Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revisi UU Pemilu, Menilik Tautan Kepentingan Jokowi

13 Februari 2021   20:11 Diperbarui: 15 Februari 2021   06:43 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

APA untungnya jika revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dilakukan?, bagi politisi ada untungnya. Begitu pula dengan menolak revisi UU tersebut. Partai pemenang Pemilu 2019 (parpol besar), tentu cenderung menolak revisi UU Pemilu.

Yang menolak mengajukan alasan karena kemanusiaan, penanganan Covid-19. Lalu yang meminta UU Pemilu direvisi kurang lebih sama.  Vested interest. Faksi politik mana yang benar pro rakyat?. Politisi memang pintar menyusun alasan. Katanya upaya pemerintah memutus mata ramtai Covid-19 harus didukung.

Loh, kenapa Pilkada Serentak 2020 tidak kalian tolak. Ramai-ramai kalian sahkan, dan terlaksana. Kini masih musim pandemi juga. Kalau tiba-tiba merubah alasan. Argumen dibalik semua itu ternyata tendensius. Kalian hanya memburu keuntungan politik.

Kelak Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 dihelat, pemerintah pusat akan menentukan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Daerah. Rupanya itu proyek politik kalian. Mulailah kalian berjamaah membajak demokrasi. Dan para Plt Kepala Daerah itu adalah konco-konco kalian parpol dan kubu koalisi pemerintahan Jokowi.

Dari konstruksi kepentingan itulah, Jokowi sangat berkepentingan. Dapat diperkirakan, Jokowi menghendaki revisi UU Pemilu ditolak. Pemilu dan Pilkada Serentak dilaksanakan 2024. Itu yang diharapkannya. Posisi Anies Baswedan yang digadang-gadang calon Presiden atau calon Gubernur DKI Jakarta 2 periode bakal terjepit.

Anies melemah, itu yang mereka nantikan. Ketika tidak lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta aktif, kekuatan Anies diharapkan menurun. Maju ke Pilpres Anies dinilai akan bekerja dari nol. Seperti itu pula ketika bertarung di Pilgub DKI Jakarta, Anies bukan lagi petahana (incumbent).

Revisi UU Pemilu akan dilawan habis-habisan kubu Jokowi. Peta kekuatan di parlemen (DPR RI) sudah terlihat Jokowi akan menang. Mereka bersatu menolak revisi UU Pemilu. Cukup PDI Perjungan, Partai Golkar, apalagi ditambah Partai NasDem, maka Jokowi menang. Tentu menang satu langkah.

Menguasai suara di Parlemen. Belum parpol seperti PPP, PKB dan parpol lainnya bergabung. Makin kuatlah kubu Jokowi. Mereka menang voting. Kubu SBY atau AHY akan terpental. Makin tercerabut kekuatannya. Logika Jokowi menang di Parlemen cukup beralasan.

Bahaya bagi Partai Golkar dan NasDem ketika menolak mengikuti kemauan Jokowi. Pasti Menteri yang mereka usung, kader-kader mereka di Kabinet akan digusur. Kena reshuffle. Menteri yang mereka titipkan, abdikan untuk Jokowi itu asset besar parpol. Paling tidak menambah pundi-pundi pendapat parpol.

Kalkulasi ini akan terbukti. Bahwa kedepan, Jokowi berambisi memajukan anaknya di Pilgub DKI Jakarta. Pemilu 2024 digelar, Jokowi tentu tak mau kehilangan kendalinya terhadap sistem pemerintahan. Jokowi akan mengalami post power syndrome pada waktunya. Dalam mengantisipasi itu, sekarang ia bekerja keras.

Berjuang mengamankan kepentingan besarnya. Jokowi pasti bekerja menitipkan anak dan keluarganya untuk melanjutkan cita-cita politiknya. Gibran yang terpilih Wali Kota Solo, kemungkinan disiapkan di level lebih besar lagi. Desas-desus politik Jokowi berkerinduan menjadi Presiden lebih lama, dapat dibenarkan.

Perombakan Kabinet ketika wacana revisi UU Pemilu digulirkan turut menguat. Tidak main-main itu. Para elit parpol diingatkan Jokowi agar mereka harus mengikuti perintah Jokowi. Tidak boleh yang membantah Jokowi. Jika ada gelombang perlawanan, pasti mereka mendapat hantaman balik.

Jokowi kelihatan lembut, tapi keras untuk urusan mengamankan kepentingannya sendiri. Revisi UU Pemilu akan beririsan dengan kepentingan Jokowi. Tentu Jokowi tak akan nyenyak tidurnya manakala konsolidasi mengamankan barisan agar menolak revisi UU Pemilu belum berhasil. Jokowi pasti linglung.

Nyaris seragam alasan menolak revisi UU Pemilu dilaksanakan. Mereka mengajukan alasan kemanusiaan dan pandemi Covid-19. Padahal sebelumnya, Pilkada Serentak 2020 di musim pandemi mereka malah turun mendorongnya. Mereka yang mati-matian meminta Pilkada Serentak 2020 dilaksanakan.

Kenapa sekarang tiba-tiba berbalik haluan?. Sudah seperti itulah kepentingan politik. Jangan kaget. Rakyat Indonesia juga tidak perlu berlebihan menyanjung mereka yang menolak revisi UU Pemilu dibahas. Tertawakan mereka bila perlu. Mereka itulah orang-orang atau politisi inkonsisten.

Menjadi politisi yang bermental ikut-ikutan perintah pimpinan parpol begitu terhina. Mereka lebih takut pimpinan parpol ketimbang rakyat. UU Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pemilu mencuat di tengah pandemi Covid-19 bertanda bahwa wakil rakyat kita sedang melakukan manuver politik.

Sebagian besar parpol di Parlemen kompak menolak revisi UU Pemilu. Ini tandanya arus besar yang menghadang Senayan, tak kuasa dilawan para wakil rakyat. Mentah-mentah kepentingan dari Istana Kepresidenan mengatur wakil rakyat kita. Rasanya, fungsi kontrol dan pembuatan regulasi di DPR disetir Istana.

Begitu lemahnya kekuatan wakil rakyat kita sekarang. Terbaca jelas, kemauan menolak revisi UU Pemilu itu berhembus dari pintu Istana. Sayangnya tak ada interupsi, atau penolakan yang kencang dari gedung DPR. Fungsi lembaga dewan beraroma sampah, yang mengikuti arus Istana semata. Tak punya keberanian melawan.

Pembahasan RUU Pemilu juga sempat memunculkan kisruh. Tapi kekisruhan itu hanya sekedar mencari perhatian Istana. Tercium pula itu tata cara politisi untuk meningkatkan bargaining politiknya. Sungguh murahan kalau itu memang benar-benar dilakukan.

Yang diharapkan rakyat yaitu wakil-wakilnya di gedung Dewan lebih kritis. Berani bicara, angkat telunjuknya untuk memperbaiki kekacauan kebijakan. Menyampaikan kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan pemerintah. Bukan turun berdiam jika Istama secara arogan mendikte kepentingannya.

Revisi UU Pemilu merupakan cerminan mini. Dari kontestasi Pilpres. Ketika siapa yang memenangkannya, potensi besar mereka akan memenangkan pertarungan di Pemilu 2024. Kapan Indonesia mengalami kemajuan drastis kalau begini mental politisi kita.

Kapan Indonesia menjadi benar-benar dapat kita banggakan?, kalau pemerintah hanya mengandalkan kepentingan kelompoknya. Perjuangan yang diusung hanya parsial. Menjadi makin salah arah. Mestinya, kepentingan rakyat dikedepankan. Indonesia akan mengalami kemunduran, jika geng politik ini terus-menerus menguasai kekuasaan di Indonesia.

Mimpi kita semua agar wajah Indonesia lebih elegan dan berwibawa di pentas Internasional harus terwujud. Mari kita bangunkan kesadaran kritis rakyat. Untuk memeriksa niat dari para elit politik kita yang mau menguasasi Indonesia dengan prestasi yang pas-pasan. Jangan sampai terulang lagi kita salah memilih pemimpin di Negara ini. 

Menolak revisi UU Pemilu tak lain merupakan proyek politik Jokowi. Kelompok yang meminta agar revisi UU Pemilu dibahas, mengetahui jika Pilkada dilaksanakan 2022 dan 2023 tentu pula menguntungkan pihaknya. Perbedaan kepentingan ini sejatinya dicarikan solusi yang tepat. Jangan membelah persatuan rakyat dalam kepentingan politik kelompok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun