Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Jokowi Presiden Gila

9 Februari 2021   15:34 Diperbarui: 9 Februari 2021   18:01 1302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi, marah-marah (Foto Cnbcindonesia.com)

BENARKAH Presiden Joko Widodo merupakan Presiden yang gila?. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, gila (crazy) diartikan sebagai sakit ingatan. Bisa juga disebut kurang beres atau sakit jiwa. Mengutip Wikipedia gila adalah gangguan kejiwaan yang parah.  

Rabu 12 Februari 2020, seperti dilansir media online CNBC Indonesia. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir menyebutkan Presiden kita (Jokowi) gila kerja. Bukan gila beneran atau gangguan mental. Diksi gila ini menjadi bagian penting agar diulas.

 Kita berharap Jokowi tidak sedang mengidap penyakit kronis. Menyebut Jokowi gila kerja rasanya terlalu berlebihan. Betapa tidak, kalau Presiden kita ini gila kerja sudah pasti pembangunan di Indonesia lebih sukses. Rakyat akan sejahtera. Keadilan di depan hukum, keadilan sosial akan terdistribusi dengan baik. Korupsi tak lagi tumbuh.

Persepsi terhadap kinerja Jokowi atau Joko Widodo memang berbeda-beda. Tergantung posisi dan sudut penilaian masing-masing orang. Bagi saya, Jokowi gila dengan praktek pencitraan. Masih kurang maksimal dalam kerja-kerja lapangan. Kerja yang benar-benar menyentuh jantung kebutuhan rakyat, belum nampak.

Ketika Jokowi disebut Presiden gila dalam ulasan ini. Hanya dimaksudkan semata-mata pada 'kegilaannya' terhadap jabatan. Mengapa begitu?, keberadaan Jokowi menjadi Gubernur aktif di DKI Jakarta menjadi referensinya. Akhirnya, ia melepas jabatan itu walau belum selesai masa periode.

Fakta bukan. Pemimpin yang gila memang biasanya selalu bersensasi. Melakukan sesuatu harus dengan mengundang perhatian banyak orang. Tidak merasa nyaman, kurang puas jika kebaikan yang dilakukannya tidak terekspos ke publik. Langkahnya, media massa wajib digandengnya.

Seharusnya yang digandeng kemana-mana itu kerjanya bersama rakyat. Niatnya diperbaiki. Agar tidak lagi ada praktek yang bersifat ambivalen. Energi dan semua kerjanya dihibahkan untuk rakyat Indonesia. Tidak untuk gerbong politiknya atau untuk membesarkan anak-anaknya di panggung politik.

Rasulullah SAW bersabda bagi mereka yang gila jabatan. Dalam HR Bukhari dari Abu Hurairah RA, dijelaskan bahwa sesungguhnya kalian akan berlomba-lomba mendapatkan jabatan, padahal kelak di akhirat akan menjadi sebuah penyesalan. Nasehat yang luar biasa untuk kita semua.

Kelak, Jokowi tak lagi menjadi serakah jabatan, itu harapan kami rakyat. Jika Jokowi dijuluki Presiden gila, seperti maksudnya Erick Thohir maka indonesia menjadi prosperous country. Setidaknya kemiskinan turun merosot. Kemakmuran rakyat makin meluas. Itu ekspektasi kita.

Kenyataan yang sebetulnya ialah Jokowi Presiden yang tidak terlalu banyak mencetak prestasi. Narasi tentang kerja, kerja, kerja belum terlihat hasilnya. Setidaknya keteladanan dari Jokowi untuk rakyat menjadikan dialog sebagai pendekatan utama, tidak terwujud. Sebut saja, kasus pembubaran Ormas.

Kasus yang menyeret tokoh-tokoh Agama. Terlebih para Ulama yang dijebloskan ke penjara. Pembacaan sejarah dari Jokowi masih belum komprehensif rasanya. Bagaimana merajut hubungan baik antara pemerintah dan para tokoh agama, seluruhnya belum diterapkan dengan adil.

Kalau ada tokoh agama yang didekati pemerintah, hanya pada Ormas-Ormas yang besar saja. Yang dinilainya punya bargaining politik. Selebihnya jangan berharap. Saya bermimpi semoga Jokowi menjadi Presiden gila yang terus-menerus membangun kebersamaan dan persatuan rakyat.

Presiden yang dicintai semua umat Islam Indonesia. Dan juga umat agama lainnya. Presiden yang diandalkan dan dibangga-banggakan rakyat. Sampai detik ini, belum ada realitas yang menjelaskan itu. Jokowi tidak mampu hadir menjembatani itu. Menghubungkan, mengeratkan persatuan nasional.

Tanpa harus mengkriminalisasi Ulama. Tentu ada umat atau rakyat Indonesia yang terluka. Jika pemerintah melihat gerakan-gerakan keagamaan sebagai ancaman bernegara. Melihat para Ulama dan Ustad yang memberi kritik, ditunding menebar fitnah. Sungguh ini paradigma mundur.

Jokowi jangan sampai terjebak disitu. Rakyat itu harus dirangkul. Semuanya dirangkul, tanpa dipukul. Tidak boleh ditutup-tutupi perasaan publik Indonesia ada yang merasa tidak diperlakukan adil. Kasus yang melibatkan para Ulama, tanpa melalui penetapan pengadilan. Ulama telah dikurung badan (dipenjara).

Sementara Abu Janda cs, masih bebas saja melakukan diskriminasi. Sudah pastilah publik menarik benang merahnya, kenapa Abu Janda seperti kebal hukum. Karena dia, tim sukses Jokowi. Masih ingat kan kita soal tuding-tudingan 'cebong vs kampret'. Indonesia terbelah, parahnya lagi Presiden tidak tegas untuk sebuah rekonsiliasi.

 Pekerjaan rumah pemerintah hari ini, masih relatif plural dan complicated. Belum lagi gelombang pandemi Covid-19 yang belum berakhir. Sebagian rakyat beranggapan Presiden kita tidak serius membangun Indonesia. Penanganan memutus mata rantai Covid-19 juga belum jelas arahnya.

Rubah konsep, rubah istilah, rubah metodologi penanganan Covid-19. Tapi, kondisi kesehatan, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat belum mengalami kemajuan berarti. Malah menyedihkan, rakyat kesulitan mencukupkan kebutuhan ekonominya. Larangan atas nama pembatasan sosial intens dilakukan.

Hal itu memukul pendapatan rakyat. Pemerintah jangan cepat klimaks. Perlu konsistensi ketika apa yang dianggap keberhasilan, harusnya ditingkatkan. Bukan sibuk memberitakan keberhasilan. Dan kekurangan dibenamkan. Semestinya, antara keberhasilan dan kegagalan dibuka pemerintah. Tujuannya kita benahi bersama.

Sehingga public tidak terpotong-potong membaca raport pemerintah. Maksudnya, laporan keberhasilan dan kegagalan itu dibuka seluas-luasnya ke rakyat. Sampai ke pelosok Desa terpencil. Jangan lebih besar biaya ekspos keberhasilan. Sedangkan ketidakberhasilan didiamkan atau ditutupi. Bahkan ada kesan publikasi berlebihan, terkait suksesnya kerja Jokowi.

Saya ikhlas lahir bathin bila Jokowi disebut gila. Maksudnya gila kerja. Kerja untuk rakyatnya, bukan bekerja demi para maling. Bukan bekerja dalam rangka mengabdi kepada para cukong. Ketika kerja untuk rakyat, manfaat yang didapat Jokowi sangat banyak dan besar. Rakyat pasti mati-matian membelanya ketika dibully. Tanpa pencitraanpun, rakyat akan cinta Jokowi. Bila ia benar bekerja total untuk rakyatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun