Mohon tunggu...
Anton Putra
Anton Putra Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis yang ingin berbagi kisah

Penulis lepas (landas)...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cinta Pertama = Cinta Monyet = Cinta Terakhir

12 Februari 2012   17:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:44 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika melihat di film atau sinetron ada anak kecil sudah berani naksir lawan jenisnya, terlintas dalam hati saya, “Kecil-kecil kog sudah cinta-cintaan, nggak cocok ditonton anak-anak tayangan ini.” Tapi kemudian saya jadi malu saat mengingat diri saya sendiri sudah tertarik pada perempuan sejak masih TK, dan mulai berani jatuh cinta di kelas 1 SD.

Cinta monyet, itu mungkin istilahnya. Entah mengapa dikatakan demikian. Orang barat menyebutnya ‘Puppy Love’ (Cinta anak anjing), ‘Calf Love’ (Cinta anak sapi), atau ‘Kitten Love’ (cinta anak kucing). Entah kenapa kita lebih suka menyebutnya cinta monyet.

Tahun 1983, saya mulai bersekolah di SD 4 Dasan Agung, Mataram, Lombok. Bu Mul, wali kelas kami di kelas 1 mengatur tempat duduk kami di kelas dan saya mendapat teman sebangku seorang gadis kecil bernama Nurhidayati. Mirip nama ibu saya, cuma kelebihan huruf ‘id’ di tengah-tengahnya. Ya, nama ibu saya memang Nurhayati.

Saya jatuh cinta pada teman sebangku saya ini. Tapi cuma berani dalam hati saja. Mungkin hanya To’i, teman akrab saya yang tahu saya naksir Nur. Entah mengapa, To’i sampai menulis nama saya dan Nur di balik sebuah perangko. Waktu itu memang lagi musimnya hobi filateli. Saya ingat perangkonya berwarna ungu dan tidak ada gambarnya, cuma ada angka nominalnya saja.

Tapi kebersamaan saya dengan Nur sebagai teman sebangku harus berakhir di kelas 3. Waktu itu mulainya era CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dan tempat duduk kami pun dibagi dalam kelompok-kelompok. Sungguh saya tak menyukainya, meskipun saya kemudian serasa ‘raja minyak’ karena merupakan satu-satunya cowok di kelompok.

Saya merindukan duduk berdua Nur. Saya ingat di awal caturwulan baru, saya mengajak beberapa teman mengatur bangku kembali seperti semula. Pikir saya, saya akan bisa kembali duduk dengan Nur. Tapi impian saya tak kesampaian. Bu Nurul, wali kelas kami menyuruh meja dan bangku disusun kembali untuk duduk berkelompok.

Naik kelas empat saya pindah ke Banda Aceh. Berpisah dengan teman-teman, berpisah dengan Nur. Prangko yang bertulisan nama kami masih saya simpan waktu itu. Tapi sayang, kemudian hilang entah kemana karena minat saya mengkoleksi perangko kemudian berkurang. Waktu pun berlalu, beberapa kali saya naksir dan jatuh cinta pada wanita lain. Saya tak pernah berhubungan dengan teman-teman SD di Lombok dan mendengar kabar Nur.

Di tahun 2009, seperti kebanyakan orang, saya pun tergila-gila pada facebook. Terberkatilah Mark Zuckerberg, saya bisa bertemu banyak teman lama, termasuk teman-teman SD di Lombok dulu. Yang terpenting, saya bertemu lagi dengan Nur. Yang lebih menggembirakan lagi saat saya mengetahui ia belum menikah.

Singkat kata singkat cerita, kami pun menikah di tahun 2010 dan kini dikaruniai seorang anak yang baru berusia 5 bulan. Mungkin bisa dikatakan ‘Cinta monyet’ yang saya alami dulu kini telah berevolusi menjadi ‘Cinta manusia dewasa’.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun