Sudah 3 tahun berlalu semenjak bunda ku meninggal. Aku Kinanda Amertha, orang-orang biasa memanggilku Kinan. Tidak pernah ku sangka, jika bunda akan meninggalkan ku di saat aku masih duduk di bangku kelas 9. Dulu sejak kecil, aku selalu mendambakan keluarga yang lengkap dan harmonis, walau beberapa kali ayah dan bunda kerap bertengkar karena masalah ekonomi. Ku pikir ini hal biasa, karena teman-teman ku juga bercerita demikian.Â
Setelah kepergian bunda, ku pikir hubungan ku dengan ayah akan semakin dekat mengingat dulu aku tak begitu dekat dengan ayah. Tetapi setelah 8 bulan bunda meninggal, ayah ku memilih untuk menikah lagi. Aku tak masalah, menurut ku ayah butuh pendamping untuk menemani masa tua nya, juga sosok yang akan merawatnya karena aku masih di sibukkan dengan banyaknya kegiatan serta tugas sekolah.
Ayah ingin aku hanya fokus pada sekolah, dan mengejar universitas yang ayah ku inginkan.Â
Menurut ku, sejak dulu ayah adalah sosok yang sangat keras. Maka ketika aku ingin menolak kehadiran sosok ibu lagi, aku tak bisa melarang karena ayah ku tak akan mendengar suara ku. Ia tetap pada keinginannya, maka ku biarkan ia dengan pilihannya untuk menikah lagi.
Tepat ketika hari ulang tahun ku yang ke 16. Keluarga ku bertengkar hebat untuk pertama kali nya, entah mengapa mereka bilang aku lah penyebab dari kekacauan semua ini. Aku tidak tau, salah ku apa? Saat itu aku baru saja pulang dari rumah kakak ipar ku, istri dari kak Janu, kakak laki laki ku yang ke 4, setelah 3 hari aku menginap di rumahnya. Ketika aku baru saja duduk di kursi sofa, ayah menyentakku sembari menghampiriku.Â
"ANAK KURANG AJAR! DI SEKOLAHKAN TINGGI TINGGI TAPI TIDAK PUNYA ADAB PADA ORANG TUA. MAU JADI APA KAMU!?" Teriak ayah ku sembari berancang ancang untuk menampar ku. Belum saja tangan itu mengenai wajah ku, kak Janu sudah menahan pergelangan tangan ayah dan juga berteriak pada ayah.
"GAK PANTES NAMPAR ANAK KAYA GINI, KINAN BAHKAN TIDAK TAU SALAH DIA APA."Â
Aku sudah tidak terkejut mendengernya. Bagi ku ini bukan pertama kali nya kak Janu melawan ayah, sudah sering. Dan mungkin yang terkejut saat itu adalah kakak laki-laki yang ke 3, Dewa namanya. Ia langsung mendorong kak Janu hingga terjatuh, dan langsung memberikan sebuah pukulan di pipinya.
"APA APAAN KAMU NYENTAK AYAH KAYA GITU?" Teriak kak Dewa. Di situ aku hanya bisa menangis sambil di peluk kakak ipar ku, saat itu aku melihat ibu tiriku sedang bersandar di depan pintu seraya bersedakap dada. Aku tidak tau mengapa ia bisa sesantai itu. Bahkan untuk kekacauan ini saja aku masih tak tahu.
Barulah aku mengetahui permasalahan ini ketika ayah melempar baju-baju serta tas sekolah ku sambil berkata, "Anak durhaka! Bisa bisa nya kamu menghina ibu mu, menyebut dirinya binatang di sms. Pergi dari sini, anak tidak bisa apa-apa."Â
Sakit hati, tentu saja. Namun aku tak bisa melawan, sekarang aku paham. Diriku baru saja di fitnah, bagaimana bisa aku mengirim sms sedangkan selama 3 hari aku tidak memegang ponsel karena ponselnya tertinggal di kamar. Kak Janu yang mendengar jelas semakin marah, diri nya tak terima mendengarku di fitnah.