Oleh drh Chaidir
BILA usul perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diajukan oleh Pemerintah disetujui oleh DPR, maka pemilihan gubernur akan kembali ke gaya lama: dipilih oleh DPRD Provinsi.
Sesungguhnya, sistem apapun yang dipakai, pemilihan langsung atau pemilihan melalui sistem perwakilan, tentu ada plus minusnya, tergantung dari cara pandang dan kepentingannya. Bagi parpol yang memiliki kursi mayoritas di DPRD Provinsi, revisi sistem pemilihan gubernur tersebut tentu pucuk dicinta ulam tiba. Tapi bagi yang memahami pemilihan langsung adalah hak politik rakyat yang berdaulat, maka mengembalikan pemilihan gubernur ke DPRD Provinsi sama saja sebuah langkah mundur dalam kehidupan demokrasi.
Pemilihan gubernur secara langsung (juga pemilihan bupati dan walikota), sebenarnya dilakukan dengan berbagai pertimbangan, antara lain untuk memilih seorang kepala daerah yang kredibel di mata masyarakat. Masyarakat di daerah harus tahu rekam jejak dari sang calon pemimpin, dipahami memiliki ilmu pengetahuan dan memiliki perangai yang baik. Di samping itu, pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan dapat membentuk persebatian antara pemimpin dengan rakyatnya. Pemilihan kepala daerah secara langsung bisa mengurangi tekanan atau rongrongan dari DPRD kepada kepala daerah. Mereka sama-sama dipilih oleh rakyat.
Sebaliknya, pemilihan melalui DPRD akan menyebabkan kepala daerah secara psikologis merasa berhutang budi kepada pemilihnya di DPRD, bukan kepada rakyat. Pengaruh partai politik akan menjadi lebih besar terhadap seorang kepala daerah. Bila tidak hati-hati kepala daerah bisa berada pada posisi tersandera. Akibat kinerja parpol umumnya bermasalah, maka kepercayaan publik terhadap DPRD masih tetap rendah, dan ini akan berpengaruh terhadap legitimasi seorang gubernur.
Masalah yang selalu dirisaukan dengan sistem pemilihan langsung adalah biaya penyelenggaraan yang terlalu besar, dan adanya praktik money politic. Politik uang yang berlebihan telah membentuk masyarakat menjadi materialistik. Sedangkan persaingan antar kandidat seringkali menimbulkan fragmentasi di tengah masyarakat bahkan adakalanya menyebabkan timbulnya konflik horizontal. Incumbent juga cenderung menggunakan kekuasaan dan politisasi birokrasi. Bila pemilihan gubernur melalui DPRD, hal-hal seperti itu diperkirakan bisa diminimalisir.
Tapi masalahnya tidak sesederhana itu. Perilaku sosial politik masyarakat kita sudah banyak berubah akibat dosis tinggi "racun" pemilukada langsung, dan perubahannya permanen. Dengan demikian cara masa lalu untuk menyelesaikan masalah masa kini, adalah sebuah logika basi, atau apa yang disebut oleh Peter Drucker sebagai yesterday logic. Yang diperlukan adalah aturan-aturan ekstra ketat terhadap pemilukada langsung agar azas LUBER dan JURDIL bisa dilaksanakan. Tak perlu merubuhkan lumbung hanya karena ulah segelintir tikus.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H