Zahra tertegun melihat laki-laki yang sudah menjadi suaminya, yang juga seorang pengusaha sukses, menangis seperti  bayi. Harusnya Zahra merasa tertipu atas pernikahan ini, tetapi melihat ketulusan Fahri beberapa bulan ini, Zahra merasakan Fahrilah yang menderita bukan dia.
Hening. Mereka berdua terdiam. Sesekali Zahra menyeka airmatanya. Inikah nasib yang harus diterimanya ? apakah ini sudah takdir ?, Zahra ingat pertemuan pertamanya dengan Fahri. Fahri begitu kasar dan mungkin itulah sinyal yang dia berikan agar menolaknya.
" Kaka, aku terlanjur mencintaimu...", Zahrapun tak sadar mengucapkan itu. Dan itu kata-kata tulus yang dia rasakan.
Fahri memeluk Zahra sangat erat.
" Aku juga sangat mencintamu, dan aku tidak ingin menyakitimu , aku tidak tau apakah sakitku bisa disembuhkan".
" Aku istrimu, kita harus berusaha, insyaallah kaka  akan sembuh ".
***
Zahra, menjalani perkawinannya seperti tidak terjadi apa-apa. Orang tua Zahra kelabakan mencarikan obat dan jamu kemana-mana agar Zahra cepat mendapat keturunan. Sementara orang tua Fahri, tenang-tenang saja.
Sudah tahun ke 3 perkawinan mereka, siapa yang tau kalau  Zahra masih perawan. Zahra masih dengan sabar mengobati suaminya, tetapi Fahri yang sudah putus asa. Tidak ada kemajuan sedikitpun.
Indah sekali cinta mereka, Zahra pasrah dan tulus merawat Fahri, sedang Fahri sendiri bersemanggat karna ada orang yang mau menerima dia apa adanya. Ini adalah tahun ke 4 perkawinan mereka, bulan depan tepatnya, dan  Fahri akan memberikan hadiah kebebasan bagi istrinya, dia siap untuk diceraikan.
***