RUPANYA para elit politik sedang membuat badai politik. dalam praktik politik, apa saja bisa dilakukan. Termasuk menghadirkan badai, bencana atau tsunami politik. semua pada akhirnya akan diselesaikan. Solusi yang berdaya guna menjadi golnya.
Diplomasi dan negosiasi politik tengah berjalan. Sembari bunyi-bunyian 'perang politik' dipukul. Sebut saja soal revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Gonjang ganjing isu 'kudeta' terhadap Ketum DPP Partai Demokrat, AHY. Kasus korupsi Bansos Covid-19 tenggelam.
Sejumlah kegaduhan politik juga berpotensi diciptakan pemerintah. Biar kegagalan tak terbaca publik. Strategi pengalihan dibuat. Selain itu, biasalah para elit parpol memang mahir berstrategi. Pemburu kekuasaan memang cakap membaca peluang.
Mereka kebanyakan adalah orang-orang yang mahfum soal strategi perang. Badai politik yang dibuat tentu diyakininya akan berlalu. Memberi imbas positif bagi mereka. Berbuah manis, itu harapan mereka. Tak ambil pusing dengan keributan di publik.
Siapa yang menanam, membunyikan tabuh (gendang atau beduk), siapa yang menari-nari dari bunyian itu. Mereka masing-masing mengejar keuntungan atau manfaat. Terkait panggung siapa yang harus mereka pakai, itu belakangan. Bayangkan saja, bagi elit politik yang gagap melahirkan dan mencuri kesempatan.
Pastilah ia tertinggal jauh. Dalam urusan curi start dan kepandaian mengendalikan, menguasai momentum peristiwa-peristiwa politik tak ditinggalkannya. Sekecil apapun, momentum politik itu berharga bagi politisi. Nyanyian AHY, termasuk direspon berbagai pihak.
Reaksi itu tumbuh bagai jamur di musim hujan. Dari ramai-ramainya para pimpinan parpol angkat bicara, juga pengamat. Pro kontra terhadap kisruh Partai Demokrat ditanggapi beragam. Petinggi PDI Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) turut berikan komentar.
Politisi Partai Golkar, PKS, NasDem, dan beberapa elit parpol lainnya tak ketinggalan momentum. Badai politik dalam tiap permainan politik (political game) selalu asyik bagi mereka yang mahir. Para praktisi marketing politik senang dengan konflik. Tak ada konflik, tak membuatkan parpol atau politisi itu besar.
Kalau kita simak, kebanyakan parpol dan politisi besar karena konflik. Itu artinya, konflik itu penting. Bermanfaat baik bagi mereka yang tau mengelolanya. Tidak selamanya konflik memecah, melemahkan atau menjatuhkan. Dari kasus 'kudeta' AHY menjadi nilai tambah bagi Partai Demokrat. Â
Seperti itu pula berkaitan dengan alasan-alasan politis parpol dalam menolak revisi UU Pemilu. Di tahun 2019, Pilkada dipaksakan untuk dilaksanakan meski masih dalam suasana Covid-19. Kini elit parpol yang di Pilkada Serentak 2019 memaksa dilaksanakannya helatan Pilkada. Pada revisi UU Pemilu kali ini alasan tersebut diabaikan.
Tiba-tiba menjadi 'manusiawi'. Seolah-olah pro pada target memutus mata rantai Covid-19, sehingga menolak revisi UU Pemilu. Artinya apa, parpol tersebut menghendaki Pilkada tetap dilaksanakan 2024. Betul-betul berbau politis alasan tersebut. Dan juga menyajikan inkonsistensinya mereka.