Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Tanpa Garansi dan Ketidakteraturan Sosial

10 Juli 2021   18:51 Diperbarui: 11 Juli 2021   07:28 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

GEMURUH dalam percaturan politik memang selalu menghasilkan dua konsekuensi sekaligus. Diberbagai tempat politik selalu tidak pernah meninggalkan kesan sunyi. Selalu saja ramai. Baik itu ramai karena narasi yang digulirkan berkualitas, ataukah sebaliknya. Intinya, politik bukan jalan sunyi, ramai seperti 'pesta'.

Kadangkala politik menampilkan wajah 'dunia malam', gegap gempita. Yang bernuansa berisik. Politik membawa realitas yang samar-samar. Cara membacanya unik. Perubahannya fluktuatif. Demokrasi kita di Indonesia dalam situasi tertentu bagai mobil yang berada di tengah garasi, atau dialer.

Berada di tengah-tengah garasi membuat demokrasi kita berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan mobil (kendaraan). Agar terhindar dari pencurian ataupun untuk melindungi mobil 'demokrasi' dari cuaca terik matahari dan air hujan. Sehingga usia kendaraan dapat bertahan panjang.Sebuah potret demokrasi yang real terjadi.

Disisi lain, demokrasi menjadi bahan 'bancakan' bagi kaum berduit (borjuis) nakal. Sedangkan dalam perspektif tertentu demokrasi malah dapat diasosiasikan sebagai pentas di atas ring tinju. Yang mengarahkan aktor-aktor demokrasi saling 'baku hantam'. Bahkan aturan main di ring tinju diabaikan.

Demokrasi diamputasi nilai-nilainya. Terlebih oleh elit politik itu sendiri. Oknum politisi yang berkonspirasi dengan pengusaha 'kapitalis' memamerkan demokrasi dengan politik transaksional. Alhasil rusaklah rasionalitas publik. Kompetisi demokrasi yang ditonjolkan bukan lagi kualitas melainkan diseret ke kuantitas materi.

Semoga Allah SWT menjaga kita semua dari hal buruk. Demokrasi harus diselamatkan dari oknum-oknum yang rakus. Oknum yang hanya mau menang kompetisi tapi mengabaikan bangunan demokrasi yang mengedepankan etika dan kemanusiaan.

Disinilah sebetulnya demokrasi perlu diurusi dengan serius. Diselamatkan dari tangan 'penjahat'. Kita juga perlu meminta perlindungan Allah SWT dari perilaku 'setan' yang jahat, congkak dan terkutuk. Kenapa demikian?, karena politisi kita baik dari level Desa, Kecamatan, Kota/Kabupaten, Provinsi, Pusat (nasional) sampai ke Internasional masih menampakkan sikap sombong dan rakus.

Realitas politik monopolistik masih langgeng. Politisi atau publik figur tertentu memegang lebih dari satu jabatan strategis (Ketua, Sekretaris dan Bendahara) di organisasi-organisasi kemasyarakatan. Seakan-akan orang lain tidak punya kemampuan menerima amanah tersebut. Ia menampakkan kerakusan, dengan bangganya.

Dari aspek demokratisasi di ruang-ruang public akhirnya mengalami kemacetan. Terhambat karena masih ada oknum-oknum yang mempertahankan 'jabatan rangkap'. Semua posisi puncak dalam memperkuat status sosialnya 'diambilnya'. Bagi politisi tentu hal itu berarti. Agar mereka dapat 'berselancar' dengan kepentingan pribadinya di tengah-tengah kepentingan organisasi.

Wajah demokrasi 'garasi' memang perlu dikritik. Demokrasi bukanlah tempat parkir sementara, atau seperti gudang penampung. Melainkan instrument yang menjadi sarana pembelajaran publik. Sekaligus 'timbangan', alat ukur keadilan sosial serta kesejahteraan bagi masyarakat banyak. Demokrasi mengistimewakan kepentingan publik, bukan perorangan atau kelompok.    

Perilaku politisi yang kalut karena vested interset juga banyak. Sering kita jumpai. Bahkan ada yang frustrasi disebabkan menggunakan politik uang dalam agenda demokrasi, tapi kalah bertarung.

Kalut keran cita-cita politisi dan obsesi belum kesampaian. Hasilnya, jalan pintas diambilnya dengan melakukan praktek politik uang. Berhutang demi menang dalam bertarungan politik. Konsekuensinya politisi tersebut dililit hutang, atau dikejar-kejar rentenir. Menyedihkan praktek politik yang seperti ini kita temukan.

Cara seperti inilah yang memproduksi sampah demokrasi menjadi menumpuk. Menambah beban bagi demokrasi kita. Melestarikan praktek buruk dalam demokrasi yang pada konteks selanjutnya berefek pada kehidupan masyarakat. Ingatlah, tugas insan politik adalah membersihkan demokrasi dari praktek sampah.

Menjauhkan demokrasi dari ancaman kerusakan sistematik. Jaga demokrasi agar tidak terjun bebas, terjatuh ke dalam jurang gelap dan keburukan. Demokrasi mesti dituntun ke jalan pulang 'khittahnya'. Mensejahterakan rakyat, mewujudkan egaliter, merawat-mengatur kebebasan dan memuliakan hak-hak masyarakat.

Ketika nasib demokrasi digaransikan aman, maka gelombang demokrasi yang terus-menerus datang akan mampu diatasi. Makin kencang hantaman terhadap demokrasi, kaum intelektual dan masyarakat pro demokrasi harus lebih cerdas menyelamatkan demokrasi. Upaya menghidupkan demokrasi harusnya lebih cermat, solid dilakukan. Tidak boleh kalah gencar dan gigih dengan para perusak demokrasi.

Keruwetan demokrasi harus ditarik benangnya untuk diperbaiki. Jangan dibiarkan pula demokrasi terus dirusak. Walaupun situasinya tatanan demokrasi saat ini masih semrawut, kita tidak boleh pasrah membiarkan demokrasi terus ditutupi sampah. Bersih-bersih demokrasi merupakan langkah menyelamatkan demokrasi kita yang mulai kabur dari marwahnya.

Lahirlah kesemrawutan demokrasi. Aspirasi dari rakyat harusnya diperjuangkan untuk yang hasilnya bermuara kepada kepentingan rakyat, malah dibelokkan untuk kepentingan kelompok kepentingan tertentu. Kepentingan masyarakat diperalat 'perompak' demi mengenyangkan isi perut mereka. Rakyat bahkan menjadi alas kaki bagi kekuasaan yang rakus.

Lantas wakil rakyat yang diharapkan seperti menutup mata. Mengamankan diri di tengah gempuran kepentingan kapitalisme yang merampas hak-hak rakyat. Begitu memilukan nasib demokrasi kita. Perbaikan demokrasi malah berujung naas. Demokrasi kehilangan marwahnya. Mestinya demokrasi tertata dan berjalan tertib, rapi, malah mengalami kesemrawutan.

Perjalanan demokrasi malah mereduksi optimisme serta kepercayaan diri rakyat. Tanpa disadari rakyat digiring pada sebuah kesimpulan bahwa demokrasi tak dapat mereka percayai lagi. Keberpihakan demokrasi dirasa tidak menyentuh, tidak lagi berpihak terhadap kepentingan rakyat.

Demokrasi kita memang tanpa garansi kesejahteraan. Sekedar menjadi destinasi masyarakat untuk mendapatkan uang-uang recehan, tapi dampak luasnya untuk kebaikan jangka panjang nyaris tidak ada. Menyedihkan dan menyebalkan memang.

Sedihnya, dinamika demokrasi cenderung melahirkan social disorder 'ketidakteraturan sosial'. Keributan dan hura-hura yang didapat, namun substansi keadilan serta kesejahteraan tidak ditemukan. Begitu pula dengan transparansi atas nama demokrasi, hanyalah retorika politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun