politik memang selalu menghasilkan dua konsekuensi sekaligus. Diberbagai tempat politik selalu tidak pernah meninggalkan kesan sunyi. Selalu saja ramai. Baik itu ramai karena narasi yang digulirkan berkualitas, ataukah sebaliknya. Intinya, politik bukan jalan sunyi, ramai seperti 'pesta'.
GEMURUH dalam percaturanKadangkala politik menampilkan wajah 'dunia malam', gegap gempita. Yang bernuansa berisik. Politik membawa realitas yang samar-samar. Cara membacanya unik. Perubahannya fluktuatif. Demokrasi kita di Indonesia dalam situasi tertentu bagai mobil yang berada di tengah garasi, atau dialer.
Berada di tengah-tengah garasi membuat demokrasi kita berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan mobil (kendaraan). Agar terhindar dari pencurian ataupun untuk melindungi mobil 'demokrasi' dari cuaca terik matahari dan air hujan. Sehingga usia kendaraan dapat bertahan panjang.Sebuah potret demokrasi yang real terjadi.
Disisi lain, demokrasi menjadi bahan 'bancakan' bagi kaum berduit (borjuis) nakal. Sedangkan dalam perspektif tertentu demokrasi malah dapat diasosiasikan sebagai pentas di atas ring tinju. Yang mengarahkan aktor-aktor demokrasi saling 'baku hantam'. Bahkan aturan main di ring tinju diabaikan.
Demokrasi diamputasi nilai-nilainya. Terlebih oleh elit politik itu sendiri. Oknum politisi yang berkonspirasi dengan pengusaha 'kapitalis' memamerkan demokrasi dengan politik transaksional. Alhasil rusaklah rasionalitas publik. Kompetisi demokrasi yang ditonjolkan bukan lagi kualitas melainkan diseret ke kuantitas materi.
Semoga Allah SWT menjaga kita semua dari hal buruk. Demokrasi harus diselamatkan dari oknum-oknum yang rakus. Oknum yang hanya mau menang kompetisi tapi mengabaikan bangunan demokrasi yang mengedepankan etika dan kemanusiaan.
Disinilah sebetulnya demokrasi perlu diurusi dengan serius. Diselamatkan dari tangan 'penjahat'. Kita juga perlu meminta perlindungan Allah SWT dari perilaku 'setan' yang jahat, congkak dan terkutuk. Kenapa demikian?, karena politisi kita baik dari level Desa, Kecamatan, Kota/Kabupaten, Provinsi, Pusat (nasional) sampai ke Internasional masih menampakkan sikap sombong dan rakus.
Realitas politik monopolistik masih langgeng. Politisi atau publik figur tertentu memegang lebih dari satu jabatan strategis (Ketua, Sekretaris dan Bendahara) di organisasi-organisasi kemasyarakatan. Seakan-akan orang lain tidak punya kemampuan menerima amanah tersebut. Ia menampakkan kerakusan, dengan bangganya.
Dari aspek demokratisasi di ruang-ruang public akhirnya mengalami kemacetan. Terhambat karena masih ada oknum-oknum yang mempertahankan 'jabatan rangkap'. Semua posisi puncak dalam memperkuat status sosialnya 'diambilnya'. Bagi politisi tentu hal itu berarti. Agar mereka dapat 'berselancar' dengan kepentingan pribadinya di tengah-tengah kepentingan organisasi.
Wajah demokrasi 'garasi' memang perlu dikritik. Demokrasi bukanlah tempat parkir sementara, atau seperti gudang penampung. Melainkan instrument yang menjadi sarana pembelajaran publik. Sekaligus 'timbangan', alat ukur keadilan sosial serta kesejahteraan bagi masyarakat banyak. Demokrasi mengistimewakan kepentingan publik, bukan perorangan atau kelompok. Â Â
Perilaku politisi yang kalut karena vested interset juga banyak. Sering kita jumpai. Bahkan ada yang frustrasi disebabkan menggunakan politik uang dalam agenda demokrasi, tapi kalah bertarung.