Aku teringat kata-kata Maria teman sekantorku. Bukannya aku tidak memikirkan kata mereka, aku hanyalah seorang perempuan biasa yang sangat naif. Berhari-hari aku tidak bisa tidur, aku bukanlah perempuan bodoh aku hanyalah  perempuan penakut yang  tidak ingin kenyataan ini menimpaku. Aku perlu waktu untuk memberanikan diri memergoki suamiku dengan perempuan lain.
Tangan Rosida mengandeng mesra suamiku sambil tertawa kecil. Badanku bergetar. Ini bukan mimpi, perempuan yang pernah kutampung tinggal dirumahku, kuberi makan gratis, menusukku dari belakang. Harusnya aku melabrak mereka,menampar perempuan itu, menjambak rambutnya dan memakinya sebagai pelacur karena menggoda suamiku. Air mataku mengalir, mengapa aku selemah ini. Kutinggalkan mereka.
Aku benar-benar berminpi. Benarkah laki-laki itu suamiku, seseorang yang kukenal hampir 15 tahun dan telah memberiku dua buah hati. Berselingkuh dengan kekasih adiknya sendiri. Hatiku tersayat.
" Kita bercerai saja..." , suara suamiku tanpa emosi sedikitpun.
" Aku akan menanggung semua keperluan anak-anak dan aku akan keluar dari rumah ini....", lanjutnya.
Suara pelan suamiku bagaikan petir ditelinggaku. Semudah itukah dia menceraikanku. Inikah Budi Waluyo lelaki yang menikahiku 10 tahun lalu, Â yang mau menceraikanku demi seorang perempuan yang baru satu tahun dikenalnya. Semudah itukah dia mencampakkanku.
***
Ibu mertuaku meninggal dunia setelah sebulan sakit. Semua karena masalah yang dihadapinya, Budi dan Deni tidak saling menyapa lagi karena masalah Rosida. Ibu sakit karena Budi akan menceraikanku.
Karena berkabung, kami tidak membahas masalah perceraian. Ada banyak sekali yang kupikirkan, Ibu mertuaku sebelum meninggal memintaku untuk berjanji tidak akan mau diceraikan Budi.
" Budi khilaf Tanti, kamu harus bersabar...", suara lemah Ibu.
" Kamu berjanjilah pada Ibu , Nak. Tidak akan mau diceraikan suamimu, cuma itu permintaan terakhir Ibu padamu....", Ibu menggengam tanganku sangat erat.