Oleh drh Chaidir
AROMA pemilihan Gubernur Jakarta 2012 tercium sampai ke daerah. Sebenarnya pemilihan gubernur itu sendiri masih lama, diperkirakan baru berlangsung bulan September 2012 nanti. Tetapi pekan ini pun getarannya mulai terasa dan geliatnya mulai terlihat. Partai-partai politik sudah mulai tebar pesona dan masing-masing sudah mulai ngelus jago.
Menariknya, bakal calon Gubernur DKI yang muncul tidak hanya tokoh-tokoh nasional yang sudah malang melintang di Jakarta, seperti yang terjadi selama ini, tetapi juga diramaikan oleh tokoh-tokoh yang berasal dari daerah dan sebagian sedang menjabat sebagai Kepala Daerah. Sebut saja misalnya Alex Noerdin, Gubernur Sumatera Selatan. Alex Noerdin belum lagi genap satu periode memimpin Sumsel, sekarang kelihatan serius ikut berkompetisi di ibukota Jakarta. Rano Karno, Wakil Gubernur Banten, baru beberapa bulan lalu dilantik, sekarang disebut-sebut akan ikut pula meramaikan bursa.
Yang sangat berpotensi fenomenal adalah munculnya nama petarung Joko Widodo, Walikota Surakarta, yang populer dengan panggilan Jokowi, dan memang seorang walikota yang berprestasi. Memang, sebagaimana diberitakan media massa, Jokowi mengatakan pihaknya sampai sekarang belum memutuskan untuk maju atau tidak sebagai calon Gubernur DKI Jakarta meskipun telah menjalani uji kelayakan di DPP PDI Perjuangan beberapa hari lalu. Di samping Jokowi, sayup-sayup terdengar, disebut pula nama petarung lain, Basuki alias Ahok, mantan Bupati Belitong Timur, kampung halaman novelis Andrea Hirata.
Di era demokrasi liberal dewasa ini, jabatan Gubernur DKI Jakarta, diposisikan oleh publik tak lagi tinggi sakral di awang-awang, dengan persyaratan tak tertulis berupa kemampuan dan kecakapan istimewa, orang-orang pilihan yang tersaring di ruang publik. Jabatan Gubernur DKI Jakarta biasa-biasa saja. Boleh bagi siapa saja, Ketua RT pun boleh, yang penting punya nyali, kuasai media melalui isu-isu populis, buat baliho sebanyak-banyaknya, ada partai politik, atau kumpulkan KTP, bentuk tim sukses, ada fulus, habis perkara.
Pemilihan gubernur secara langsung selalu menarik perhatian, apatah lagi pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Dan itu wajar, karena Jakarta adalah ibukota sebuah Negara dengan penduduk empat besar di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Jakarta tidak hanya milik orang Jakarta tapi juga milik orang-orang daerah. Jakarta adalah ibukotanya daerah dan daerah adalah hinterland-nya Jakarta. Tidak salah bila orang-orang daerah ingin memiliki kebanggaan terhadap Jakarta, mengharapkan Jakarta tumbuh sebagai sebuah kota modern namun tetap manusiawi dan ramah. Hapuskan stigma bahwa ibu kota lebih kejam dari ibu tiri, karena ibu tiri saja sekarang sudah memiliki paradigma baru, tak lagi kejam.
Sebenarnya, melalui pemilukada langsung dalam sistem demokrasi liberal yang sedang berkembang, kita ingin mendapatkan pemimpin atau kepala daerah yang terpercaya, memiliki kapasitas dan sesuai aspirasi masyarakat. Banyak pemimpin-pemimpin muda yang muncul di daerah yang memiliki gaya kepemimpinan kuat, akomodatif dan mampu memberi jawaban yang tepat terhadap kesulitan masyarakat, namun juga tidak sedikit yang terperangkap dalam gaya kepemimpinan otokratis dan pseudo-demokratis. Legitimasi kuat adakalanya menyebabkan pedang kekuasaan digunakan sewenang-wenang. Kadangkala terlihat demokratis di depan khalayak, tetapi di belakang layar mengembang gaya fir’aunisme, haus kekuasaan, keras kepala, merasa benar sendiri, selalu merasa bebas dari kesalahan dan sering ingkar janji. Padahal seperti quadran Johari’s window, mereka tidak tahu kalau sebenarnya mereka tidak tahu.
Salah seorang bakal calon Gubernur DKI Jakarta, Wanda Hamidah, menyebut bahwa sebagai orang yang dilahirkan di Jakarta, Betawi asli, dialah orang yang paling tepat dan mengerti isi perut Jakarta. Tetapi di beberapa daerah isu etnisitas sudah tak lagi relevan. Dengan semangat itu agaknya, Jakarta kini dikepung oleh calon-calon gubernur yang muncul dari daerah. Adakah juga akan ikut berkompetisi Gubernur Banten Ratu Atut, Gubernur Riau Rusli Zainal,Gubernur Sumbar Irwan Prayitno atau Sri Sultan Hamengkubuwono X ikut adu nasib dalam pilgub Jakarta? Kita tunggu, masih ada waktu.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H