Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik

Labeling Politik, Jahat dan Mengerikan

20 Maret 2021   07:50 Diperbarui: 20 Maret 2021   10:57 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

STIGMA merupakan pemikiran curiga dan simpulan seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain. Di Indonesia fenomena ini sudah cukup meluas. Bahkan banyak kita temui disaat tahun politik. kita meringkas dan menyederhanakan dalam istilah labeling dalam tulisan ini. Labeling atau label, cap dan stempel politik memang menyakitkan.

Labeling yang dipakai Negara seperti 'saya Indonesia, saya Pancasila'. Lantas ruang gelap tentang tafsir 'saya' akan mengundang debat. Tentu begitu bermakna multitafsir karena terbatas kalimat 'saya'. Kenapa bukan kata 'kami Indonesia, kami Pancasila'?. Menurut saya, ini pilihan diksi politik. selain parsial, juga membawa peluang menyalahkan atau menuding ada orang lain yang tidak Pancasilais.

Kengeriannya tentu diterima kepada orang-orang atau kelompok orang yang diberi label negatif. Mereka yang telah dilabeling radikal, teroris, makar, akan sulit mengekspresi pikirannya terhadap pembangunan di Indonesia. Sedikit saja kritik tajam dilayangkan, oknum pendukung fanatik pemerintah, juga pemerintah reaksioner memberikan tudingan intoleran. Padahal, itu hanya labeling.

Yang belum tentu benar. Tapi efeknya karena telah meluas, maka publik juga ikut memperkuat labeling politik itu. Jadilah ramai-ramai orang ikut menghamiki orang lain. Dalam konteks 'tarung opini', siapa yang kuat dan dominan mengendalikan instrument seperti media massa maupun media sosial, mereka akan menang. Dan biasanya, Negara dalam hal ini pemerintah yang menang.

Bila saja ada kelompok yang tidak disukai pemerintah. Lalu, pemerintah mengeluarkan tudingan kelompok itu radikal, teroris, penggerak makar, melakukan supversif dan tudingan miring lainnya. Hal itu, akan berlahan menguasai pikiran publik. Sehingga Negara yang menang dalam mengendalikan opini. Merugilah mereka yang mendapat labeling negatif tersebut.

Sebagaimana dalam teori pelabelan, bahwa identitas diri dan perilaku individu dapat ditentukan atau dipengaruhi oleh istilah yang digunakan untuk menggambarkan dan mengklasifikasikannya. Artinya, saat ini labeling bukan lagi berkepentingan untuk pencerahan dan pembelaan pada sebuah kebenaran, namun lebih pada urusan mengamankan kepentingan politik.  

Stigmatisasi ini merusak nalar publik. Sekaligus yang lebih berkepentingan disini kecenderungannya adalah dimotori pemerintah. Oposan politik saja, ketika dianggap membahayakan kepentingan politik kekuasaan, memungkin oposisi itu dilabeling melawan pemerintahan yang sah (makar). Begitu menyakitkan dan mengerikan tuduhan-tuduhan labeling politik ini.

Di Indonesia sangatlah ramai dengan labeling-labeling politik seperti itu. Dari labeling yang diduga kuat disponsori Negara melalui buzzer, membuahkanlah counter opinion. Gerak balik melawan opini yang dibangun pemerintah. Lahirlah seperti tudingan 'pemerintahan Jokowi menghamba pada komunis'. Pemerintahan yang lemah dan didikte China. Aib pemerintahan yang doyan berhutang ke Luar Negeri pun diekspos besar-besaran oleh rakyat.

Menjadi konsumsi massa yang terus meluas. Hasilnya, benturan-benturan opini dihidupkan. Konflik dalam tataran narasi yang konstruktif menjadi redup, bahkan nyaris hilang. Yang berkeliaran hanyalah saling tuding. Ketika ada rakyat yang melontarkan kritik, pemerintah menudingnya antipati. Rakyat tersebut dianggap rival pemerintah, dianggap lawan politik yang belum move on.

Sunggu kejam, padahal bukan disitu poinnya. Yang disampaikan rakyat berupa kritik adalah cermin dari kerinduannya agar Indonesia dimajukan pemerintah. Pembangunan dilaksanakan dengan serius. Rakyat mau memotivasi pemerintah, bukan karena antipati. Tarung opini, saling tebar labeling menyeret-nyeret tema yang destruktif. Bahkan sampai ke soal-soal personal, sungguh sangat tidak produktif.

Menjadi debat kusir di media massa maupun Sosmed. Tergiringlah topik-topik pembangunan Negara, evaluasi terhadap pemerintah yang mestinya dibahas. Biasanya inilah yang diharapkan pemerintah. Rakyat diharapkan tidak lagi cerdas dan kritis mempersoalkan kegagalan, kurang tepatnya program pemerintah yang diimplementasikan.

Sejatinya, pemerintah hadir lebih cepat dan menjadi contoh. Bukan menjadi aktor dalam pemberian labeling politik. Diksi-diksi menyehatkan, sejuk dan edukatif pantasnya dilakukan pemerintah. Bukan dengan klaim dan penghakiman-penghakiman politis karena faktor ketidaksukaan semata. Berbahaya jadinya, sudah pasti akan muncul kegaduhan di ruang publik kita.

Makin semraut lalu lintas wacana yang melintas, sehingga berujung pada saling melaporkan dan memenjarakan. Pada ruang ini, tentu pemerintah akan diuntungkan. Argumen yang dibangun tersebut didukung fakta, dimana cukup banyak rakyat yang dianggap rival pemerintah, mengkritik mereka dicari-cari kesalahannya. Kemudian dipenjarakan. Salah satu contoh kasusnya, HRS.

Jika sejak awal HRS memuji-muji Jokowi seperti Abu Janda dan Denny Siregar, tentu HRS tidak bernasib dipenjara seperti sekarang. Beginilah ketidakadilan dipertontonkan pemerintah. Kelompok rakyat yang tegas 'menggonggong' pemerintah akan menuai badai perlawanan. Akan dikecam dan ditekan. Bagi yang tidak tahan banting, mereka akan bungkam. Bukan sekedar bungkam, tapi dibungkam.

Kapan ya pemerintah Indonesia benar-benar demokratis?. Rakyat yang berbeda pendapat tidak dipenjarakan. Itu impian kita semua. Pemerintah tidak boleh 'bermuka dua'. Disatu sisi seolah-olah berwajah demokratis. Disisi lain berwajah buas, mempraktekkan otoriternya. Begitu fulgarnya pemerintah gemar 'mencuci tangan'.

Oknum rakyat dapat saja dipenjara, jika pemerintah tidak menykainya. Barulah, representasi pemerintah atau bahkan Jokowi sendiri tampil retoris. Dengan alasan yang mudah terbaca, menyampaikan bahwa itu bukan dirinya yang menyuru melaporkan atau bukan dirinya yang membuat 'lawan politik' itu dipenjarakan. Rakyat kecil seperti kita ini juga gampang melacak akar dan alur persoalan. Tidak bodoh-bodoh amat.

Tetap ada pelibatan pemerintah, yang tak terdeteksi kasat mata. Dalam memukul lawan politik. Pemerintah itu punya banyak keunggulan. Punya kaki tangan, punya telinga dimana-mana. Selain yang legal sampai yang illegal bisa dipelihara pemerintah. Dengan begitu, sangatlah muda pemerintah bertindak zalim terhadap seseorang yang tidakdisukainya. Pemerintah hanya memberikan dua alternatif, yakni berteman dan bermusuhan.   

Sulitnya Melawan Labeling

Tidak mudah memberikan bantahan terhadap stigma buruk. Terlebih stigma atau labeling itu disematkan pemerintah. Karena kenapa?, ya pemerintah punya kekuatan, jaringan dan modal kemampuan yang besar untuk mengarahkan segalanya. Tentu untuk alasan kepentingan pemerintahan. Paling santer kita dengar adalah alasan stabilitas keamanan.

Realitas saat ini menjawab itu. Dimana rakyat kecil, di luar lingkar kekuasaan tidak punya kemampuan menangkis tudingan. Ada yang dituduh berafiliasi dengan gerakan teroris, dituduh melawan pemerintah. Semuanya dalam ruang debat dan klaim, dimenangkan pemerintah. Melawan labeling bukan pekerjaan gampang memang.

Bantah-bantahan soal benar dan salah, tetap saja pemerintah yang menang. Meski bukti kebenaran dipunya rakyat. Karena dalam logika struktural kekuasaan, pemerintah punya segalanya. Pemerintah punya nilai lebih, mampu mengendalikan aparat negara, media massa, dan lebih dari itu pemerintah punya anggaran yang besar.

Kelak perdebatan-perdebatan negara vs rakyat akan terus meruncing, jika pemerintah tak punya opsi yang konstruktif. Seharusnya pemerintah menjembatani dinamika sosial, mengakomodir aspirasi rakyat. Berhentilah melakukan stigma. Labeling politik berefek seperti bahaya laten komunis, dan ancaman khilafah bagi orang-orang yang anti tema-tema khilafah. Labeling politik sangat jahat dan mengerikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun