Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Badai Politik, Membaca Peta 2024

7 Februari 2021   16:00 Diperbarui: 8 Februari 2021   06:31 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RUPANYA para elit politik sedang membuat badai politik. dalam praktik politik, apa saja bisa dilakukan. Termasuk menghadirkan badai, bencana atau tsunami politik. semua pada akhirnya akan diselesaikan. Solusi yang berdaya guna menjadi golnya.

Diplomasi dan negosiasi politik tengah berjalan. Sembari bunyi-bunyian 'perang politik' dipukul. Sebut saja soal revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Gonjang ganjing isu 'kudeta' terhadap Ketum DPP Partai Demokrat, AHY. Kasus korupsi Bansos Covid-19 tenggelam.

Sejumlah kegaduhan politik juga berpotensi diciptakan pemerintah. Biar kegagalan tak terbaca publik. Strategi pengalihan dibuat. Selain itu, biasalah para elit parpol memang mahir berstrategi. Pemburu kekuasaan memang cakap membaca peluang.

Mereka kebanyakan adalah orang-orang yang mahfum soal strategi perang. Badai politik yang dibuat tentu diyakininya akan berlalu. Memberi imbas positif bagi mereka. Berbuah manis, itu harapan mereka. Tak ambil pusing dengan keributan di publik.

Siapa yang menanam, membunyikan tabuh (gendang atau beduk), siapa yang menari-nari dari bunyian itu. Mereka masing-masing mengejar keuntungan atau manfaat. Terkait panggung siapa yang harus mereka pakai, itu belakangan. Bayangkan saja, bagi elit politik yang gagap melahirkan dan mencuri kesempatan.

Pastilah ia tertinggal jauh. Dalam urusan curi start dan kepandaian mengendalikan, menguasai momentum peristiwa-peristiwa politik tak ditinggalkannya. Sekecil apapun, momentum politik itu berharga bagi politisi. Nyanyian AHY, termasuk direspon berbagai pihak.

Reaksi itu tumbuh bagai jamur di musim hujan. Dari ramai-ramainya para pimpinan parpol angkat bicara, juga pengamat. Pro kontra terhadap kisruh Partai Demokrat ditanggapi beragam. Petinggi PDI Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) turut berikan komentar.

Politisi Partai Golkar, PKS, NasDem, dan beberapa elit parpol lainnya tak ketinggalan momentum. Badai politik dalam tiap permainan politik (political game) selalu asyik bagi mereka yang mahir. Para praktisi marketing politik senang dengan konflik. Tak ada konflik, tak membuatkan parpol atau politisi itu besar.

Kalau kita simak, kebanyakan parpol dan politisi besar karena konflik. Itu artinya, konflik itu penting. Bermanfaat baik bagi mereka yang tau mengelolanya. Tidak selamanya konflik memecah, melemahkan atau menjatuhkan. Dari kasus 'kudeta' AHY menjadi nilai tambah bagi Partai Demokrat.  

Seperti itu pula berkaitan dengan alasan-alasan politis parpol dalam menolak revisi UU Pemilu. Di tahun 2019, Pilkada dipaksakan untuk dilaksanakan meski masih dalam suasana Covid-19. Kini elit parpol yang di Pilkada Serentak 2019 memaksa dilaksanakannya helatan Pilkada. Pada revisi UU Pemilu kali ini alasan tersebut diabaikan.

Tiba-tiba menjadi 'manusiawi'. Seolah-olah pro pada target memutus mata rantai Covid-19, sehingga menolak revisi UU Pemilu. Artinya apa, parpol tersebut menghendaki Pilkada tetap dilaksanakan 2024. Betul-betul berbau politis alasan tersebut. Dan juga menyajikan inkonsistensinya mereka.

Mentalitas dan perilaku politisi kita memang sangat jarang yang konsisten. Mereka bisa mendadak pro rakyat, bisa juga balik memangsa rakyat. Ya, tergantung kepentingan politiknya. Sebuah pemandangan yang sangat tidak elok, tidak terpuji. Revisi UU Pemilu menjadi pelajaran buat publik.

Bahwa para wakil rakyat yang merupakan utusan-utusan parpol itu hanya menjadi budak parpol. Apa yang diperintahkan pimpinan parpol, mereka turuti. Urusan kepentingan rakyat itu tidak penting. Jika disandingkan dengan kepentingan parpol. Sudah pasti, kepentingan parpol yang mereka dahulukan.

Kisruh yang lahir di Partai Demokrat menjadi miniatur Pilpres. Bagaimana publik membaca peta politik Pilpres 2024, boleh kita menghitung respon-respon parpol lainnya. Indonesia mulai menghadapi realita politik yang krusial. Sudah saling tidak percaya sesame parpol. Jangankan itu, di internal parpol saja hal itu terlahir.

Kader dengan kader parpol. Pengurus parpol dengan pengurus parpol saja, secara internal masih berkubu-kubuan. Friksi politik masih saja diciptakan. Rasanya sulit kita membangun kembali kepercayaan dan kekompakan di internal parpol. Mau atau tidak, kepercayaan itu dipaksakan untuk diperbaiki lagi.

Kapitasilasi terhadap tiap kali peristiwa politik selalu dilakukan politisi kita. Jadi yang dilupakan adalah keteladanan berpolitik. Rakyat butul keteladanan itu padahal. Saling serang dari politisi dihentikan. Agar rasionalitas politik rakyat kita terbangun dengan baik.

Badai politik yang menggoncang AHY harus berkontribusi positif kepada publik. Situasi krusial yang dihadapi Partai Demokrat rupanya secara professional diselesaikan dengan baik. Mereka malah ketambahan saldo simpati rakyat. Untuk sedikit demi sedikit dapat ditabung untuk modal Pemilu 2024.

Partai Demokrat terlihat menjadikan tragedi 'kudeta' sebagai kesempatan emas untuk melompat lebih tinggi. Belum lagi di tubuh Demokrat, banyak kader-kader handal yang mengerti betul bagaimana merubah kelemahan atau kekurangan menjadi kekuatan. Kehadiran Moeldoko bukan menjadi ancaman, tapi disambutnya menjadi peluang.

Sudah pasti, peluang untuk 'berselanjar' dalam isu-isu. Agar Partai Demokrat, terlebih AHY dibicarakan terus oleh publik. Politik tukar tambah juga pasti dilakukan. Selain debat-debat yang riuh, situasi sunyi dibalik panggung akan dimanfaatkan untuk bernegosiasi. Perundingan politik dibangun.

Berkompromi, beroposisi atau berkonfrontasi. Mencari sekutu dan juga menentukan siapa lawan (rival) ke depannya. Melalui momentum pembuka ini semua usaha komunikasi politik dibangun. AHY dan ayahnya tentu berkalkukasi, dimana pihak Istana akan memantau detail pergerakan mereka.

Saling mengintip kekuatan politik pasti dilakukan. Pihak yang memantau gerakan AHY. Juga sebaliknya, AHY memantau pula pergerakan elit partai politik lainnya. Semua tokoh politik dari tiap-tiap partai politik akan menyatukan kekuatannya. Jika salah berhitung, sudah pasti ada yang ketinggalan kereta.

Bukan berarti parpol yang lebih dahulu take off, kemudian akan landing lebih awal. Semua tergantung, jarak, jalan dan siapa pilot yang membawa pesawat tersebut menuju tujuannya. Belum lagi tantangan awan, cuaca ekstrim atau kondisi alam yang cerah yang dilewatinya.

Percaturan politik memang tidak mudah. Selain modal, sumber daya yang disediakan. Tim yang kuat, hitungan yang matang juga harus ditunjang dengan keberpihakan takdir Tuhan. Biasanya dalam praktek, hajatan politik dihiasi adanya peran saling menjatuhkan. Atau sikut antara sesama kompetitor.

Bahkan supporter dan wasit, hakim garis sampai panitia-panitia pelaksana kompetisi juga berperan. Mereka berperan, menjadi kunci dalam pemenangan politik. Ketika semua kekuatan berirama, tidak beririsan maka akan memudahkan kemenangan politik.

Apabila sebaliknya, maka menjadi bencana dan kekalahan. Kondisi-kondisi itu yang dihitung-matang para politisi, para pemburu kekuasaan. Keterlibatan aktor politik, tema, isu, alat, momentum atau materi yang dibawa semua menjadi objek hitung-hitungan politisi.

SBY jagonya. Selain pernah memimpin Indonesia 2 (dua) periode. Setidaknya, SBY purnawirawan Jenderal yang dikenal ahli strategi itu mengerti betul gerakan politik di Indonesia. Meski begitu, melawan Jokowi yang mengendalikan sistem dan perangkat pemerintahan tidaklah mudah.

Duel SBY Jokowi berpeluang terjadi di Pilpres 2024. Pionnya sudah bisa kita baca dari AHY vs Moeldoko. Publik tentu tidak sekedar mengira-ngira siapa yang menang dan kalah. Melainkan gagasan, tata cara pertarungan politik seperti apa yang akan diperankan nantinya.

Apakah beradab atau tidak. Beretika ataukah tidak, juga dinanti publik. Kelihaian berdiplomasi di tengah saling serang terkait 'kudeta' akan meredahkan iklim politik kita. Anggap saja ini babak pengisian dalam permainan sepakbola. Saling menakar dan mengukur kekuatan mulai dilakukan, masing-masing kubu.  

Kontestasi berdiplomasi tidak dapat diingkari. Bahwasanya komunikasi dan keakraban antar sesama parpol menjadi modal di saat Pilpres 2024. Kita berharap tidak ada proses awal yang dibangun dengan saling mengkhianati. Pendekatan politik yang humanis dirajut. Tidak sekedar bermotif kepentingan sesaat, lantas hubungan-hubungan semu dibangun.

Politik memang bersifat imparsial. Siapa yang membunyikan orkestra pikiran, lalu berhati-hati, ulet mengawalnya akan menang. Bila lalai, maka orkestranya akan dimanfaatkan pihak lawan untuk mengalahkannya. Jangan sampai orkestra berubah menjadi keriuhan dan keributan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun