Mikroplastik Dari Polyester
Bahan ini digemari industri fast fashion karena harganya yang murah, menyerap warna dengan baik dan bebas kusut. Tidak heran ada data yang mencatat bahwa sejak tahun 2000, masa ketika tren fast fashion baru dimulai, produksi polyester meningkat.
Bahan ini rasanya memang punya sejumlah kelebihan kecuali kurang enak dipakai. Kenapa ia berbahaya karena bahan sintetis ini mengandung plastik yang dapat melepaskan microplastic ke air ketika dicuci. Sama seperti plastik, mikroplastik pun memerlukan waktu hingga ratusan tahun untuk terurai secara alami. Di dalam perjalanannya untuk terurai, mikroplastik bisa saja ditelan (atau tertelan) hewan atau masuk ke tubuh manusia melalui hewan yang dimakan.
Menghasilkan Banyak CO2
Industri fast fashion menyumbang 1.2 milliar ton CO2 per tahun atau 10% dari total polusi CO2 di dunia. Data dari Ellen MacArthur Foundation menyebutkan bahwa angka ini lebih besar dibandingkan industri penerbangan dan transportasi laut digabungkan. Dalam proses pembuatannya, satu buah kaos menghasilkan sebanyak 2.6 kg CO2 dan produksi satu buah celana jeans melepaskan 11.5 kg emisi CO2.
Perbudakan Modern
Negara-negara di Asia seperti Vietnam, India, Pakistan, Bangladesh, China, Thailand merupakan gudangnya tenaga kerja garmen yang rela dibayar amat murah dan di banyak kasus, mereka bekerja di lingkungan yang tidak sehat. Yang juga menyedihkan adalah banyaknya brand yang mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyatakan ada sekitar 260 juta pekerja anak di seluruh dunia yang bekerja untuk brand-brand besar skala internasional.
Dalam praktik fast fashion, perbudakan dengan gaya modern seakan menjadi hal yang wajar. Menurut survei 'Fashion Checker', 93% merek fast fashion malah tidak membayar pekerja garmen dengan upah layak.
Menghasilkan sampah pakaian
Bagaimana nasib dari pakaian yang tidak laku atau sudah melewati masa trennya? Sekitar 57% pakaian fast fashion yang tidak terjual tidak didaur ulang, melainkan hanya dibuang saja ditempat pembuangan akhir atau ditimbun. Saya juga pernah mendengar bahwa produk yang tidak laku akan dijual tanpa label dengan harga murah ke negara-negara miskin atau berkembang.
Kembali ke Konsep Slow Fashion
Lalu bagaimana kita bisa menjadi bagian dari perbaikan? Kita bisa mengadopsi slow fashion, konsep kebalikan dari fast fashion.
Slow fashion bukanlah konsep baru, inilah konsep logis membeli barang yang kita kenal sejak dulu, yaitu membeli barang kualitasnya bagus supaya awet dipakai, bukannya sering membeli barang karena kita tahu barang tersebut akan cepat rusak.
“Buy less, choose well, and make it last,” begitu ujar desainer Viviene Westwood yang melihat pola konsumsi fast fashion sebagai cara berpikir yang ‘sakit’.
Dalam Slow fashion, produsen pakaian memproduksi pakaian memakai bahan berkualitas dengan tujuan agar pakaian itu bisa dipakai dalam waktu lama, dan dalam proses pembuatannya, produsen juga memperhatikan lingkungan.