Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Lembu Punya Susu

16 Februari 2012   12:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:34 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh drh. Chaidir

KONON seorang kepala daerah yang baru bertugas di Riau beberapa puluh tahun lalu, dalam sebuah pidato, salah menyebut Pulau Kijang sebagai Pulau Kambing. Seorang audien menyeletuk, "Pulau Kijang Pak Gub!" Sang Gubernur tangkas trengginas mengklarifikasi, sambil tersenyum dengan suara lantang berujar, "Kijang atau Kambing sama saja." Canda Gubernur disambut dengan tawa ria khalayak. Kebekuan mencair.

Kijang dan kambing kendati sama-sama hewan pemakan dedaunan (herbivora), sama-sama memamah biak, sama-sama bertanduk, kedua hewan ini jelas beda. Tapi, apa beda lembu dan sapi? Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka menyebut, artinya sama saja. Lembu ya sapi, sapi ya lembu. Dibolak-balik sama saja. Namun kenapa ada bidal, lembu punya susu, sapi dapat nama? Bidal itu sebenarnya mengandung dua makna. Pertama, seakan lembu dan sapi itu bukan jenis hewan penghasil susu yang sama, dengan demikian sesuai untuk sebuah perumpamaan lain yang berjasa, lain yang dapat penghargaan. Atau lain yang bertungkus lumus lain yang mendapat imbalan. Atau, rakyat yang punya kerja, penguasa yang dapat anugerah. Atau bisa juga dalam makna kedua, disadari kedua hewan itu sebenarnya sama. Dengan demikian tak perlu dipersoalkan betul siapa yang berjasa siapa yang dapat nama.

Namun demikian, di tengah masyarakat, suka atau tidak suka, persepsinya sedikit beda. Kalau diadakan pemungutan suara, opsi pertama kelihatannya lebih banyak pendukungnya. PSU sekalipun hasilnya akan sama saja. Kenapa? Karena beberapa kalangan menyebut lembu berwarna putih berbadan besar, sementara sapi berwarna coklat. Konon dalam agama Hindu beberapa pengikut bisa memakan daging sapi, tetapi tidak untuk daging lembu. Terma sapi memberi nuansa resmi. Istilah sapi lebih banyak digunakan oleh masyarakat perkotaan, instansi-instansi pemerintah dan dalam dunia perdagangan internasional. Istilah sapi lazim digunakan dalam frasa seperti "impor sapi potong", "peternakan sapi perah", "Sapi Program K2i" (hanya ada di Riau: sapi program penanggulangan kemiskinan dan kebodohan). Dalam politik pun dikenal istilah "politik dagang sapi", bukan "politik dagang lembu". Menu temannya nasi goreng juga disebut "telur mata sapi", bukan "telur mata lembu." Ibu-ibu muda di kota yang bermasalah dengan ASInya atau enggan mahkotanya peyot-peyot, selalu mencari alternatif susu sapi atau susu kedele di toko-toko, bukan mencari susu lembu. Padahal jelas hewan yang menghasilkan susu itu menurut mahzab pertama adalah lembu. Jadi terlihat beda, sapi yang "gedongan" sok jadi pahlawan padahal lembu yang "jadul" (jaman dulu) sesungguhnya yang berjasa.

Yang membuat sapi kena batunya adalah para mafia kasus, mafia hukum, mafia proyek, oknum aparat bodong, dan sejenisnya. Selalu saja ada pihak yang menjadi sapi perahan, tidak pernah disebut lembu perahan. Sialnya, setelah susunya kering sang sapi dikirim pula ke rumah potong. Sudah jatuh tertimpa tangga. Malang nian.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun