Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Buzzer, Jokowi dan Paradoks

11 Februari 2021   11:05 Diperbarui: 12 Februari 2021   21:30 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Daya hancur buzzer, ilustrasi (Foto Energibangsa.id)

KRITIK kita tahu sebagai kekuatan penyeimbang demokrasi. Itu sebabnya di Indonesia lahirnya, lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (parlemen). Fungsinya selain melakukan kontrol, ialah melahirkan balance of power. Adanya keseimbangan kekuasaan, sehingga tidak monoton dan sentralistik pemerintahan dijalankan.

Terlahirlah harmoni. Ada check and balance dalam pemerintahan. Begitu pula dalam skala luas, antara pemerintah dan rakyat. Kritik itu begitu diperlukan guna mengingatkan pemerintah. Akan keluar jalur pemerintahan, jika semua puji-pujian disampaikan rakyat.

Yang tren pembela pemerintah bertransmisi melalui buzzer. Para pemuja pemerintah ini bermetamarfosis melalui praktek bertopeng. Mereka berkeliaran bebas di dunia maya. Tanpa memakai identitas yang otentik dan valid. Kelompok pengecut yang bermuka ganda.

Peternak buzzer diduga kuat ada di Indonesia. Bahkan beberepa indikasi menunjukkan keterlibatan pemerintah, berpihak kepada buzzer. Mereka seperti binatang jahat yang tak bertuan. Kemungkinan mereka jinak kepada orang-orang atau kelompok yang memberi keuntungan finansial.

Buzzer melahirkan buzzer. Jadilah buzzer-buzzer yang berlipat ganda. Buzzer disebut juga pendengung. Mereka mendengungkan fakta-fakta versinya. Kebenaran dan data-data menjadi relatif di mata mereka. Hoax maupun tuduhan-tuduhan serius soal kebenaran yang diragukan menjadi mainan buzzer.  Pekerjaannya membuat keributan di Medsos.

Seperti gelombang, mereka terbentuk atas kepentingan. Buzzer ini sederhananya diartikan sebagai bel, lonceng atau alarm. Mereka berbunyi nyaring ketika pemerintah dikritik. Habis mati-matian mereka membela pemerintah. Di mata buzzer, Presiden Jokowi seperti Tuhan. Tak ada yang salah padanya.

Sekarang muncul kebijaksaan Jokowi tentang kritik. Ia mulai akomodatif dengan pendapat alternatif. Jokowi minta dikritik. Ini kemajuan bagus. Bertanda pola piker Jokowi mulai terbuka. Jokowi mengatakan masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik. Seperti dilansir urbanasia.com, Rabu 10 Februari 2021.

Jokowi menyampaikan itu masih dalam suasana kesempatan Hari Pers Nasional 2021. Rupanya ada hidayah dan kesadaran mengalir terhadap pemimpin kita ini. Sebelum-sebelumnya, tak terdengar kebijaksanaannya tentang pentingnya kritik. Demokrasi kita mulai maju.

Kita berharap, berbarengan Jokowi juga menertibkan para buzzer. Caranya tentu sederhana, melalui Menteri Komunikasi dan Informatika semua 'huru-hara' di Medsos dapat dikendalikan. Bagi pengguna akun Medos yang abal-abal, tampil palsu dapat diblok. Pemerintah mengetahui cara menjegalnya.   

Kelihatannya, Jokowi mulai muak melihat lep service. Dan pujian yang membuatnya merosot sebagai pemimpin Indonesia. Terpantau masih ada paradoks (paradox). Dimana bertentangan atau berlawanan antara pernyataan Jokowi dengan meluap-liarnya para buzzer. Mereka menghadang para pengkritik dengan cara-cara tidak cerdas.

Anti kritik, sesudah itu yang mereka ajukan sebagai alasan tidaklah kuat. Buzzer merupakan hantu jahat di jagat maya. Mereka tampil bringas menjilat kepentingan pemodal dan penguasa, tanpa malu. Semacam timer, ketika pemerintah dikritik. Mereka serentak, terorganisir menyerang para pengkritik.

Padahal sebagian besar yang menjadi objek kritik merupakan hal positif. Pengkritik mengucapkan kritik rasional, baik di video maupun komentar Medsos direndahkan. Diserang dengan pendekatan tidak humanis. Mereka belum mengerti tentang konsep dekolonisasi. Mereka memperpanjang perbudakan.

Buzzer memang pembela pemerintah. Soal benar salah, tidak dipusingkannya. Bahkan mereka ini umumnya dibiayai. Menjadi mata pencaharian mereka. Disubsidi kelompok tertentu. Makin ramai, rebut Medsos mereka makin diuntungkan. Mereka dimenangkan di era post-truth. Tapi mereka lupa kedunguannya.

Membela pemerintah dengan membabi-buta. Merekalah penghalang demokrasi. Yang salah dibenarkan. Dan yang benar disalahkan. Kolam mereka yaitu di media sosial (Medsos). Bumi mereka untuk mencari nafkah itu di Medsos. Demokrasi harus tumbuh mekar, tak perlu dihalau.

Umumnya mereka melakukan penyamaran. Akun Facebook atau Twitter anonim. Atau disamarkan. Mereka tidak memakai identitas yang jelas sehingga sulit terdeteksi. Enaknya mereka, karena membela pemerintah, makanya meski salah tidak diadili secara tegas. Buzzer rentan dan selalu mendistribusi informasi hoax.

Ada sinyamelemen kuat kelompok ini tak lain adalah sebagai para 'cebong'. Panggung baru cebong setelah Jokowi menang, merekalah pembela-pembela pemerintah yang pantang menyerah. Hukum harus diarahkan kesana, mengusut dan menindak skandal-skandal yang mereka lakukan.

Pelanggaran hak asasi manusia dan penghinaan tak jarang mereka lakukan pula. Pemerintah tak boleh membiarkannya. Tidak semua yang diduga melanggar aturan. Baik kelompok 'kampret' maupun 'cebong' diperlakukan adil dalam penerapan hukum. Jangan ada yang diistimewakan.

 Mereka pemain belakang, meledakkan bunyian sarine, lalu bersembunyi. Buzzer menjadi potret oknum-oknum pembuat masalah. Sampah demokrasi yang perlu ditindak tegas pemerintah. Bermental bajakan, mereka pecundang hanya berani beramin berpenampilan artifisial.

Masih terselamatlah Jokowi di tengah periode keduanya memimpin Indonesia. Jokowi telah berani meminta masyarakat mengkritiknya. Tunjukkan keseriusan itu sebaiknya dengan menghapus atau membatalkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sebab ini menjadi ranjau bagi pengkritik.   

Tantangan demokrasi kita yaitu masih adanya keterlibatan Negara dalam memelihara buzzer. Kita berharap tidak demikian. Pemerintah harus tertibkan mereka. Begitu pula dengan adanya UU ITE yang menjadi racun bagi para pengkritik. Kita menguji keseriusan Jokowi meminta dikritik, dengan membatalkan UU tersebut.

Bahaya laten demokrasi kita sekarang bertambah lagi. Diantaranya dengan kehadiran buzzer. Kelompok pembela kekuasaan yang rusak pola pikir kritisnya. Pemerintah itu butuk kritik pedas, dan juga serius agar mereka berbenah. Bukan disanjung layaknya para Nabi dan Rasul, atau seperti kita menuhankan sang khalik.

Tidak begitu seharusnya jika kita berkeinginan memajukan Negara Indonesia. Malah mereka yang memberi kritik diberi ruang. Itu ilmu dan saran gratis yang disampaikan para pengkritik. Agar apa?, tentu dimaksudkan untuk pemerintah lebih bersemangat dan serius lagi membangun Negara.

Janganlah kritik selalu dinilai negatif. Dianggap sebagai ketidaksukaan. Pemerintah itu bekerja untuk rakyat, pantaslah kebijakan tidak populis dikritik. Bila menyengsarakan rakyat, wajib pemerintah diingatkan lewat kritik. Para buzzer malah membuat Jokowi terjatuh. Redup cahaya kesuksesannya.

Pujian dan pembelaan berlebihan merugikan Jokowi. Mengurung Jokowi sebagai Presiden dalam ruang yang sempit, gelap dan pengap. Seolah-olah Jokowi hanyalah Presiden milik para buzzer. Inilah yang tanpa sadar memukul mundur posisi Jokowi sebagai orang besar yang hebat. Pemimpin semua golongan di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun