Sejatinya, pemerintah hadir lebih cepat dan menjadi contoh. Bukan menjadi aktor dalam pemberian labeling politik. Diksi-diksi menyehatkan, sejuk dan edukatif pantasnya dilakukan pemerintah. Bukan dengan klaim dan penghakiman-penghakiman politis karena faktor ketidaksukaan semata. Berbahaya jadinya, sudah pasti akan muncul kegaduhan di ruang publik kita.
Makin semraut lalu lintas wacana yang melintas, sehingga berujung pada saling melaporkan dan memenjarakan. Pada ruang ini, tentu pemerintah akan diuntungkan. Argumen yang dibangun tersebut didukung fakta, dimana cukup banyak rakyat yang dianggap rival pemerintah, mengkritik mereka dicari-cari kesalahannya. Kemudian dipenjarakan. Salah satu contoh kasusnya, HRS.
Jika sejak awal HRS memuji-muji Jokowi seperti Abu Janda dan Denny Siregar, tentu HRS tidak bernasib dipenjara seperti sekarang. Beginilah ketidakadilan dipertontonkan pemerintah. Kelompok rakyat yang tegas 'menggonggong' pemerintah akan menuai badai perlawanan. Akan dikecam dan ditekan. Bagi yang tidak tahan banting, mereka akan bungkam. Bukan sekedar bungkam, tapi dibungkam.
Kapan ya pemerintah Indonesia benar-benar demokratis?. Rakyat yang berbeda pendapat tidak dipenjarakan. Itu impian kita semua. Pemerintah tidak boleh 'bermuka dua'. Disatu sisi seolah-olah berwajah demokratis. Disisi lain berwajah buas, mempraktekkan otoriternya. Begitu fulgarnya pemerintah gemar 'mencuci tangan'.
Oknum rakyat dapat saja dipenjara, jika pemerintah tidak menykainya. Barulah, representasi pemerintah atau bahkan Jokowi sendiri tampil retoris. Dengan alasan yang mudah terbaca, menyampaikan bahwa itu bukan dirinya yang menyuru melaporkan atau bukan dirinya yang membuat 'lawan politik' itu dipenjarakan. Rakyat kecil seperti kita ini juga gampang melacak akar dan alur persoalan. Tidak bodoh-bodoh amat.
Tetap ada pelibatan pemerintah, yang tak terdeteksi kasat mata. Dalam memukul lawan politik. Pemerintah itu punya banyak keunggulan. Punya kaki tangan, punya telinga dimana-mana. Selain yang legal sampai yang illegal bisa dipelihara pemerintah. Dengan begitu, sangatlah muda pemerintah bertindak zalim terhadap seseorang yang tidakdisukainya. Pemerintah hanya memberikan dua alternatif, yakni berteman dan bermusuhan. Â Â
Sulitnya Melawan Labeling
Tidak mudah memberikan bantahan terhadap stigma buruk. Terlebih stigma atau labeling itu disematkan pemerintah. Karena kenapa?, ya pemerintah punya kekuatan, jaringan dan modal kemampuan yang besar untuk mengarahkan segalanya. Tentu untuk alasan kepentingan pemerintahan. Paling santer kita dengar adalah alasan stabilitas keamanan.
Realitas saat ini menjawab itu. Dimana rakyat kecil, di luar lingkar kekuasaan tidak punya kemampuan menangkis tudingan. Ada yang dituduh berafiliasi dengan gerakan teroris, dituduh melawan pemerintah. Semuanya dalam ruang debat dan klaim, dimenangkan pemerintah. Melawan labeling bukan pekerjaan gampang memang.
Bantah-bantahan soal benar dan salah, tetap saja pemerintah yang menang. Meski bukti kebenaran dipunya rakyat. Karena dalam logika struktural kekuasaan, pemerintah punya segalanya. Pemerintah punya nilai lebih, mampu mengendalikan aparat negara, media massa, dan lebih dari itu pemerintah punya anggaran yang besar.
Kelak perdebatan-perdebatan negara vs rakyat akan terus meruncing, jika pemerintah tak punya opsi yang konstruktif. Seharusnya pemerintah menjembatani dinamika sosial, mengakomodir aspirasi rakyat. Berhentilah melakukan stigma. Labeling politik berefek seperti bahaya laten komunis, dan ancaman khilafah bagi orang-orang yang anti tema-tema khilafah. Labeling politik sangat jahat dan mengerikan.