Dalam banyak urusan, ayah selalu pasang badan. Kebiasaan itulah yang mengakar pada kami. Tak usah ragukan soal kolektifitas, kepedulian. Loyalitas, solidaritas, di rumah kami telah dibekali. Bukan hanya itu, sampai kadang orang-orang salah tafsir. Terkait bagaimana mengistimewakan dan menghormati orang lain. Hanya aku yang bandel. Selalu senang dengan hal-hal dialogis, kadang suka protes.
Padahal sudah kutahu itu benar. Karena ingin ada pendapat alternatif, pemikiran baru serta pandangan berbeda. Biar lebih demokratis, dan berwarna dalam kehidupan interaksi. Ayah sudah menanamkan benih di dalam pikiran kami. Tentang 'doktrin' yang tua menjadi pengayom, teladan bagi yang muda. Kemudian, yang muda (umurnya), harus ikut apa kata yang mereka yang lebih tua.
Itu sudah kelaziman. Jangan sampai terbalik, ayah pasti marah. Tetapi, sekali lagi aku sering melanggar tradisi itu. Ada saudara, teman di kampung yang menuduh, karena aku terbiasa berfikir rasional. Sehingga bantahan, kritik, koreksi-koreksi selalu aku produksi. Padahal dalam urusan-urusan beginian, sebetulnya kita tak butuh kritik serius.
Suatu ketika, dimasa kecilku. Ada seorang kakek menyuruh untuk 'berhutang rokok di warung'. Lantaran berhutang bukan kebiasaan yang diajarkan di rumah. Aku lantang menolak. Lantas, disebutlah aku membandel, menolak perintah orang yang lebih tua. Baru aku sadari kemudian. Ternyata antara kebiasaan, dan interaksi ilmu, pengalaman eksternal relatif berbeda. Sering saling bentrok pula.
Selain itu, di rumah ayah jarang menunjukkan cinta dan kasih sayangnya secara telanjang pada kami. Belum pernah kulihat ayah menunjukkan cinta yang demonstratif pada ibu, juga kami anak-anaknya. Melalui perantara, barang-barang (fasilitas) yang dibelinya, kasih sayang itu tergambar.Â
Dikala anak-anak tetangga belum mengoleksi mobil mainan. Sepatu mewah, bola plastik, dikala itu aku sudah dibelikan ayah. Walau tak bertahan lama. Namun mainan-mainan itu membekas sampai sekarang. Begitulah bentuk materil cinta kasih sayang ayah. Selain perhatiannya.
Ayah memang pekerja keras di Desaku. Kasih sayangnya bermain dalam sunyi. Satu hal lagi, namaku Amas Mahmud. Begitu dimanja ayah, dan juga ibu. Sampai ada ada yang sebut 'Anak Mas', kepanjangan dari Amas. Kebetulan, aku anak lelaki satu-satunya ayah. Kadang sering rakus dalam urusan membeli sesuatu (belanja). Kakak dan adikku, misalkan dibeli sesutau, tentu aku harus lebih dari segi jumlah. Ketimbang mereka. Selalu mau dispesialkan.
Kenyamanan bersama di rumah itu kini menjadi kenangan. Aku rindu semua itu. Tapi aku yang mulai terbiasa melawan kata hati. Beradaptasi dengan kerasnya hidup, meninggalkan itu semua. Hijrah sedikit menjauh.Â
Meski rindu berkecamuk. Rindu ayah dan ibu, rasa itu tak kugubris. Sampai kadang kala, rasa berdosa menghampiriku. Aku bertanya dalam hati, apakah atas nama kemandirian aku harus begitu?. Aku gelisah dan ragu-ragu menjawabnya. Aku terlalu keras rupanya soal yang satu ini.
Kami diajarkan untuk terbiasa saling membantu. Kesusahan orang lain, terlebih tetangga harus dibantu. Sekarang sudah mulai melunak, jika dibanding keras kepalaku yang dahulu. Aku kini agak tertib dan dengar-dengaran. Ayah memang tegas, dan keras. Sikap melawan sering kuanut. Aku kokoh pada pendirian, jika kurasa benar. Walau langit runtuh, aku tak iklas mengalah.
Itu terpatri dan menjiwai aku. Sampai saat ini, kumerasa keadilan diinjak-injak, aku pasti melawan. Nilai-nilai kemanusiaan, keseteraan, kuhormati. Hatiku berkecamuk bila melihat praktek perbudakan. Tanpa basa-basi, sikap bandel, melawan itu muncul dengan sendirinya. Terserah diekspresikan dengan cara apa. Aku pasti melawan.Â