Oleh drh. Chaidir
KONON seorang kepala daerah yang baru bertugas di Riau beberapa puluh tahun lalu, dalam sebuah pidato, salah menyebut Pulau Kijang sebagai Pulau Kambing. Seorang audien menyeletuk, "Pulau Kijang Pak Gub!" Sang Gubernur tangkas trengginas mengklarifikasi, sambil tersenyum dengan suara lantang berujar, "Kijang atau Kambing sama saja." Canda Gubernur disambut dengan tawa ria khalayak. Kebekuan mencair.
Kijang dan kambing kendati sama-sama hewan pemakan dedaunan (herbivora), sama-sama memamah biak, sama-sama bertanduk, kedua hewan ini jelas beda. Tapi, apa beda lembu dan sapi? Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka menyebut, artinya sama saja. Lembu ya sapi, sapi ya lembu. Dibolak-balik sama saja. Namun kenapa ada bidal, lembu punya susu, sapi dapat nama? Bidal itu sebenarnya mengandung dua makna. Pertama, seakan lembu dan sapi itu bukan jenis hewan penghasil susu yang sama, dengan demikian sesuai untuk sebuah perumpamaan lain yang berjasa, lain yang dapat penghargaan. Atau lain yang bertungkus lumus lain yang mendapat imbalan. Atau, rakyat yang punya kerja, penguasa yang dapat anugerah. Atau bisa juga dalam makna kedua, disadari kedua hewan itu sebenarnya sama. Dengan demikian tak perlu dipersoalkan betul siapa yang berjasa siapa yang dapat nama.
Namun demikian, di tengah masyarakat, suka atau tidak suka, persepsinya sedikit beda. Kalau diadakan pemungutan suara, opsi pertama kelihatannya lebih banyak pendukungnya. PSU sekalipun hasilnya akan sama saja. Kenapa? Karena beberapa kalangan menyebut lembu berwarna putih berbadan besar, sementara sapi berwarna coklat. Konon dalam agama Hindu beberapa pengikut bisa memakan daging sapi, tetapi tidak untuk daging lembu. Terma sapi memberi nuansa resmi. Istilah sapi lebih banyak digunakan oleh masyarakat perkotaan, instansi-instansi pemerintah dan dalam dunia perdagangan internasional. Istilah sapi lazim digunakan dalam frasa seperti "impor sapi potong", "peternakan sapi perah", "Sapi Program K2i" (hanya ada di Riau: sapi program penanggulangan kemiskinan dan kebodohan). Dalam politik pun dikenal istilah "politik dagang sapi", bukan "politik dagang lembu". Menu temannya nasi goreng juga disebut "telur mata sapi", bukan "telur mata lembu." Ibu-ibu muda di kota yang bermasalah dengan ASInya atau enggan mahkotanya peyot-peyot, selalu mencari alternatif susu sapi atau susu kedele di toko-toko, bukan mencari susu lembu. Padahal jelas hewan yang menghasilkan susu itu menurut mahzab pertama adalah lembu. Jadi terlihat beda, sapi yang "gedongan" sok jadi pahlawan padahal lembu yang "jadul" (jaman dulu) sesungguhnya yang berjasa.
Yang membuat sapi kena batunya adalah para mafia kasus, mafia hukum, mafia proyek, oknum aparat bodong, dan sejenisnya. Selalu saja ada pihak yang menjadi sapi perahan, tidak pernah disebut lembu perahan. Sialnya, setelah susunya kering sang sapi dikirim pula ke rumah potong. Sudah jatuh tertimpa tangga. Malang nian.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H