Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Presiden Jokowi dalam Diskursus Revolusi

1 Februari 2021   10:04 Diperbarui: 1 Februari 2021   21:28 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membangun pilar kehidupan sosial yang baru, butuh komitmen serius. Revolusi menjadi salah satu caranya. Sarana perubahan efektif. Bagaimana meruntuhkan, penguasa yang arogan mempertahankan status quo. Kondisi yang sukar berubah. Konstruksi sosial yang masih jauh dari harapan kebanyakan masyarakat. Memerlukan perbaikan fundamental.

Dalam 'triade', tawaran paradigma dari Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan Brasil, menyebutkan paradigma magis, naif dan paradigma kritis. Tentu dalam konteks perubahan, yang tepat kita pakai ialah paradigma kritis. Ketertinggalan yang terjadi, seperti di era Jokowi, Presiden Indonesia memerlukan perhatian serius.

Ide kemajuan dan pembaharuan mesti dimulai pemimpin. Tidak berpretensi menyalahkan Jokowi. Melainkan penggalan otokritik karena dilatari atas kegelisahan kita terhadap Repub Indonesia tercinta. Kita merindukan, Negara ini maju pesat. Perubahannya signifikan, para koruptor dihukum berat.

Jangan ada tebang pilih untuk para bandit. Koruptorlah bahaya laten yang menjegal kemajuan Indonesia. 'Presiden Jokowi dalam diskursus revolusi' cukup relevan. Membaca pikiran revolusi Prancis (1789-1794), dikala itu pemerintahan dinilai mengalami kemunduran. Masyarakat, diabaikan hak-haknya.

Ketidakadilan masih tegak berdiri. Diskriminasi, penindasan dipelihara Negara. Karena ketidakpuasan, maka lahirlah spirit liberte, egalite et fraternite atau disebut kebebasan, persamaan, dan persamaan. Inilah sejarah revolusi paling monumental sepanjang sejarah dunia.

Maximiliem Francois Marie Isidore de Robespierre, pengacara dan juga politikus penggerak revolusi Prancis. Berhasil menggerakkan massa untuk melakukan perlawanan terhadap rezim lama (L' Ancien Regiem. Dari sinilah, terjadinya perubahan-perubahan mendasar di Prancis.   

Sistem monarki juga diruntuhkan di Iran. Melalui revolusi Iran, Shah Mohammad Reza Pahlavi, yang otoriter itu menjatuhkan. Tokoh penggerak yang populer adalah Sayyid Ayatullah Rohullah Khomeini, berhasil merubah tatanan monarki menjadi Republik Islam. Khomeini disebut sebagai pemimpin revolusi dan pendiri republik Islam.

Situasi yang melatarbelakangi lahirnya Revolusi Prancis ialah sikap pemerintah kerjaan Prancis yang absolut dan kaku dalam menghadapi perubahan. System monarki akhirnya ditumbangkan, dengan lahirnya masa pencerahan (aufklarung), aliran nasionalisme.

Begitu pula yang terjadi pada Revolusi Islam Iran dimulai Januari 1978, sampai Februari 1979. Karena Pahlevi waktu ini secara brutal, korup, dan boros, kemudian sekuler. Alhasil, benih-benih inilah yang melahirkan revolusi terjadi.  

Kedua pergerakan revolusi itu, sebetulnya diharapkan terlahrnya perubahan mendasar (radical change). Para promotor pergerakan revolusi itu terilhami dari gagasan kebebasan, kemerdekaan hak-hak masyarakat. Setelahnya, bermula dari ide pencerahan. Kesadaran 'semesta masyarakat' terlahir.   

Para pelaku sejarah revolusi termasuk orang-orang yang kokoh prinsip juangnya. Dengan segala risiko, siap berjuang dan mati demi kebenaran yang dibelanya. Pertentangan kelas, seperti kata Karl Marx menjadi penjara bagi penggerak revolusi. Oleh karenanya, perlawanan menjadi solusi yang tepat.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, belum banyak prestasi untuk masyarakat yang diberinya. Ini fakta. Bukan lagi opini. Relevankah, revolusi tumbuh di Indonesia?. Diskursus serupa sebetulnya berpotensi lahir di Indonesia.

Walau tidak persis sama dengan di Revolusi Prancis dan Revolusi Iran. Indonesia sekarang, sedang dilanda krisis ekonomi. Di ujung tanduk kebangkrutan. Kondisi keuangan Negara dan daerah seperti 'macet serius'. Gaji Aparatur Sipil Negara masih tertunda untuk pembayaran. Meski begitu, masih banyak yang takut protes.

Ketika iklim yang tidak diharapkan ini terus bertahan lama. Dipastikan, akan memukul di berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Benih revolusi akan tumbuh subur dalam situasi krusial seperti ini. Jika masyarakat kesulitan ekonomi, maka bencana sosial pasti bermunculan. Kelaparan akan memicu tindakan kejahatan.

Karl Marx (1818-1883), juga pernah meramalkan akan terjadi revolusi sosial. Dalam istilahnya Marx disebut revolusi proletariat. Lain lagi dengan Jiddu Khrishnamurti (1895-1986), seorang penulis kelahiran Madanapalle, India mengatakan perlunya perubahan radikal yaitu Revolusi Batin (Inward revolution).

Mudah menghindari revolusi. Cukup menjadilah pemimpin yang tidak gila kuasa. Juga tidak rakus. Seperti ungkapan Ali Syari'ati mengingatkan kita semua, bahwa penimbun harta sebenarnya mati, meskipun mereka hidup. Sementara mereka yang berilmu, akan terus hidup sepanjang waktu. Jadilah, pemimpin yang berilmu sebaiknya.

Presiden Jokowi bertindak cepat, mengendalikan situasi ini. Mungkin, salah satu langkah menstabilkan keuangan Negara ialah dengan meresmikan Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU). Aku sarankan, Jokowi tangkap dan tindak tegas para koruptor. Mereka pembuat ulah, yang akibatnya Negara melarat. Indonesia di gerbang kebangkrutan.

Pemerintahan mestinya betul-betul dikelola secara benar. Tentu gaung GNWU yang dipelopori Jokowi, berbeda dengan yang dipimpin langsung Habib Muhammad Rizieq Shihab (HRS). Kalau disandingkan, Jokowi kurang mendapat simpati dari kebanyakan umat Islam Indonesia. Terlebih pengikut HRS, atau alumni 212.

Pemerintah mesti memperketat penarikan pajak. Retribusi, cukai, bea materai, dan pungutan lainnya dimanaje secara transparan. Jangan lagi dirampok. Bila pemerintah berharap adanya wakaf uang, solusinya berantas dulu pelaku korupsi. Dengan begitu, kepercayaan publik akan lahir. Umat Islam ramai-ramai akan mewakafkan uangnya ke pemerintah.

Keraguan masyarakat akan hilang. Lalu umat Islam umumnya akan mendukung langkah Jokowi. Membaca argumen Ketua Badan Wakaf Indonesia, Muhammad Nuh bahwa dana wakaf tidak masuk ke kas Negara. Dan pemerintah hanya memfasilitasi. Aku masih belum percaya. Rupanya, peluang korupsi masih akan dilakukan elit Negara.

alasan klise pemerintah belum memberi jaminan apa-apa. GNWU kita harapkan bukan menjadi aliran baru perampokan. Korupsi masih marak di Indonesia. Itulah yang membuat masyarakat takut mewakafkan uangnya ke pemerintah. Tugas meyakinkan masyarakat perlu dilakukan pemerintah secara sungguh-sungguh dan bijak. Karena tidak mudah tantangan saat ini. Dimana kepercayaan terhadap pemerintah telah memudar.

Kalau saja pembodohan, pemborosan masih berlangsung di Indonesia. Tekanan ke publik terjadi terus-menerus. Berarti, tunggu saja waktunya revolusi jilid II akan melanda Indonesia. Disinilah, diksi revolusi mental atau revolusi akhlak dapat lebih bermanfaat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun