[caption id="" align="alignnone" width="400" caption="Sumber: Kompas.com"][/caption]
Oleh drh Chaidir
MENGUTIP frasa artis Syahrini, “sesuatu banget”, rasa-rasanya memang ada yang sesuatu banget dalam kehidupan kita berbangsa dan bermasyarakat dewasa ini. Sayangnya, yang sesuatu banget dimaksud, bukan sesuatu yang indah seperti konotasi kata beronanya Syahrini itu, melainkan sesuatu yang sangat memprihatinkan.
Sesuatu itu adalah krisis semangat nasionalisme dan patriotisme bangsa kita. Layaknya seperti lirik lagu album kenangan Dewi Yull, “Kau Bukan Dirimu”, “mimpikah diriku/melihat dirimu/walau kau berada/dekat disisiku/namun terasa jauh.” Kita masih berdiri di sini, di Tanah Tumpah Darah kita, tetapi ada sesuatu yang telah berubah. Jujurlah. Semangat nasionalisme itu kini sedang mengalami abrasi hebat laksana pantai timur Sumatera yang setiap tahun runtuh sejengkal demi sejengkal akibat hantaman gelombang Selat Melaka.
Mungkin hipotesa itu berlebihan. Tapi beberapa indikasi terlihat secara kasat mata di tengah kehidupan kita, betapa mencemaskannya persepsi umum terhadap semangat kebangsaan kita. Semangat toleransi menurun, semangat saling harga menghargai segan menyegani merosot, semangat kesetiakawanan menyempit, rasa senasib sepenanggungan ketinggalan mode. Semangat tolong menolong tergantung kepentingan. Semangat rela berkorban dianggap kuno. Pendidikan Pancasila? Ah itu mata ajaran proforma. Mata ajaran Pancasila ideologi bangsa itu, agaknya telah kehilangan rona.
Yang tumbuh subur di tengah masyarakat justru pemahaman sempit. Kotak-kotak luas fungsional menyempit menjadi kotak-kotak kedaerahan. Bahkan paham kedaerahan sempit (parokialisme) semakin menjadi-jadi. Kepentingan kelompok dan kepentingan partai mengalahkan kepentingan bangsa. Semangat “esprit de corps” yang salah kaprah, dipertontonkan dengan sempurna oleh DPR kita. Rasa cinta kepada korps mengalahkan rasa cinta kepada bangsa, sehingga mereka rela mogok membahas RAPBN 2012.
Paham radikal dan paham ekstrim masuk ke wilayah yang sangat eksklusif. Masyarakat kita seakan bermetamorfosa menjadi masyarakat anomi, masyarakat yang kehilangan arah, masyarakat yang sinis terhadap sistem norma; kewibawaan hukum runtuh, dan terjadi disorganisasi hubungan antar manusia. Manifestasi dari semua itu, ada mafia anggaran, pesta pora mafia proyek, rekening gendut para penguasa, merajalelanya aji mumpung, pengrusakan lingkungan (illegal logging), kelompok-kelompok masyarakat yang beringas sehingga tidak segan-segan berkelahi antar kelompok bahkan bila perlu dengan aparat penegak humum. Kekerasan yang berbau SARA tidak lagi malu-malu, demikian pula gerakan separatis (upaya mendirikan Negara dalam Negara) dan anarkis. Dan puncak radikalisme itu adalah maraknya bom bunuh diri, sesuatu yang dulu tak pernah terbayangkan sama sekali.
Wajib Militer
Karut marut permasalahan itu tentu saja sangat merisaukan, tapi sekaligus menyadarkan kita, bahwa ancaman keselamatan dan keutuhan bangsa kita dewasa ini dan agaknya juga ke depan, lebih potensial berasal dari dalam, bukan dari luar. Walau bukan berarti kita mengurangi kewaspadaan terhadap ancaman dari luar. Ini agaknya sejalan dengan pandangan pakar manajemen Peter Drucker, “the enemy is not out there”. Musuh tidak berada di luar sana, ujar Drucker. Konteks Drucker memang ancaman terhadap sebuah managemen, tetapi tetap relevan untuk permasalahan bangsa.
Ancaman tidak hanya dalam bentuk radikalisme, ekstrimisme, individualisme yang berlebihan, ketidakpuasan, ketidakadilan ekonomi dan hukum, dan sebagainya. Dalam arti yang lebih luas, situasi darurat juga bisa disebabkan karena bencana alam seperti tsunami di Aceh, gempa di Sumatera Barat dan Nias, serta musibah letusan gunung seperti di Yogya, juga longsor dan banjir bandang di berbagai tempat. Yang tak kalah pentingnya adalah ancaman narkoba dan perilaku destruktif lainnya. Apapun bentuk dan namanya, bila menimbulkan dampak yang merugikan rakyat secara luas, apalagi membahayakan keutuhan Negara dan bangsa, maka tanggung jawab tidak hanya dibebankan kepada pundak TNI dan Polri.