Dewan Perwakilan Rakyat) adalah mereka yang diberi wewenang dari rakyat. Untuk berada di DPR. Tidak lain yaitu melaksanakan tiga fungsi utama. Yakni legislasi, penganggaran dan pengawasan. Manakala wakil rakyat ingkar terhadap amanahnya. Ia akan kena kutukan. Ya, kutukan itu bisa berupa hukuman atasnya untuk tidak terpilih kembali.
WAKIL rakyat (Fungsi wakil rakyat tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 20A. Lantas inikah yang menjadi alasan wakil rakyat doyan melakukan revisi Undang-Undang (UU)?. Menjadi rujukan mereka untuk meningkatkan anggaran dan tunjangan tugas mereka?.
Memicu mereka untuk menjadikan pengawasan untuk sekedar bargaining politik?. Tentu tidak. Spirit yang tercantum dalam Pasal 20A UUD 1945 tidak sesempit dan separah itu tafsirnya. Mereka wakil rakyat ini disiapkan menjadi insan yang tercerahkan. Bertarung untuk bela rakyat di gedung DPR.
Kecenderungan wakil rakyat memang kurang mandiri. Mereka dibatasi keperluan partai politik. Dalam menyampaikan pendapat juga ala kadarnya. Tidak utuh dan tidak total berjuang untuk rakyat. Wakil rakyat diarahkan untuk menjalankan tiga fungsi mereka. Bukan sekedar mengartikan. Melainkan dikonkritkan dalam kerja-kerja sebagai legislatif.
Harus menjadi produktif, cermat, kritis dan keras dalam proses legislasi. Seperti itu pula dalam fungsinya merumuskan anggaran (budgeting). Seterusnya juga dalam menjalankan fungsi pengawasan (controlling). Ketika di tubuh lembaga DPR (baik pusat maupun daerah) mengalami prahara. Melalui itu mudah dicermati muaranya.
Diagnosis saja tiga fungsi penting tersebut. Ketika ada korupsi misalnya yang dilakukan oknum wakil rakyat, berarti ada diantara tiga fungsi dewan itu diabaikan. Bahkan, bukan sekedar itu, mereka bertindak melampawi kewenangan. Dan itu konsekuensinya serius merupakan perbuatan melawan hukum.
Selanjutnya, bagaimana dengan wakil rakyat yang mis realitas?. Ini juga problem warisan. Turun-temurun sering kita jumpai. Ada waktu rakyat yang lupa kerjanya mengabdi pada rakyat. Hal itu tergambar jelas ukurannya dalam realitas sosial. Di lingkup Daerah Pemilihan (Dapil) dimana wakil rakyat itu diutus.
Apakah selama si wakil rakyat itu diserahi amanah, duduk di lembaga dewan, zona yang diwakilinya mengalami kemajuan?. Bila tidak ada kemajuan. Itu bertanda wakil rakyat tersebut hanya tidur. Impoten dalam tugasnya. Begitu pula jejak lain seperti produk hukum yang dihasilkan.
Benarkah menjadi wakil rakyat, mereka menghasilkan produk regulasi (UU) yang pro pada kepentingan rakyat. Atau malah mengikuti selera kaum pemodal. Darisini menjadi pintu masuk untuk para wakil rakyat ini dievaluasi rakyat. Mereka diadili rakyat tiap saat. Jangan nanti selama lima tahun.
Biarkan saja ketika masa periode wakil rakyat itu lima tahun. Tapi evaluasi rakyat bisa dilakukan tiap tahun, tiap bulan atau tiap saat. Cara mengadilinya ialah mengoreksi kerja mereka. Kritik dan ingatkan apa saja yang belum mereka lakukan untuk rakyat. Ingat sumpah jabatan yang mereka ikrarkan.
Teruntuk wakil rakyat yang mis realitas. penghargaannya adalah tidak memilih mereka lagi. Kebanyakan wakil rakyat 'bermerek' begini adalah mereka yang membiasakan money politic. Pemilu, Pileg dan Pilkada dijadikan kesempatan emas untuk memburu rakyat dengan uang recehan. Persetan dengan program. Dibuatlah mereka bad politics. Sangat tidak layak untuk dikenang cara-cara tersebut.
Mereka tidak mengenal visi misi politik. Politisi bertingkah begini dapat disebut pemburu rente politik. Otaknya hanya monopoli. Konsekuensi yang layak bagi wakil rakyat mis realitas ialah tidak lagi memilih mereka untuk periode mendatang. Mereka telah berani mengambil sikap apatis terhadap kebutuhan rakyat.
Peran rakyat mereka lupa. Bahwa ternyata karena rakyat mereka berkelimpahan harta. Introspeksi massal memang patut diberikan rakyat kepada wakil-wakilnya. Musibah yang didapatkan, selain tidak dipilih konstituen yaitu ditangkap KPK. Atau melakukan skandal lainnya. Itulah akibatnya bagi politisi ingkar.
Peristiwa politik memang selalu melintasi batas. Tak memandang siapa. Akan tiba waktunya bila wakil rakyat yang salah membaca realitas sosial ditinggalkan rakyat. Terlebih bagi politisi yang masa bodoh terhadap kepentingan-kepentingan rakyat. Wakil rakyat sombong dan gila hormat apalagi.
Wakil rakyat korup layak diberikan bonus. Sanksi sosial, kemudian aturan yang ketat agar menjegal mereka untuk tidak mencalonkan lagi sebagai wakil rakyat atau pejabat publik. Itulah seadil-adilnya bonus yang pantas diberikan. Tidak perlu dijadikan duta korupsi. Untuk koruptor layak diasingkan ke wilayah yang terisolir. Jangan memberi ibah kepada pencuri.
Silahkan ditelisik. Para politisi korupsi yang menjadi wakil rakyat disinyalir kuat mereka meraih kedudukan seperti wakil rakyat hanya dengan cara politik transaksional. Jarang edukasi politik yang mereka lakukan. Proses naiknya dalam tangga politik cepat melejit. Turunnya mereka juga secepat kilat.
Politik kebaikan dan keteladanan nyaris tak mereka tunjukkan. Yang dibenak politisi korup hanyalah kemenangan. Jabatan dapat mereka peroleh. Terserah dengan cara apa. Hilanglah moralitas dan etika di ruang politik. Para politisi ini tergila-gila pada kekuasaan. Mereka merasa seolah jabatan memberi ketenangan.
Bancakan dana, bagi-bagi jatah proyek. Menghambat pihak yang dianggapnya lawan politik. Mengatur siapa yang duduk di institusi tertentu yang dinilai memberi manfaat keuntungan tertentu. Sampai praktek mencari formula tepat melegalkan pencurian uang rakyat. Wakil rakyat harus all out berjuang untuk rakyat.
Seolah-olah dekat dan tau apa kebutuhan rakyat. Ternyata yang dilakukan hanya pencitraan. Bukan bermaksud membantu rakyat, melainkan sedang menanam investasi politik. Lebihnya lagi mereka berharap berkah politik, seperti uang kaget. Dana segar yang dengan mudah diperolehnya.
Makin amburadullah Negara Indonesia tercinta. Ketika semua layanan publik dipandang sebagai peluang mencari keuntungan. Wakil rakyat yang mengambil jarak dengan rakyat, biasanya cepat keluar jalur. Kalau tidak main proyek, paling banter mereka merampas hak rakyat. Karena dengan begitu mereka bisa bermewah-mewahan.
Mereka yang diandalkan, malah kembali menyakiti rakyat. Ada yang acap kali diam, pasif menyampaikan aspirasi rakyat. Wakil rakyat seperti ini juga tidak perlu dipertahankan. Layaknya mereka dipensiun-dinikan. Ambil hak politik rakyat untuk dievaluasi, kedepan tidak lagi salah memilih wakil rakyat.
Kisruh di paripurna dewan, sering mengecewakan. Karena yang direbut-rebutkan itu kepentingan politis. Jauh dari kepentingan rakyat. Sesalnya lagi, watak sebagian wakil rakyat kita yang menjadikan tekanan forum dengan debat kencang hanya untuk meningkatkan daya tawar politik. Betul-betul bukan itu yang dinantikan rakyat.
Tak terbaca publik, praktek loby-loby proyek di DPR. Gerak dibalik panggung ini sebetulnya lebih menjadi kekuatan kunci. Di forum pembahasan dan paripurna itu bisa disebut seremoni, formalitas. Yang menentukan arah perjuangan wakil rakyat bukan dari depan lihatnya. Tak sedikit yang di depan hanyalah pion-pion. Dayang-dayang dan boneka. Yang mengaturnya itu para 'dewa-dewa'. Mereka adalah Ketua Umum parpol, penguasa, dan barisan mafia atau pemilik modal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H