Pikiran apatisku dibabat habis. Aku tak boleh diam. Harus rajin belajar, karena punya tanggung jawab sosial sebagai kaum akademis. Kaum terdidik yang patut meletakkan semangat pada moral force.
Di fase inilah aku kenal ungkapan tak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Dari perubahan itulah, aku dikenalkan tentang konsekuensi-konsekuensi logis dari pilihan. Yang harus dengan senang hati diterima sebagai pilihan sadar.
Alasanku masuk HMI, juga masih membekas. Segar dalam ingatakanku. Ketika ditanya, pemateri saat LK I, apa alasanmu masuk HMI?. Aku singkat dan gugup menjawab, karena diajak senior untuk ikut. Disini ada makan-makan gratis. Begitu polos dan lugu kujawab.
Kenapa takut, dan harus membual dengan jawaban. Memang begitu ajakan seniorku di kampus FISIP agar ikut HMI hanya dengan iming-iming makan gratis. Keren juga.
Setelah aku resmi menjadi kader HMI. Mulai terada ada lompatan, alasan merekrut calon kader HMI kumantapkan. Agak sedikit kreatif, inovatif, intelektual dan kedengaran berkelas. Ahay, setidaknya supaya ada nilai plus.
Aku mengajak teman dan adik-adik mahasiswa untuk gabung HMI dengan menyodorkan alasan bahwa di HMI anda bisa mendapat ilmu. Tambahan pengetahuan. Banyak buku-buku referensi bagus yang dimiliki senior. Yang belum kita dapat di kampus (ruang kelas), dapat kita peroleh di HMI.
HMI menyediakan banyak hal. Anda boleh lihat banyak tokoh bangsa ini lahir dari rahim HMI. Kita digodok menjadi orator ulung. Singa podium, analis handal. Bisa menjadi konseptor, menjadi arsitek, ekonom. Menjadi penulis hebat, insiator, menjadi filosof. Banyak hal yang anda temukan jika berHMI.
Menjadi politisi matang, cendekiawan, juga bisa menjadi 'broker' sesuai pilihan masing-masing. HMI menyiapkan semua itu. Dari HMI tumbuh para budayawan, seniman, pendidik. Pemikir liberal, moderat, fundamental ekstrimis, ada di HMI. Disinilah rimbah kaum intelektual muda berkiprah.Â
Bahkan banyak istilah, satire sampai gimik kita koleksi di HMI. Begitulah kaum kreatif minority. Kami menjadikan himpunan sebagai wadah kekeluargaan yang menyatukan. HMI memang begitu mengakar, mendarah daging dalam denyut darah kadernya.
Kader-kadernya militan. Independen, hanya takut pada Tuhan, bukan pada manusia. Loyal juga berdedikasi, HMI mengajarkan itu. Terlebih mereka yang idologisasinya dimantapkan melalui Intermediate Training (LK II), Senior Course (SC) dan Advance Training (LK III). Sekolah-sekolah kader berjenjang juga ada di HMI.
Kurikulum HMI begitu ketat, tapi relevan. Itu sebabnya, tidak mudah menjadi Ketua Umum Komisariat, Ketua Koordinator Komisariat (KORKOM), Ketua Umum Cabang, Ketua Badan Koordinasi (BADKO) dan Ketua Umum PB. Semua diatur kriterianya. Kadernya kompetitif, bicara kosong tapi selalu berlandaskan teori. Tidak asal-asalan.