akademisi takluk. Orang-orang tercerahkan menjadi boneka dan budaknya. Mereka leluasa memerintah. Memburu para pemburu uang, para pemburu jabatan.
Kelompok brutal, serakah telah tampil mengendalikan sistem demokrasi. Kini di hampir semua sendi demokrasi. Para pemodal memegang kendali. Hanya ada dua, pemodal dan pengusaha. Mereka menjadi seperti magnet, power full pula. Sering kaliBaik di partai politik. Di penyelenggara Pemilu, di organisasi pemuda, organisasi kemasyarakatan. Mereka bergentayangan pula di organisasi profesi. Pemilik modal memang hebat. Juga di sektor birokrasi, tak sedikit kita temukan para pejabat publik mengandalkan sogokan, gratifikasi dan koneksi. Demi sebuah jabatan. Umumnya, koneksi yang digunakan ialah dengan melibatkan orang-orang kuat berduit. Pengendali kekuasaan dan penguasa.
Pemangku kepentingan, merekalah penentu. Penguasa dan pengusaha (pemodal) berkoalisi, habislah kita. Kualitas, pengalaman, integritas personal menjadi bagian belakangan, tidak penting. Bukan prioritas. Ukuran penilaian disini hanyalah loyalitas-kedekatan. Bargaining kepentingan. Tentang siapa mendapat apa, itu temanya yang paling relevan.
Selebihnya, hanyalah keberuntungan dan takdir. Praktek-praktek kotor ini memberi imbas pada gelombang malapetaka demokrasi yang terus berdatangan. Bagi pejabat birokrat, ujung-ujungnya mereka terlibat korupsi. Permainan, kompromi proyek dan deviasi anggaran lainnya.
Di partai politik, baik pimpinan pusat maupun daerah. Kebiasaan saling kontrol dilakukan. Kepatuhannya bukan pada kerja dan aturan-aturan, melainkan pada personal atau gerbong. Siapa yang berjasa, sampai mereka menjadi pimpinan di parpol tersebut. Potensinya pelanggaran massal sering kali dilakukan dalam praktek politik. Korupsi berjamaah terjadi.
Untuk penyelenggara Pemilu, tak kalah juga. Bawaslu, KPU bahkan Timsel yang tugasnya menyeleksi penyelenggara Pemilu belum 100% bebas dari intervensi. Praktik titip menitip orang. Praktik by order masih kentara, kental dan telanjang. Sekelumit kelemahan ini bukan hal mudah. Itu sebabnya, kualitas demokrasi sukar kita temukan.
Baik dalam suksesi kepemimpinan nasional, kepemimpinan lokal. Seleksi untuk para wakil rakyat, tidak mampu memberi garansi atas mutu personal dari orang-orang tersebut. Bagai benang kusut, membenahi demokrasi memang butuh niatan, keberanian, komitmen yang kuat serta kegilaan.
Memiriskannya lagi, kaum akademisi juga sebagiannya tidak idealis. Mereka menjadi akademisi kanebo. Lebih tertarik dengan urusan-urusan yang menggiurkan berupa proyek-proyek. Mereka yang pernah terlibat sebagai Timsel penyelenggara Pemilu. Mendapat kompensasi.
Paling minimal, kompensasinya mereka akan menjadi narasumber (pembicara) di setiap Bimtek. Tentunya, targetnya terima honor?. Seminar-seminar dan pelatihan yang dilakukan penyelenggara Pemilu. Artinya, masih ada politik balas budi.Â
Atas bantuannya meloloskan oknum tertentu saat seleksi penyelenggara Pemilu. Jadilah terkikis, bahkan runtuh kepercyaan publik. Hilanglah jati diri sang akademisi. Mereka turut berkontribusi melahirkan dendam politik. Politik balas budi kian mengakar. Merambah mentalitas akademisi kita.
Betapa tidak, dari sikap tidak professional saat seleksi penyelenggara Pemilu. Membuat sebagian peserta seleksi yang tidak lolos akan dendam pada mereka. Tentu akan ada pembalasan pedih. Begitulah rumus umumnya, hukum kausalitas. Kita berharap, akademisi khususnya menjadi pencerah, problem solving.