayu dan mendapat pengakuan sebagai perangkat simbol Melayu dari sukubangsa lain. Perangkat simbol ini berupa "kombinasi seperangkat motif dan nilai-nilai abstrak". Perangkat simbol ini merupakan kerangka acuan yang penting bagi orang Melayu dalam berinteraksi dengan sesama orang Melayu dan mereka yang bukan Melayu.
Ciri-ciri perangkat simbol Melayu ini antara lain adalah "keramah-tamahan dan keterbukaan", yang dapat "mengakomodasi perbedaan". Ciri-ciri ini, menurut Parsudi Suparlan, merupakan hasil dari "pengalaman sejarah kebudayaan Melayu yang selama berabad-abad telah berhubungan dengan kebudayaan asing." Dengan ciri tersebut budaya Melayu mampu mengambil-alih unsur-unsur budaya lain dan kemudian menjadikannya seperti bagian asli dari budaya Melayu itu sendiri. Dengan kata lain, budaya Melayu memiliki kemampuan yang tinggi untuk menyerap unsur-unsur budaya dari sukubangsa lain.
Ciri umum yang lain dianggap ada pada strukturnya, yang terdiri dari sejumlah status dan peran dalam sistem pemerintahan. Sebagaimana ditunjukkan oleh T.Luckman Sinar (1985), Rahim (1985) dan Suwardi (1985), kedudukan paling tinggi dalam kerajaan Melayu adalah kedudukan raja yang bergelar "sultan", atau yang memiliki nama-nama Arab (Ambary, 1985), dan di bawahnya adalah para pembesar setempat, yang mempunyai kedudukan dan gelar yang berbeda-beda, seperti Bendahara dan Yang Dipertuan Muda.
Ciri yang lain, menurut Ong Hok Ham adalah kemaritimannya. Kerajaan-kerajaan Melayu di masa lalu merupakan kerajaan-kerajaan maritim, atau kerajaan yang berkembang di tepi-tepi, sungai yang menghubungkannya dengan laut luas. Basis ekonomi mereka adalah perdagangan antarpulau. Sayang sekali dalam hal ini belum ada keterangan yang lebih jelas mengenai proses tumbuhnya kerajaan-kerajaan tersebut di masa lampau. Apakah kerajaan-kerajaan ini juga mempunyai basis masyarakat yang hidup dari bertani di pedalaman atau memang sepenuhnya hidup dari perdagangan antarpulau? Jika berbasis pada perdagangan, mengapa tidak terlihat posisi-posisi khusus untuk menangani kegiatan perdagangan? Bagaimana hubungan antara raja dengan rakyatnya di sini? Ciri-ciri Melayu yang lain dalam perangkat simbol orang Melayu adalah bahasa, Islam dalam agama, bilateral dalam sistem kekerabatan, dan kemajemukan dalam budaya Melayu itu sendiri. Bahasa Melayu sebagai ciri dari perangkat simbol Melayu adalah hal yang sangat jelas, dan ini juga diakui oleh suku-sukubangsa lain. Islam sebagai agama orang Melayu juga diakui oleh suku-sukubangsa lain yang banyak berhubungan dengan orang Melayu, seperti suku Sakai, suku Dayak, dan suku Batak, sehingga ketika seseorang masuk Islam dia juga dikatakan "menjadi Melayu". Kemajemukan sebagai ciri budaya Melayu juga diakui oleh orang Melayu dan yang bukan Melayu. Mereka mengetahui bahwa orang Melayu dapat dibeda-bedakan lagi menjadi orang Melayu Riau Daratan dan orang Melayu Riau Kepulauan. Orang Melayu Kepulauan dapat dibedakan lagi menjadi orang Melayu Penyengat, orang Melayu Bintan, orang Melayu Batam, dan seterusnya.
Seperti halnya pandangan-pandangan esensialis sebelumnya, pandangan esensialis tentang perangkat simbol Melayu ini juga menghadapi masalah yang sama. Sebagaimana kita ketahui, ciri-ciri yang dikatakan oleh Parsudi Suparlan sebagai ciri-ciri simbol Melayu, yakni keramah-tamahan, keterbukaan, agama, bahasa, sistem kekerabatan bilateral dan kemajemukan, ciiri-ciri ini juga ada dalam perangkat simbol suku-sukubangsa lain di Indonesia, seperti misalnya orang Minahasa, orang Bugis-Makassar, orang Banjar, dan sebagainya. Jika demikian maka sebenarnya kemelayuan sebagaimana yang dikatakan oleh Parsudi Suparlan sulit untuk dikatakan sebagai kemelayuan atau identitas Melayu.
Kemelayuan juga menjadi lebih jelas tampil ketika ditempatkan dalam konteks relasi orang Melayu dengan golongan-golongan sosial tertentu secara historis, sebagaimana ditunjukkan oleh Muchtar Lutfi (1985). Kemelayuan yang menurut Lutfi penting dalam relasi-relasi sosial orang Melayu adalah nilai-nilai agama Islam. Kuatnya nilai-nilai Islam tertanam dalam budaya Melayu telah membuat orang Melayu tidak menyukai budaya Barat (Portugis, Belanda, Inggris), yang sangat dipengaruhi oleh agama Kristen-Katholik, yang juga merupakan oposisi dari agama Islam. Apalagi orang-orang Barat adalah juga orang-orang yang telah menaklukkan dan menghancurkan kerajaan-kerajaan Melayu yang berbasis pada agama Islam di masa lampau. Ketidak-sukaan orang Melayu terhadap orang dan budaya Barat tersebut sangat berbeda dengan sikap dan pandangan mereka terhadap orang dan budaya Arab, yang telah membuat budaya Melayu mampu berkembang dan mengalami kejayaan di masa lampau. Sejarah relasi orang Melayu dengan orang Arab, India, Cina, Portugis, dan Inggris, merupakan fakta yang dianggap dapat menjelaskan posisi dan relasi orang Melayu di masa kini.
Kemelayuan sebenarnya tidak hanya dibangun oleh orang Melayu, tetapi juga oleh mereka yang bukan Melayu. Artinya, orang-orang non-Melayu sebenarnya juga memiliki pandangan atau gambaran sendiri mengenai apa itu "Melayu", sebagaimana terlihat pada tulisan Zawawi Imron (1985). Unsur budaya Melayu pertama yang dikenal oleh Zawawi Imron adalah bahasa Melayu. Walaupun merupakan unsur budaya asing, namun bahasa Melayu ternyata "telah lama menjadi kebanggaan orang-orang di kampung "tempat tinggalnya. Bahasa Melayu merupakan bahasa orang-orang di kantor atau bahasa orang-orang yang terpandang. Kemelayuan di sini adalah tidak lain adalah bahasa Melayu, dan kemelayuan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang "tinggi kedudukan-nya" karena digunakan oleh orang-orang yang juga tinggi kedudukan sosialnya, yakni para pejabat dan orang-orang Madura yang telah berhasil "berlayar dan singgah di bandar-bandar yang jauh dari Madura" (Imron, 1985).
Memandang kemelayuan sebagai ciri-ciri simbolis saja memang akan menimbulkan kesan bahwa kemelayuan merupakan sesuatu yang mandeg, yang statis, yang hanya melekat pada simbol-simbol. Meskipun ini sampai taraf tertentu tidak salah, tetapi gambaran semacam itu tidak mencerminkan seluruh kenyataan yang melibatkan ciri-ciri simbolis tersebut. Sebagai ciri-ciri simbolis tentunya kemelayuan dapat dipandang sebagai perangkat simbolis yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam kehidupan orang Melayu sehari-hari. Untuk itulah kita perlu melihat bagaimana simbol ini dihadirkan – sadar sadar ataupun tidak – dalam kehidupan sehari-hari orang Melayu. Kita harus memperhatikan symbol in action, simbol sebagai perangkat untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari; simbol sebagai perangkat untuk membangun relasi sosial dan kelompok-kelompok sosial.
Tanggungjawab Sejarah
Kita semua berhutang budi pada generasi terdahulu yang telah menjadikan kebudayaan Melayu sebagai platform kemasyarakatan. Sebuah kebudayaan yang akomodatif terhadap kemajemukan. Kebudayaan Melayu telah menjadi simbol bagi entitas peradaban seperti yang terlihat di Kesultanan Riau Lingga dan Kesultanan Siak Sri Indrapura. Kebudayaan Melayu yang substantif diharapkan mampu mengawal perilaku masyarakat dan kepemimpinan pemerintahan, sehingga secara tegas disebutkan, "Raja alim raja disembah raja zalim raja disanggah." Kepemimpinan dalam perspektif Melayu juga tidak terlalu muluk-muluk. Konsepnya sangat manusiawi dan sederhana, yang terhimpun hanya dalam satu kata: paham! Seorang pemimpin yang paham akan mampu membawa dua misi, yakni pemakmuran dan keteladanan.
Tantangan kini dan ke depan bagi Melayu sebagai perangkat nilai adalah menjadikan nilai-nilai Melayu itu instrumental, tidak hanya sebatas penghias bibir, sebatas formalitas tetapi tidak substansial dan operasional. Atribut-atribut itu penting, tetapi tetapi memberi makna substansial juga tidak kalah pentingnya.
Kepemimpinan yang memiliki integritas tidak bisa dipungkiri, adalah faktor yang paling dominan dalam internalisasi nilai-nilai kebudayaan Melayu. Sayangnya, yang mengemuka dewasa ini adalah berita-barita negatif yang melelahkan, yang justru ketika atribut Melayu dijunjung dalam segala aspek kehidupan.