Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sepantun Kiambang

25 Desember 2011   13:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:46 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh drh Chaidir

SUDAH menjadi kodrat kehidupan, umat manusia itu hidup berkaum-kaum. Serangkaian sifat dan kepentingan menyebabkan terbentuknya kafilah perbedaan yang sangat panjang. Suku, agama, ras, warna kulit, warna rambut, bahasa, hanya sebagian dari perbedaan yang tampak, selebihnya tak kelihatan. Karakter, pola pikir, akal budi, yang dibentuk oleh lingkungan keluarga, pendidikan dan masyarakat tak terbaca di permukaan.

Begitulah adat manusia. Berbangsa-bangsa, bersuku-suku, berkaum-kaum, berpuak-puak. Satu dan lainnya saling berkompetisi, bersaing bahkan berperang. Bellum omnium contra omnes, kata filsuf Thomas Hobbes. Manusia itu cenderung bersaing antara satu dengan lainnya. Karena apa? Karena ulah kepentingan. Sebenarnya, jauh sebelum Hobbes, Nabi Muhammad SAW, urutan pertama dari 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah, yang ditulis oleh penulis barat Michael H. Hart (1978), bersabda lebih tegas, bahwa manusia akan saling bertengkar satu dengan lainnya bahkan akan saling bunuh antara sesama saudara sekalipun karena memperebutkan harta dan kekuasaan. Postulat ini ternyata relevan sampai akhir zaman.

Namun bukan kehidupan namanya bila tak berpasang-pasangan. Perang-damai, pasang-surut, jatuh-bangun, pergi-pulang, hulu-hilir, kawin-cerai, berpisah-bersatu dan seterusnya berada dalam satu simfoni. Semuanya terpulang dan diperangkap oleh sang waktu. Kalau tak hari ini besok, kalau tak besok, lusa, pasangan itu akan menemukan jodohnya. Tembok kukuh kota Berlin pasca Perang Dunia II, yang memisahkan Jerman Timur dan Jerman Barat, dirubuhkan pada tanggal 9 November 1989. Vietnam Utara dan Vietnam Selatan yang dipisahkan oleh ideologi, bersatu pada tanggal 2 Juli 1976. Konflik berbau SARA di Aceh berakhir dengan damai pada 2005. Konflik horizontal di Maluku juga berakhir dengan damai, demikian juga konflik suku di Kalimantan. Nilai-nilai persaudaraan dan kemanusiaan menyebabkan pedang-pedang yang telah terhunus kembali tersarung.

Kehidupan manusia itu agaknya sepantun kiambang, sejenis tumbuhan air yang mengapung pada permukaan air keruh dangkal dan tak mengalir. Tanaman itu berkembang biak dengan cepat, berebut simpati menutupi permukaan air dan memberi kehidupan sebagai tempat persembunyian ikan, namun kiambang sebenarnya rapuh. Kiambang dengan mudah dibuat bercerai-berai oleh perahu yang lewat, tetapi itu hanya sebentar. Ketika perahu berlalu, kiambang kembali bertaut bergandengan tangan.

Kearifan alam itu dibaca menjadi sebuah peribahasa, “biduk lalu kiambang bertaut.” Setelah bertengkar, dua saudara kembali bersatu. Itu jugalah agaknya yang patut dibaca oleh masyarakat Pekanbaru Riau pasca Pemungutan Suara Ulang Pemilukada Pekanbaru 2011 yang secara amat sangat berlebihan telah menyita waktu, tenaga dan pikiran. Kini saatnya kita bersama kembali kepangkal jalan, menyatukan gerak langkah. Pemilukada hanyalah salah satu ikhtiar untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik. Ayo Bro!!

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun