Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penumpang Gelap

9 Januari 2012   13:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:07 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh drh Chaidir

PERNAHKU mencintaimu...tapi tak begini...
Kau khianati hati ini, kau curangi akuuuu....

Siapa tak kenal lirik lagu Anang itu? Lirik lagu tersebut sering jadi joker, bisa klop kemana saja disesuaikan dengan situasi dan kondisi, tak terkecuali dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Pekanbaru tahun 2011 yang sekarang masih berproses. Kedua kubu yang berkompetisi bisa menyesuaikan lirik lagu itu dengan keadaan, tergantung suasana batinnya saja. Mereka pasti mengklaim mencintai kota yang mereka perebutkan pucuk pimpinannya.

Kita setuju saja. Tak satu pun warga Pekanbaru yang tidak mencintai kotanya. Semua pasti menginginkan Pekanbaru menjadi sebuah kota yang memberikan kenyamanan, ketenteraman dan memanjakan warganya. Kalau panas tidak kepanasan, kalau hujan tak kebanjiran. Sekolah, pelayanan kesehatan, dan pelayanan umum, semua berkualitas, mudah dan murah, bila perlu gratis. Bepergian kemana-mana aman dan nyaman. Barangkali cara mencintainya saja yang berbeda satu dengan lainnya. Yang satu bilang tak begini yang lain bilang tak begitu, tapi tujuannya sama.

Sengketa Pemilukada Pekanbaru dalam pekan depan ini, bila tak ada aral melintang akan memasuki babak akhir ketika Mahkamah Konstitusi harus mengambil sebuah keputusan. Agaknya keputusan yang bisa sulit atau bisa juga tidak sulit. Dewasa ini, mengadili sengketa pemilukada seakan menjadi fungsi utama Mahkamah Konstitusi, padahal itu hanya sebagian dari fungsi Mahkamah Konstitusi. Tapi karena sebagian besar pemilukada bersengketa, maka Mahkamah Konstitusi pun setiap kali dibuat sibuk. Dan itu tidak mudah karena semuanya ibarat bola panas. Atau bahkan ibarat buah simalakama. Oleh karena itu pernyataan Ketua MK, Mahfud MD cukup menggelitik, kalau tak mau repot maka sebaiknya pemilukada tak usah bersengketa sehingga tak perlu dibawa ke Mahkamah Konstitusi.

Idealnya memang demikian, pemilukada tak usah bermasalah. Prof Mahfud MD benar. Laksanakan saja secara LUBER dan JURDIL sesuai amanat konstitusi, habis perkara. Bila peserta dan penyelenggara taat azas dan para pendukung bisa menahan diri, maka tak perlu ada peran Mahkamah Konstitusi dalam pemilukada. Tapi itu utopia. Pemilukada Pekanbaru dari awal memang diprediksi akan berlangsung menarik, tak ubahnya seperti pertandingan derbi dela mediterania, Barcelona vs Real Madrid. Pemilkada Pekanbaru 2011 ditinjau dari sudut pandang manapun menarik sebagai bahan kajian sosiologi-politik.

Sayang disayang, dinamikanya agak over dosis, sehingga kalau tak diterapi dengan arif dan bijak bisa tergiring dan berpotensi menjadi konflik horizontal yang merugikan masyarakat banyak. Apa yang terjadi di Mesuji, Bima, Kota Waringin, Aceh, dan Papua yang telah menelan banyak korban jiwa dan harta, memberi cermin, tak boleh ada yang menabur angin. Jika kita cuai, terbuka peluang dengan mudah bagi penumpang gelap (free rider) untuk masuk memperkeruh keadaan. Dan, ikhtiar penjernihan tak semudah membalik telapak tangan.

Tentang Penulis :http://drh.chaidir.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun