Jangan rakyat dibodoh-bodohi terus. Sekarang rakyat tidak membutuhkan Pemilu dibelah menjadi dua lapak terpisah. Sungguh tidak penting. Yang lebih perlu diprioritaskan ialah pembenahan nilai-nilai demokrasi. Politik membawa manfaat bagi rakyat secara jangka panjang. Banyak institusi yang harus kita kuliti, supaya bekerja maksimal.
Mereka yang digaji Negara dari uang rakyat harus mempertanggung jawabkan kerjanya. Penyelenggara Pemilu, pemerintah dan partai politik dalam kaitannya dengan Pemilu. Pesta demokrasi akhir-akhir ini lebih banyak melahirkan mudharat. Mobilisasi massa meski Covid-19, kekacauan, bagi-bagi Sembako dan bagi uang masih saja dilakukan massif. Sayangnya, penyelenggara Pemilu seperti tak punya kemampuan memberikan sanksi tegas.
Salah satu senior saya di KAHMI, Bang Ipul Ruray, belum lama ini pernah menyebutkan bahwa cepat atau lambat Pemilu dan Pilkada dirancang menjadi sebuah rutinitas biasa-biasa saja. Bukan sebuah momentum perubahan politik lagi yang bersifat signifikan. Bentuk kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan tentunya. Sebab gejalanya sudah mulai bermunculan. Rakyat malah senang dengan momentum-momentum politik seperti itu karena mereka kebagian uang dan sembako dari hasil 'serangan fajar'.
Memiriskan, kita mendoakan agar pemerintah Republik Indonesia berfikir futuristik. Memantapkan suprastruktur dan infrastruktur politik. Tidak ada lagi praktek curang. Para bandit demokrasi diberikan sanksi yang sekeras-kerasnya. Jangan sampai anggaran Negara (APBN) dan juga APBD menjadi sia-sia membiayai partai politik dalam tiap tahunnya.
Tentu masa depan demokrasi kita akan makin suram, bila desain Pemilu dilakukan hanya berorientasi politik. Melalui DPR RI yang mengusulkan pola Pemilu terbaca hanya memangkas, mempersingkat proses demokrasi kita. Publik akan ragu bahwa yang dilakukan wakil rakyat di Senayan itu demi majikannya yakni rakyat. Malah lebih dominannya, RUU itu sebagai wujud pemuas birahi politik para elit parpol.
Jangan lagi percaya alibi politisi. Argumen penguatan dan pembenaran, yang pada akhirnya Pemilu dipolarisasi menjadi dua varian. Kalau begitu jadinya, nyaris sama seperti kita berdemokrasi dari nol. Sentralisasi kewenangan DPR dalam merancang undang-undang juga harus memperhatikan kepentingan rakyat secara umum. Jangan ikut maunya saja. Sedih, jika rakyat protes dan demonstrasi dituduhnya lagi melakukan makar.
Melawan Negara dan seterusnya kecurigaan dialamatkan kepada rakyat. Padahal, rakyat menghendaki ada perbaikan terhadap Negara Indonesia tercinta. Jangan selesai dengan hutang-berhutang dari tiap kali pergantian Presiden.Â
Warisannya hanya hutang, itu tidak baik. Sangat merusak masa depan demokrasi. Memberi beban terhadap anak cucu kita kelak. Kalau menjadi pemimpin Negara sekedar berhutang, semua kita bisa melakukan itu.
Buatlah pemerintahan ini lebih bermartabat, dihormati dan tidak berhutang lagi. Berhenti bangga dengan berhutang, apalagi iuran BPJS Kesehatan untuk kelas 3 juga sudah naik di tahun 2021 ini. Kasihan rakyat miskin yang belum tercaver program subsidi pemerintah. Belum lagi Indonesia dikepung penyebaran Covid-19, pemerintah meminta kita untuk stay at home.
Jauhi kerumunan, berarti kita juga mengurangi intensitas bekerja di ruang publik. Lantas solusinya apakah kita berdiam diri di rumah dan pemerintah memberi kita uang?. Kacau.... Nasib demokrasi akan makin tidak jelas arahnya. Tiap periode, rute dan jadwal Pemilu bisa dirubah-rubah. Ini ancaman nyata. Jalan menuju revolusi konstitusi mulai dibuka pemerintah. Berlahan-lahan, perubahan drastis dilakukan. Tentu bukan tanpa sengaja.
Model demokrasi kita yang disebut demokrasi Pancasila sudah berubah haluannya dalam praktek. Demokrasi kita telah menjadi demokrasi pasar. Menjadi panggung bagi para pemilik modal untuk belanja suara. Konstituen atau pemilih juga menyambut itu.