Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Idul Fitri Kuburkan Benci Bangkitkan Simpati

28 Agustus 2011   22:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:23 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh drh. Chaidir

Su;it dipungkiri, catatan harian kita penuh dengan nuansa permusuhan, kebencian, kedengkian dan kecurigaan. Persahabatan, kejujuran, kesabaran, dan kepercayaan nyaris tak terdengar.
Kenapa kemarahan cepat sekali sampai ubun-ubun? Baku hantam, baku caci, baku bakar, bahkan baku bunuh, menjadi berita sehari-hari. Tiada hari tanpa kekerasan. Buruh marah kepada majikannya, majikan marah kepada buruh. Bawahan marah kepada atasan, atasan marah kepada bawahan. Pemukim marah pada pendatang, pendatang marah pada pemukim. Daerah marah pada pusat, eh ternyata pusat juga punya stok marah.
Pemaksaan kehendak menjadi lumrah. Padahal pemaksaan kehendak adalah eufimisme dari perkosaan dan perampokan di siang bolong. Sebab pada saat kita memaksakan kehendak kepada orang lain maka pada saat yang sama ada kehendak orang lain yang kita rampas. Hak kita dipaksakan pada orang lain, otomatis sebagian hak orang lain secara paksa kita ambil. Paling tidak hak orang lain untuk tidak bersedia dipaksa. Tesis ini agaknya tidak sulit di pahami.
Memang, tidak semua orang tahu, bahwa orang lain juga punya hak yang sama dengan kita. Ada yang tidak tahu bahwa dia tidak tahu, tapi ada juga yang pura-pura tidak tahu. Bukankah manusia adalah Homo sapiens makhluk si pemikir, bukan homo humini lupus -- manusia yang satu serigala bagi manusia yang lainnya
Jadi kemana gerangan perginya persahabatan, kejujuran, kebaikan dan kesabaran itu?  “Kemana perginya hati, kemana hilangnya rasa?” kata lirik penyanyi Semenanjung Ahmad Djais, yang sekarang memang tidak lagi pernah terdengar. Betulkah kita tergolong bangsa pemberang yang suka perang? Kemana bangsa yang suka perang? Kemana bangsa yang penuh santun dengan sopan santun dan murah senyum itu? Ataukah karena selama ini, kita pandai menyembunyikan “belang?”
Sekarang setelah “tiada lagi ilalang tempat berlindung”, belangnya kelihatan dan kita kehilangan kearifan, karena kaget dengan perubahan keadaan, Betulkah kata orang kita tidak cukup memiliki kecerdasan emosional?
Setidaknya ada empat jenis kambing hitam atau barangkali lebih enak disebut dalil-dalil pembenaran terhadap sikap pemberang masyarakat ini, sebagaimana sering diungkapkan oleh para pengamat,. Pertama, krisis ekonomi; ini masalah hidup mati keluarga, sementara penyembuhannya belum menampakkan tanda-tanda akan segera berhasil.
Kedua, katanya sih, itu akibat kebebasan yang terkekang selama orde baru. Dulu orang tidak boleh mengkritik, kalau mengkritik ditangkap, Aspirasi tersumbat, demokrasi tidak jalan dan tidak ada keterbukaan. Itu dosa keturunan. Sekarang, setelah sumbatnya dibuka orang ramai-ramai “merapel” kemarahan.
Ketiga, kitakan berada dalam masa transisi peradaban, semacam akulturasi. Kita sudah hampir terbiasa dengan kebudayaan feodalistik. Aturan mainnya, the boss can do no wrong Padahal yang namanya manusia bisa berbuat salah kapan saja, tidak ada yang abadi. Jadi ibarat pertandingan, hasil yang sudah ada, dianulir, dan kembali harus dihitung ulang 0-0. Peraturan baru permainanpun diterapkan. Pemain yang tadinya sudah unggul tentu merasa kesal, sedangkan pemain yang tadinya sudah hampir putus asa, berjingkrak-jingkrak, euforia. Dengan aturan main baru ritme permainan menjadi rusak dan perasaan jengkel kepada keadaan tumbuh dengan subur. Tidak hanya di kalangan pemain. “boneknya” juga ikut jengkel.
Kempat, kambing hitamnya adalah provokator (maaf, menggunakan istilah penguasa). Provokator inilah yang konon menyemaikan kebencian, menyuburkan dendam, menghasut dan mengadu domba. Masalah yang kecil dibesar-besarkan. Buhul yang sudah kokoh diungkai. Provokator laksana musang berbulu ayam atau Ayam berbulu musang sama saja. Provokator laksana musang berbulu ayam berarti penyamaran untuk menipu lawan. Ayam berbulu musang berarti penyamaran untuk menipu kawan. Kawan lari ketakutan, makanan yang tinggal disantap sendiri. Akibatnya mudah tumbuh rasa curiga.
Dalam masyarakat yang sedang mengalami turbulensi di awal Milenium III ini, orang hampir kehilangan kepercayaan diri dan hampir menyerah pada keadaan. Kelompok orang-orang seperti ini akan mudah tersinggung, marah dan bertindak melawan batas-batas kewajaran. Nafsu adalah akar dari semua masalah yang menimbulkan permusuhan, kedengkian, kebencian, dendam, dan sebagainya. Permusuhan pangkal dari segala keburukan dan kejahatan. Sikap permusuhan akan menjerumuskan diri sendiri ke dalam kehancuran peradaban. Orang yang selalu bermusuhan, hatinya selalu tergoda untuk menjatuhkan lawannya agar dirinya selalu dipandang sebagai pemenang. Energinya habis untuk itu.
Apa yang dikatakan oleh Richard Nixon agaknya benar, “Ingatlah bahwa orang lain bisa saja membenci Anda, tetapi kalau anda meladeni dengan balas membenci mereka, Anda merusakan diri Anda sendiri.” Kata orang bijak, membenci orang lain adalah laksana membakar rumah kita sendiri hanya untuk mengusir seekor tikus.”
Sebulan lamanya kita berperang melawan hawa nafsu itu dan saat kita merayakan Idul Fitri pekan ini, de facto kita telah keluar sebagai pemenang. Mestinya catatan harian yang penuh dengan noda-noda hitam itu sudah habis dibakar. Namun catatan harian itu kan catatan imajiner yang ada dalam hati setiap insan. Secara horisontal barangkali dapat dibuat tolok ukur, tetapi secara vertikal? Kata orang, dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu?
Namun, untuk apa menduga-duga, lebih baik kita mulai melangkah ke depan dengan berpikir positif : kuburkan kebencian dan bangkitkan simpati. Mari bersalam-salaman. Idul Fitri adalah kemenangan kita semua, di sini menang di sana menang.
Selamat Idul Fitri, Saudara, mohon maaf lahir dan batin

Reposting tulisan yang dibuat di Pekanbaru tanggal 7 Janauri 2000

Andai kita belum sempat berjabat tangan, melalui jejaring ini saya beserta istri mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432H. Minal aidin walfaizin. Mungkin ada tulisan-tulisan saya yang menyinggung perasaan, mungkin ada yg harus disapa tapi belum tersapa, mohon maaf lahir batin. Mari dgn momentum Idul Fitri ini, ke depan, kita bangun sifat jujur dalam masyarakat. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat, nikmat dan karuniaNYA kepada kita semua. Amiin.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun